29 September 2016


Alleycats adalah film action-thriller yang disutradarai oleh Ian Bonhote. Rilis tahun 2016 dan mendapatkan rate rendah dari imdb (4,9/10). Film ini mengisahkan tentang seorang kurir pengayuh sepeda bernama Chris yang tak sengaja melihat peristiwa pembunuhan di sebuah hotel. Melihat peristiwa tersebut, Chris langsung lari dan ia membawa rekaman kejadian yang tersimpan dalam memori di kamera GoPro-nya.

Ternyata orang yang Chris lihat itu adalah seorang pejabat negara bernama Yates dan si korban adalah seorang perempuan yang berprofesi sebagai reporter. Bukannya melapor kepada polisi, Chris yang dibantu teman misteriusnya malah memanfaatkan video rekaman itu untuk memeras Yates. Profesi Chris sebagai seorang kurir memang tidak menjanjikan kehidupan mapan. Dengan alasan kebutuhan ekonomi itulah ia memanfaatkan kesempatan ini meski nyawa taruhannya.

Yates sendiri sebagai seorang pejabat negara berdiri pada strata tinggi dalam lapisan sosial masyarakat. Kekuasaan yang ia genggam membawanya pada titik angkuh yang membutakan dirinya pada realitas. Yates menolak kesepakatan dengan Chris. Ia mengirim orang kepercayaannya untuk menghabisi nyawa Chris.

Memang pada akhirnya Chris meregang nyawa saat mengikuti lomba balap sepeda ilegal. Namun masalah Yates belum berakhir. Orang kepercayaan Yates gagal mendapatkan kameranya Chris. Hal ini membuat Yates semakin risau. Sebab teman misterius Chris mengambil kamera itu terlebih dulu dan memeras Yates dengan nominal yang lebih tinggi.

Sementara itu, kematian Chris membawa kisah haru tersendiri bagi Danni. Danni adalah adik perempuan Chris satu-satunya. Dalam kedukaan tersebut, Danni bersikeras mengusut kematian kakaknya. Ia percaya bahwa kematian kakaknya bukan sebuah kecelakaan semata. Tekadnya ini ternyata menjerumuskan dirinya sendiri pada situasi-situasi yang membahayakan. Ia harus menemukan teman misterius Chris, bersembunyi dari pembunuh suruhan Yates dan membongkar sosok biker misterius yang selalu mengikutinya.

Relasi Kuasa Antara Yates dan Chris

Seperti yang sudah saya paparkan di atas, Yates adalah seorang pejabat negara dan Chris adalah kurir pengayuh sepeda biasa. Bahkan peran Chris dalam lapisan masyarakat pun dipandang sebelah mata. Hal ini divisualkan ketika Danni (yang berprofesi sama dengan Chris) disepelekan oleh polisi. Pengaduan terhadap kematian kakaknya itu tidak ditangguhkan. Polisi itu berkata “cari pekerjaan yang lebih layak lain kali”. Kedua status sosial antara Yates dan Chris ini kerap disebut dengan istilah asymetric relationship (hubungan tidak setara). Yates dengan lingkungan sosialnya yang mewah dan Chris yang dari kalangan bawah, kontras memang, namun mereka memiliki sebuah “hubungan”.

Hubungan yang terjalin pada mereka ini unik. Baik Yates maupun Chris saling memberi tekanan dan keduanya pun sama-sama memiliki ketakutan. Yates menekan Chris melalui anak buahnya yang dikirim untuk menghapus bukti pembunuhan. Bersamaan dengan hal itu, Yates juga memiliki kekhawatiran jika video bukti pembunuhan itu tersebar maka hidupnya bakal hancur. Tidak berbeda jauh dengan Chris yang merasa memiliki kuasa atas Yates karena ia menyimpan rekaman bukti pembunuhan. Dan tak dapat dipungkiri jika Chris juga merasakan ketakutan akan bahaya yang mengancam nyawanya. 


