16 Maret 2016

Melancholia



Bagi saya, menulis adalah sebuah imajinasi masa depan. Saya sering melihat diri saya sendiri menjadi seorang penulis di kehidupan yang akan datang. Namun, akankah hal itu menjadi nyata? Berikut cerita saya:

Saya sudah mengenal dunia baca-membaca sejak kecil. Pada saat mengenyam pendidikan di bangku SD saya selalu membaca komik setiap liburan datang. Saya membaca 2-3 komik perhari, lantaran di seberang rumah saya ada persewaan buku.

Saya memiliki penghasilan dari ‘fitrah’ lebaran, tidak tanggung-tanggung uang yang saya kumpulkan bisa mencapi ratusan ribu rupiah pada masa itu. Jumlah itu sangat cukup bagi saya untuk menyewa komik-komik setiap libur sekolah datang. Saya tidak pernah membelanjakan uang yang saya kumpulkan untuk keperluan lain selain menyewa komik.

Kebiasaan saya membaca komik masih terbawa hingga SMP. Sayangnya, saya sudah jera menunggu komik-komik baru yang tak kunjung disediakan persewaan komik langganan saya. Sebab, hampir ratusan komik sudah saya baca di persewaan itu. Modal nekat, di hari minggu saya menaiki bus kota menuju toko buku Gramedia yang berjarak 30 menit dari rumah. Turun dari bus pun saya masih harus berjalan kaki 15-20 menit untuk sampai ke lokasi. Itu saya lakukan sendirian hampir di setiap minggunya. Untuk apa? Tentu saja memuaskan hasrat saya membaca komik.

Beranjak dewasa bacaan saya beralih dari komik ke novel. Kekaguman saya terhadap novel mungkin berawal dari novel yang sangat mainstream, yaitu Harry Potter. Awalnya saya ragu, apakah saya betah membaca buku setebal itu. Namun begitu saya memulai, saya tidak bisa berhenti. Belakangan saya tahu, ini candu!

Menginjak usia SMA, saya menjadikan Gramedia sebagai tempat pelepas penat yang paling ampuh. Kehidupan SMA saya terbilang sangat sibuk lantaran saya hampir mengikuti semua kegiatan organisasi sekolah, bahkan beberapa diantaranya menempati posisi yang ‘sok’ penting. Maka saat jenuh datang, saya selalu lari ke Gramedia. Apalagi sejak saya bisa dan diperbolehkan membawa motor sendiri, dolan ke toko buku adalah hutan wisata yang sangat menyenangkan bagi saya.

Saya tidak punya cukup uang untuk membeli sebuah buku. Alhasil, saya hanya membacanya dari sampel buku yang disediakan oleh pihak toko buku. Entah itu sampulnya yang buka petugas atau tangan-tangan jahil para pengunjung. Tapi hingga saat ini, saya belum pernah membuka sampul tanpa ijin di toko buku, bahkan jarang memintanya pada petugas.

Memasuki perguruan tinggi, dosis candu saya terhadap buku semakin menggila. Aroma Gramedia, sengatan AC-nya dan tumpukan-tumpukan buku membuat adrenalin saya memuncak. Saya selalu gemas dengan buku-buku. Tak henti-hentinya tangan saya nggremeti mereka. Bahkan saya sering berdiri mengamati rak-rak buku di satu titik selama bermenit-menit. Di tempat itulah saya merasa jadi diri saya sendiri.

Bahan bacaan saya semakin beraneka ragam. Mulai novel-novel ringan hingga karya-karya sastra yang susah dicerna. Mata saya juga mulai terbuka dengan buku-buku psikologi populer yang sempat menggiurkan. Namun, belakangan saya mulai menyukai membaca buku-buku sejarah, kebudayaan, filsafat dan sejenisnya.

Semakin banyak membaca, saya semakin sadar akan kebodohan. Saya semakin mawas diri sebelum berpendapat atau sebelum menyalahkan argumentasi orang lain. Saya semakin banyak diam ketika terlibat dalam obrolan serius. Sebab saya tahu, banyak ilmu yang belum saya kuasai. Banyak membaca membuat mata saya terbuka, tapi mulut tertutup.

Kini, saya membaca hampir berbagai jenis buku. Tidak ada buku yang tidak saya sukai. Sayangnya, saya harus ingat pada realitas. Saya tidak bisa menghasilkan uang hanya dengan membaca buku, setidaknya untuk saat ini.

