Bagi saya saat ini perfilman Indonesia benar-benar memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada film-film yang disuguhkan tahun-tahun lalu. Jika saat ini anda masih bilang kalau semua film Indonesia itu sampah artinya anda sangat kudet!
Banyak yang sepakat jika The Raid adalah film yang berkelas Internasional. Banyak pula yang sependapat jika 5 CM adalah film yang berlevel tinggi di dalam negeri. Dan tentu saja banyak yang mengakui bahwasannya Comic 8 adalah film action-comedy terpaporit karya anak bangsa. Lalu, apakah karya-karya apik perfilman kita berhenti disitu?
Tidak!
Mari kita bergosip ria, saya ingin sedikit menguak kembali arus perfilman Indonesia di masa lalu. Kita tentunya mengetahui betapa busuknya film-film kita sebelum tahun 2012. Genre horor-sex menghiasi daftar putar bioskop yang cuma menjadi panu diantara sajian film box office Hollywood. Pengalaman pertama saya nonton di bioskop kala itu saat SMP, saya dan teman-teman nonton Suster Ngesot. Bukan karna pengen, tapi karna memang gak ada pilihan lain yang meyakinkan. Setelah itu bermunculan secara membabibuta film-film horor lain yang mengusung materi sensualitas. Ditambah mengundang artis-artis bokep yang turut berkontribusi meskipun mereka tidak melakuan adegan sex beneran. Belum lagi film dramanya pun juga anjlok dan benar-benar membosankan. Masa-masa itulah negeri ini mengalami masa kegelapan dalam dunia perfilman, saya menyebutnya BENCINDOFISME (benci+indo+film+isme), paham yang menganut kebencian atas film-film Indonesia.
Namun masa-masa itu kini telah pudar. Dari waktu ke waktu film berkualitas mulai muncul, genre-nya pun semakin bervariasi. Bisa dibilang spirit itu muncul kala The Raid mampu go internasional. Banyak kalangan semakin optimis akan perfilman indonesia yang bisa maju. Akhirnya para produser berlomba-lomba membuat film yang berkualitas. Bahkan artis luar negeri yang didatangan pun sudah bukan artis bokep lagi.
Surutnya masa BENCINDOFISME ini dapat dilihat dari pilihan genre selain horor-sex dan drama-sex; kita mengenal Java Heat, Pintu Terlarang, Philosopher, Modus Anomali, dan ada film balapan itu apa namanya? Lupa (sengaja gak googling biar natural hahahaha). Film horor pun sudah tidak semenjijikan dulu, kalau yang saya tonton beberapa bulan lalu ada SOLITAIRE. Bukan film yang mengumbar sensualitas tuh, film Solitaire lebih berkiblat ke arah horor Thailand. Saya rasa Rumah Gurita dan Danau Hitam juga bukan film esek-esek, tapi belum sempet nonton sih hehe. Adapun film olahraga juga gak kalah keren, saya saksi mata kekerenan film Garuda 19. Hati saya dibikin ngilu melihat kobaran semangat yang luar biasa. Meskipun eksekusi pertandingan bolanya masih cukup kasar, tapi setelah keluar dari bioskop saya benar-benar dalam kondisi mental yang penuh optimis. Berharap cabang olahraga lain juga diangkat jadi film.
Surutnya masa BENCINDOFISME ini dapat dilihat dari pilihan genre selain horor-sex dan drama-sex; kita mengenal Java Heat, Pintu Terlarang, Philosopher, Modus Anomali, dan ada film balapan itu apa namanya? Lupa (sengaja gak googling biar natural hahahaha). Film horor pun sudah tidak semenjijikan dulu, kalau yang saya tonton beberapa bulan lalu ada SOLITAIRE. Bukan film yang mengumbar sensualitas tuh, film Solitaire lebih berkiblat ke arah horor Thailand. Saya rasa Rumah Gurita dan Danau Hitam juga bukan film esek-esek, tapi belum sempet nonton sih hehe. Adapun film olahraga juga gak kalah keren, saya saksi mata kekerenan film Garuda 19. Hati saya dibikin ngilu melihat kobaran semangat yang luar biasa. Meskipun eksekusi pertandingan bolanya masih cukup kasar, tapi setelah keluar dari bioskop saya benar-benar dalam kondisi mental yang penuh optimis. Berharap cabang olahraga lain juga diangkat jadi film.
Film drama juga berubah. Kalau dulu kita mengenal judul Virgin, Kawin Kontrak, Mas Suka Masukin Aja, Akibat Pergaulan Bebas, Arisan Brondong, Istri Boongan dan sejenisnya, mereka masih mengusung sajian sensualitas. Meskipun fenomena pergaulan bebas memang sangat marak, tapi seolah-olah orang Indonesia ini cuman mikirin seeeex mulu. Bersyukur, karna saat ini cinema drama kita sudah semakin variatif. Seperti hadirnya Perahu Kertas, Malaikat Tanpa Sayap, eeeaaaakk film-nya Maudy Ayunda memang harus masuk shaf pertama huahahahaha. Juga ada drama-roman yang ringan seperti Refrain dan Remember When yang nggak ada unsur mesumnya sama sekali, sangat cocok disajikan untuk remaja (salut buat mbak Winna Effendi-author keduanya). Drama-komedi pun tak kalah positifnya setelah kemunculan Raditya Dika, film-filmnya sederhana dan jenaka. Hal ini membuktikan jika eksistensi perfilman Indonesia sudah tidak perlu lagi bergantung pada hal-hal yang berbau sensualitas dan sexualitas.