Hal ini mengingatkan saya pada konsep pandangan Federich Nietzche dalam Dawn, atau juga sering diterjemahkan dengan judul Daybreak : Thoughts on the Prejudices of Morality. Menurut Nietzche, rasa takut adalah dorongan negatif yang membuat kita menghindari sesuatu, sedangkan kehendak untuk berkuasa adalah dorongan positif yang membuat kita memperjuangkan sesuatu. Dalam film Alleycats bagaimana Yates dan Chris yang memiliki hubungan tak setara ini saling melakukan represi satu sama lain. Sehingga sepanjang film berlangsung kita akan disajikan pertunjukan orang-orang panik, atau dalam istilahnya Weber kita mengenal imperative control.

Imperative control sederhananya adalah pengawasan yang mengandung perintah. Seperti kalau kita masuk ke suatu ruangan lalu ada peringatan bahwa ruangan tersebut terdapat cctv. Meskipun kita tidak melihat cctv itu ada disebelah mana, kita tetap akan mawas diri karena merasa diawasi. Secara otomatis kita akan melakukan hal-hal yang tidak mencurigakan. Dalam film Alleycats, Yates diwajibkan oleh penasehatnya untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa memancing perhatian publik. Seperti pesta malam, mabuk-mabukan, bermain perempuan dan hal-hal negatif lain. Yates dituntut untuk tampil menawan ketika mendapat sorotan kamera dari media. Ia harus mencitrakan dirinya sebagai seorang pejabat yang bersih dan kepala keluarga yang bahagia. Namun, dibalik itu semua sebenarnya ia mengalami depresi yang luar biasa.

Film ini boleh mendapat rate rendah dari imdb, namun bukan berarti kita tak perlu menontonnya. Bukan film yang spektakuler memang, namun masih enak dinikmati. Alleycats ini mengingatkan saya pada film-film yang sering tayang di stasiun televisi swasta ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Film yang aman dari adegan seks vulgar dan terjaga dari adegan sadis.

Meski film ini sesederhana itu, namun kita bisa menemukan hal-hal menarik untuk diperbincangkan. Seperti ulasan singkat saya tentang relasi kuasa yang sudah pasti tidak ada pentingnya bagi hiruk pikuk politik di negeri tercinta kita ini. Kekuasaan memang jadi perbincangan yang terus hangat, baik dari Nicholo Machieveli yang menulis kitab diktator ‘Il Principe’ hingga Michael Foucoult yang bergunjing ria tentang relasi kuasa sebagai seorang anti-finalis.
Opo, sih...???!!

Baiklah, cukup demikian review dan celotehan sederhana yang bisa saya tulis. Intinya, kalau mau nonton ya nonton saja. Tidak ya tidak apa-apa, sepertinya film ini tidak begitu sering diperbincangkan di cafe atau warung tenda. Oke gaes, makasih ya sudah membaca ulasan saya ini dengan sabar dan khusyuk. Semoga ada manfaatnya. Kalau teman-teman sekalian pernah nonton film ini, yuk kita obrolkan di kolom komentar. Atau ingin merekomendasikan film rate rendah seperti ini silakan juga tinggalkan pesan di kolom komentar. Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya. 

Pict source: alleycatsfilm.com/

3 September 2016



Sebagai pengguna sepeda motor yang hampir tiap hari menerjang keramaian jalan raya, saya selalu bertemu dengan orang yang uring-uringan dan merasa dirinya paling benar. Beberapa diantara yang saya temui bahkan sempat bersinggungan dengan saya.

Pernah ketika saya menurunkan kecepatan untuk memberi kesempatan penyebrang jalan, saya malah dimarahi pengendara lain dari belakang. Di jalanan, saya sering menengok ke spion untuk ngecek keberadaan pengendara lain. Yang saya lihat kala itu sebenarnya si pengendara berjarak sangat jauh meski saya tahu kecepatannya memang tinggi. Namun, jika sesuai hukum fisika yang dibungkus peri kemanusiaan, sangat bisa si pengendara berhenti disamping saya. Bukannya decit rem yang saya dengar, malah kata “ASU!” yang tumpah dari mulutnya.

