11 Agustus 2016

Menarik Diri Dan Memaafkan



Tidak butuh waktu lama bagi seseorang untuk membenci sesuatu. Entah peristiwa tertentu, situasi tertentu atau terhadap orang-orang tertentu. Sebaik apapun budi pekertimu, saya yakin ada masa di mana kamu akan membenci sangat dalam. Kebencian sering dibicarakan sebagai sumber perselisihan, sengketa, bahkan berdampak kerusuhan dan kehancuran. Bisa jadi. Tapi banyak juga benci-benci yang tak terluapkan. Terkubur dan menunggu beberapa masa untuk mengurai semua hingga kemudian lenyap tanpa sisa.

Ini adalah saat yang tepat untuk menarik diri dari situasi yang membencikan. Ketika seseorang atau beberapa orang memicu sensor kebencian, ketika itu pula upaya defensif akan ter-ON-kan secara otomatis. Bisa saja melalui penyangkalan atau pembelaan. Namun saya selalu punya alternatif, saya memilih menghindar. Pengecut? Mungkin.

Menarik diri dari sumber kebencian sama saja menarik diri dari akar permasalahan. Banyak orang akan selalu berkoar-koar bahwa masalah ada untuk diselesaikan. Saya tidak selalu setuju, karena seringkali ditemui masalah-masalah yang terlalu fana untuk menyita perhatian saya. Saya memilih menghindar, menjauh dari kerumunan dan membiarkan masalah terkikis oleh jaman.

Dalam fase penarikan diri saya akan mengerjakan sesuatu yang lebih berarti. Karena mengutuk dan meratapi tidak akan pernah meredam benci. Saya akan hilang dan kembali. Seperti petak umpet yang tak lagi asyik untuk dimainkan, saya memilih pulang.

Selain mengerjakan hal lain adapula yang lebih penting. Yaitu meredam amarah dengan guyuran pemaafan yang dingin. Kebencian yang membara terlalu sesak dan panas untuk terus disimpan. Jadi alangkah logisnya jika sumber panas itu dimatikan dengan air dingin, yang saya maksud adalah pemaafan.

Pemaafan tak selalu verbal. Bahkan yang dimaafkan juga tak selalu harus tahu. Sebab kadang yang berbuat salah juga tidak merasa bersalah lho. Yang jelas jika masanya tiba untuk kembali bertemu maka emosi yang dulu tersulut sudah selayaknya ditinggalkan dan kembali berkawan. Karena kebencian juga menjadi terlalu fana untuk terus dipikirkan.

Saya tidak tahu apakah ini langkah bijak atau pengecut seperti yang saya bilang di awal. Saya merasa jika ada yang berbuat tidak menyenangkan pada saya mungkin karena saya melakukan perbuatan tidak menyenangkan pula pada orang lain. Jadi harus legowo sejak dalam pikiran. Memaafkan dan melupakan masa lalu. Tapi sebelumnya menjauh dulu dari sumber masalahnya, menjauh dari biangkeroknya. Menarik diri dan memaafkan sejauh ini adalah cara terbaik untuk meredam kebencian.

Intinya, pasti kita akan bertemu dengan orang yang membuat kita marah. Namun membalasnya dengan cara membuatnya marah balik adalah respon alay yang superduper alay untuk dilakukan. Ini bukan tentang membuktikan siapa yang benar dan siapa yang menang. Ini tentang membuktikan seberapa tangguh kita menahklukkan diri sendiri.

Sebelum menyalahkan orang lain, bukankah harus tahu dulu apa benar orang itu salah atau hanya ego kita yang menghendaki orang itu salah. Sebelum terpancing oleh emosi yang menjadikan masalah semakin runyam, tak ada kelirunya jika mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu. Dalam mengoreksi diri, kadang kita menemukan space yang melegakan. Space di mana bersenyaman jiwa besar dan kebijaksanaan untuk menyikapi sesuatu dengan benar menurut semesta, bukan ego.

Ah sudalah. Toh ujung-ujungnya akan balik lagi pada ungkapan “kembali pada orangnya, kalau si A bla bla bla ya dia bakal bla bla bla bla”. Mboyak!

Huft, tulisan ini begitu buruk ya. Tapi ada yang lebih buruk. Yaitu tidak menulis.

Terima kasih sudah membaca susunan huruf-huruf ini. Maaf jika saya mengecewakan. Saya sedang kalut. Mungkin sudah saatnya ada yang meluk. Tapi tapi jangan kamu, Mbang!
Source pict: linkedin.com

7 komentar:

  1. I... ni..... ke.... ren.

    Really observant :)

    BalasHapus
  2. Bukankah mencegah jauh lebih baik dari mengobati?
    Menghindari masalah bukan berarti takut akan masalah ya bung:))

    BalasHapus
  3. Intinya, pasti kita akan bertemu dengan orang yang membuat kita marah. Namun membalasnya dengan cara membuatnya marah balik adalah respon alay yang superduper alay untuk dilakukan. Ini bukan tentang membuktikan siapa yang benar dan siapa yang menang. Ini tentang membuktikan seberapa tangguh kita menahklukkan diri sendiri.

    Suka.

    BalasHapus
  4. Terkadang pun, memaafkan orang lain juga memaafkan diri sendiri

    BalasHapus