Maka yang muncul dibenak saya akan sebuah pekerjaan atau karir adalah tentang menjadi seorang penulis. Saya ingin menulis apa yang ingin saya baca. Banyak ide-ide muncul dengan gemilang. Bahkan saya bisa menulis buku saya dalam imajinasi selama berhari-hari. Tapi tidak di dunia nyata.

Dalam imajinasi, saya menciptakan karakter, membuat plot, menyusun cerita, meletakkan konflik, meledakkan emosi hingga menamatkan cerita. Bahkan pernah beberapa kali saya membuat cerita sedih, saya sendiri sampai menitikkan air mata, padahal saya belum mulai menulisnya. Yang paling parah adalah cerita-cerita superhero. Selama berhari-hari saya cuma menatap tembok kamar dan mengimajinasikan cerita dari awal hingga akhir. Hingga menyusun sejarah tiap karakter sampai detail kostum semua bersorak riang di ruang otak saya.

Kesulitan saya adalah merubah gambar-gambar dalam otak menjadi susunan bahasa yang tangguh diatas kertas. Saya selalu berharap memiliki mentor, memiliki ruang dan waktu yang sangat mendukung apa yang ingin saya lakukan. Meski saya sadar, saya terlalu manja.

Saya tidak pernah benar-benar memulai menulis. Saya mencoba nge-blog untuk melatih dan merangsang sense of write saya, sepertinya tidak terlalu memberi kemajuan yang signifikan. Saya mulai kecewa. Larut dalam keterpurukan yang dalam. “Love what you do, do what you love” ternyata tak mudah. Ah benar saja, tak ada hal besar yang mudah diraih.

Lalu saya kembali pada candu saya yang lama, yaitu membaca. Saya semakin giat membaca dan tergila-gila membeli buku-buku. Semakin banyak membaca, saya merasa semakin dekat sekaligus jauh dengan cita-cita saya menjadi penulis. Belakangan saya berpikir, mungkin menjadi penulis hanyalah obsesi. Ambisius menjadi penghalang bagi saya untuk benar-benar menjadi penulis. Tanpa disadari, saya tidak menulis dengan rasa suka. Saya menulis dengan beban yang begitu berat.

Saat tulisan ini saya tulis, sudah berapa banyak ide-ide yang berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Saat ini saya sedang asyik-asyiknya membaca buku-buku, hingga lupa tidak pernah lagi nge-blog. Hasrat saya untuk menjadi penulis tak sebesar dulu, meski harapan itu masih ada, sepertinya.

7 komentar:

  1. Kirain ini mau ngereview film Melancholia, hehe.

    Wah pantes kok beberapa kali berkunjung ke sini nggak ada post barunya, ternyata punya kesibukan lain tho.
    Katanya sih penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik, mungkin ini bisa jadi semacam modal. So, keep calm, hehe.

    BalasHapus
  2. Jadi inget aku ngga pernah nulis lagi *juga*, dan sedang berusaha keras untuk menulis. Menulis itu hal yang penting sih, ngga melulu untuk orang lain, tapi untuk kita. At leaset, kita mengunci kenangan, pikiran dan hari-hari yang kita lalui ke dalam tulisan yang bisa kita tengok dan baca kembali.

    Tuh kan ketauan kalau lagi butuh banget nulis, nulis komen aja sepanjang ini soalnya :D

    By the way, kita sering banget ya ketemu pas SMA di Gramedia :D padahal beda SMA :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesering itukah? Kok aku lupa ya :o Yo ayo nulis saja, aku udah siap baca nih..

      Hapus
  3. Iya, entah papasan di pintu keluar Gramed, ketemu di bis, atau liat kamu nunggu bis oper :p

    BalasHapus
  4. saya juga begitu.. dari kecil sudah sangat menyukai buku.. bahkan kebiasaan ini semakin memuncak ketika masuk di SMK. ya SMK.
    Disana sangat jarang yang menyukai buku, tapi bukan berarti saya menghentikan hobi membaca buku. Terkadang kalau hari minggu di tanggal muda datang, saya juga hobi ke Gramedia.
    ...
    Oh iya, terkadang kita ini sudah memiliki gambaran apa yang akaa kita tulis, bahkan kita menyadari bahwa itu adalah cerita yang apik, tapi karena terlalu banyak dipikir dan dibayangkan alhasil ide kita menghilang, atau smgt menulis kita yang hilang karena sudah asyik dengan imajinasi kita sendiri..
    ...
    btw salam kenal ya..

    BalasHapus