Desember 2014, adalah rekor dimana saya menyaksikan 3 film Indonesia di bioskop. Pertama film Kukejar Cinta ke Negeri Cina, film ini sungguh bermutu dan unik. KCKNC adalah film religi dimana kamu akan mendengar kata pisuhan legendaris Jawa :ASU: ditengah ceritanya. Hahahaha. Film yang mengangkat cinta dalam balutan agama islam yang disajikan dengan komedi ringan ini cocok untuk mereka yang muslim tapi gak pernah sholat dan cocok pula untuk mahasiswa yang gak lulus-lulus tapi sibuk mikirin cinta melulu. Hahahahaha..
Setelah itu saya menjadi saksi penayangan film Supernova yang epic banget. Ini kali pertama saya menyaksikan film Indonesia yang berbobot, gak main-main bobotnya berat banget seperti gajah –gajah pink temennya Rongrong dalam serial BoBo. Jika anda seorang pria dan bosan nonton film ini atau bahkan sampai tertidur di bioskop, silahkan pulang, nyalain laptop, buka youtube lalu search ‘Blues Clues’, nah itu tayangan yang pas untuk anda. Mengapa demikian? Secara kodrati laki-laki harus mengedepankan logika daripada perasaaan. Maka tayangan yang menuntut penontonnya untuk berpikir adalah suplemen sejati seorang pria.
Lalu yang baru saja saya tonton adalah Pendekar Tongat Emas. Film ini akan saya bahas dipostingan berikutnya. Sebab #PentongEMAS adalah film yang benar-benar fresh dan sungguh gemilang bagi alternatif pilihan tontonan dalam negeri. Saya rela nonton 2x demi film ini. Tapi tunggu dulu, ada satu lagi film Indo yang harus saya tonton dipenghujung tahun ini. Merry Riana, meski ada yang bilang filmnya terlalu lebay tapi bagi saya selama film itu jauh dari esek-esek ya baguslah.
Berikut adalah alasan saya menonton film Indonesia di bioskop:
1. Menghargai karya saudara se-tanah air.
2. Agar karya-karya mereka memperoleh untung.
3. Meningkatan popularitas mereka.
4. Agar para kreator film Indonesia terus antusias mengerjakan tontonan yang berkualitas.
5. Kalau masih ada film Indo yang esek-esek nggak usah ditonton biar mereka kalah rating dengan film yang positif, dengan begini balik lagi ke poin nomor 4.
6. Sukur-sukur kalau saya bisa ketemu sama salah satu pemeran atau sutradara filmnya di kesempatan yang tak terduga, kan bisa mbribik-mbribik sambil muji filmnya dan ngasih beberapa testimoni yang cerdas. Siapa tau kedepannya saya bisa dilibatkan dalam project film mereka. Jadi apa? Jadi penonton juga hahahahaha.
Sayangnya pertumbuhan positif tayangan layar lebar ini tidak dibarengi dengan tayangan televisi yang masih terjebak dalam zaman bencindofisme. Saya cuman tau dari berita di internet sih, karna saya sendiri sudah 3 tahun tidak menonton TV meski tinggal dirumah. Baru beberapa bulan ini TV saya diangkut ke tetangga karna gak guna juga dirumah.
Baiklah, sekian dulu tulisan saya mengenai dunia perfilman Indonesia. Jika ada yang tidak setuju silahkan saja, ini murni opini saya. Saya menyukai film lebih dari saya menyukai pacar, terbukti saya doyan ke bioskop sendirian. (Pacar ndasmu! 2,5 tahun jomblo ngaku-ngaku nduwe pacar) Hahahaha. Maklum je, zodiak aquarius + blood type AB, perpaduan menarik untuk pria penyendiri seperti saya (eh saya lebih suka menyebutnya ‘pengembara’). Nah jadi kalau saudara-saudara sekalian punya informasi kerjaan yang berhubungan dengan film kasih tau saya doong hahahahaha.
1. Menghargai karya saudara se-tanah air.
2. Agar karya-karya mereka memperoleh untung.
3. Meningkatan popularitas mereka.
4. Agar para kreator film Indonesia terus antusias mengerjakan tontonan yang berkualitas.
5. Kalau masih ada film Indo yang esek-esek nggak usah ditonton biar mereka kalah rating dengan film yang positif, dengan begini balik lagi ke poin nomor 4.
6. Sukur-sukur kalau saya bisa ketemu sama salah satu pemeran atau sutradara filmnya di kesempatan yang tak terduga, kan bisa mbribik-mbribik sambil muji filmnya dan ngasih beberapa testimoni yang cerdas. Siapa tau kedepannya saya bisa dilibatkan dalam project film mereka. Jadi apa? Jadi penonton juga hahahahaha.
Sayangnya pertumbuhan positif tayangan layar lebar ini tidak dibarengi dengan tayangan televisi yang masih terjebak dalam zaman bencindofisme. Saya cuman tau dari berita di internet sih, karna saya sendiri sudah 3 tahun tidak menonton TV meski tinggal dirumah. Baru beberapa bulan ini TV saya diangkut ke tetangga karna gak guna juga dirumah.
Baiklah, sekian dulu tulisan saya mengenai dunia perfilman Indonesia. Jika ada yang tidak setuju silahkan saja, ini murni opini saya. Saya menyukai film lebih dari saya menyukai pacar, terbukti saya doyan ke bioskop sendirian. (Pacar ndasmu! 2,5 tahun jomblo ngaku-ngaku nduwe pacar) Hahahaha. Maklum je, zodiak aquarius + blood type AB, perpaduan menarik untuk pria penyendiri seperti saya (eh saya lebih suka menyebutnya ‘pengembara’). Nah jadi kalau saudara-saudara sekalian punya informasi kerjaan yang berhubungan dengan film kasih tau saya doong hahahahaha.
Oke gais, makasih ya sudah mampir di blog saya. Semoga sehat selaluuu... :)