Saya jadi bingung. Dia ini teriak “ASU” gitu maksudnya mengenalkan diri ya? Seperti “aku asu, kowe minggiro” gitu apa gimana?

Bahkan, bapak saya yang sudah berkeriput dan kaki tak mampu menopang langkah pun sering kena marah. Pernah saat itu bapak mengantar ke PKU karena saya sakit darurat. Karena bapak sudah tua, kecakapan bermotornya pun memburuk. Di jalanan bapak saya telat ngerem, lalu nyenggol ban belakang pengendara lain. Melihat bapak saya yang beruban dan saya yang pucat, ternyata tidak meluluhkan hati si pakdhe-pakdhe yang ban motornya disenggol bapak saya itu.

“Piye tho, Pak? Matane i ning ndi?”, begitulah kata yang terucap.

Padahal jika dilihat pakai teleskop apa pakai pipa comberan, si pakdhe itu juga tidak merugi apapun. Wong nyenggolnya itu kayak nyubit gemes pipi pacar. Tidak ada yang rusak atau tergores sedikit pun lho. Tapi pakdhe itu tetap bersikeras menyalahkan bapak saya. Sungguh perlawanan yang sangat norak. Che Guevara kalau tahu dengan pakdhe ini, malu dia.

Di jalan raya, banyak yang merasa seperti tokoh Cinderella. Karakter yang benar, berbudi pekerti luhur namun jadi korban orang-orang dzolim. Sudah berapa banyak orang yang menyalahi aturan kecepatan, melanggar marka jalan, menerobos lampu merah, tapi kalau ditegur pasti merasa dirinya tetap benar. Seolah kesalahan yang ia lakukan tidak layak dipermasalahkan. Sebuah sikap yang seasu-asunya sikap.

Memang harus diakui, ada cara pandang yang sangat keliru di masyarakat kita. Berulangkali saya dinasehati sama teman atau bahkan orangtua, yang bilang kalau kena singgungan di jalan jangan ngaku salah, nanti bisa disuruh ganti rugi. Ini lucu sekaligus bikin sedih. Pernah suatu ketika saat saya hendak parkir depan rumah, tiba-tiba ada cewek yang nabrak saya dari belakang. Kesalahan saya saat itu adalah lampu sign belakang yang tidak menyala karena memang lagi rusak. Saya tidak mengalami luka apapun, motor saya juga baik-baik saja. Tapi cewek yang menabrak saya mengalami luka lebam dan lecet.

Saat menepi didepan rumah saya, si cewek lekas melepas earphone yang menancap di daun telinganya. Seketika itulah bapak saya lekas menyalahkan si cewek dengan dalih mendengarkan lagu di jalan yang dipercaya bisa menghilangkan konsentrasi. Sedangkan si cewek sesenggukan menahan sakit dan rasa takut karena ia terlambat masuk kerja. Lalu saya dan cewek itu berdiskusi sebentar untuk memutuskan ‘enaknya gimana’.

Waktu itu saya mengantar si cewek pulang ke rumahnya dengan naik sepeda motor kami masing-masing secara beriringan. Sampai di rumahnya saya melapor ke ibunya kalau kami bersinggungan di jalan. Lalu kami segera ke klinik kesehatan dekat situ untuk mengobati cewek yang sampai sekarang aku tak tahu siapa namanya. Saat menunggu si cewek periksa, saya dapat sms dari ibu saya. Beliau memarahi saya karena mengantar si cewek itu pulang, sebab saya bakal disalahkan sama keluarganya. Benar saja, biaya pengobatan ternyata saya yang nanggung. Bahkan saya ditanya sama neneknya si cewek ‘nabrakmu lak ora banter tho, mas?’.

Saya mengantar cewek itu pulang bukan karena saya merasa bertanggungjawab atas musibah yang menimpanya. Namun karena rasa kemanusiaan saja. Katanya negeri ini menganut kemanusiaan yang adil dan beradab? Namun apa yang saya lakukan disalahartikan oleh semua kalangan. Niatnya mbantu, malah dianggap salah. Didikan orde baru yang mendarah daging sepertinya.

Beberapa tahun belakangan ini saya mencoba untuk menjadi pengendara yang legowo. Seperti mempersilakan penyebrang, membiarkan pengendara yang ingin menerabas jalan, dan terutama memberi jalan bagi pengendara berisik baik suara kalpot maupun klaksonnya.

Perihal klakson juga jadi titik bajingan tersendiri bagi saya. Saya nggak ngerti dengan mereka yang menyuarakan klakson di momen yang nggak penting. Seperti ditengah kemacetan, tiba-tiba suara klakson berteriak kencang dengan interval panjang. Dora dan para penontonnya pun tahu kalau tidak ada kendaraan yang bisa bergerak di kemacetan itu. Ada juga yang saya temui saat jalan benar-benar sepi. Hanya ada beberapa gelintir pengendara. Tapi ada satu pengendara dengan kecepatan biasa saja yang nyalain klakson tiap 5 detik sekali. ITU APA MAKSUDNYA?

Sejak saya muak dengan suara klakson yang tidak ergonomis itu, saya memutuskan untuk berhenti memencet klakson. Serius. Saya rasa memencet klakson itu buang-buang waktu. Lebih baik fokus memperhatikan jalan, menganalisa gerakan pengendara lain, lalu berkendara dengan anggun.

Memang tidak semua pengendara dalam keadaan yang santai seperti saya. Ada yang buru-buru mengejar urusannya yang belum selesai. Hal itu tentu wajar dan saya cukup legowo memberi mereka jatah jalan. Tapi jika ada yang ngebut sekaligus berklakson-klakson hanya untuk sekedar ‘duluan’ itu sungguh kelakuan biadab. Mereka itulah begal estetika di jalanan.

Selain pengendara mental Cinderella dan titisan Mas Boy yang demen ngebut dan nglakson, ada lagi pembegal estetika jalanan yang cukup dikenal di kota saya. Yaitu kendaraaan plat B. Banyak saksi yang mengatakan jika kendaraan plat B menganut paham abstraksionisme dalam memilih jalan. Jalur lambat, tancap gas. Marka jalan, terabas. Lampu merah, bablas. Trotoar, libas. Kendaraan plat B ini seperti hukum kapilaritas, bisa meresap melalui celah-celah kecil.

Keputusan yang diambil oleh sopir plat B benar-benar sulit diterka dan beresiko. Mereka bisa nekat menerabas kendaraan lain padahal di depan tidak tersedia ruang. Secara matematis sih seharusnya gak bisa nyungsep di tengah-tengah dua kendaraan roda empat, tapi mereka bisa! Heran benar-benar heran. Mereka berani mengambil keputusan yang tidak tahu aman atau tidak kedepannya. Saya yakin sopir plat B ini dibekali mata byakugan dan lolos seleksi lomba tawakal tingkat internasional.

Segala keriuhan dan kebisingan di jalanan memang seringkali bikin amarah meluap-luap. Tapi disitulah tantangannya. Asyiknya berkendara bukan diukur dari berhasil tidaknya kita menakhlukkan jalan, tapi menakhlukkan diri sendiri. Memberi porsi jalan pada orang lain dan tidak mencemari indera pendengaran dengan klakson-klakson tak penting. Hal-hal sederhana itulah yang membuat saya tetap waras sebagai pengendara. Mari kita lawan para pembegal estetika jalanan dengan kebijaksaan dalam berkendara. "Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang paling kecil dan mulai saat ini juga" -by AA Gym feat. Haikal AFI-.

Jadi, gaya berkendara macam apa yang biasa kamu lakukan?