18 Februari 2017


Perkenalan saya dengan kota Solo berawal dari hal embuh yang pernah saya lakukan tatkala pakaian sekolah masih tersimbolkan dengan seragam putih-biru. Kala itu, teman saya yang bernama Nega mengajak mencari buku panduan game Seal. Memang, saat saya SMP dulu suka sekali dengan Seal Online meski levelnya stuck dibelasan saja. Sementara Nega sudah jauh lebih pro. Kegandrungan itulah yang membuat kami terpacu untuk meluncur dari Kartasura ke Solo dengan kayuhan sepeda. Jar kendhel!

Kami mencari di beberapa lokasi, seperti warnet Yahoo!, Solo Grand Mall, Gramedia, dan tempat-tempat lain yang saya lupa namanya. Jujur saja, saat itu masih ada rasa was-was jika saya tidak bisa pulang. Sebab, kota Solo masing sangat asing bagi saya.

Kekhawatiran saya berbuah lega ketika sekujur tubuh ini tiba di rumah. Lalu apa kami mendapat buku panduan tersebut? Tidak! Tidak ada di mana-mana. Justru saya malah membawa oleh-oleh berupa luka karena sempat terjungkal di jalan. Tapi nek dipikir-pikir pancen kemlinthi tenan. Ngonthel sepeda dari Kartasura sampai Solo. Tur durung adus sisan. Joss bloko-bloko!

Selang beberapa semester setelahnya, saya kembali dolan ngetan bersama kawan saya yang lain. Kali ini kepentingannya adalah untuk nonton di bioskop. Sopoyono, saat itu kami yang masih belia ini diburu oleh polisi lalu lintas. Alasannya sudah jelas. Saya tidak memakai helm dan dari perawakan terlihat kami adalah bocah-bocah tak berizin. Alhasil, diseretlah kami ke pos polisi.

Setelah ditanya macam-macam, diketahuilah bahwa teman saya ini memiliki bapak seorang polisi juga. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Pak Polisi untuk menjatuhkan denda kepada kami. Maka terjadilah perdebatan sengit soal harga yang mana kala itu saya cuma ndomblong saja. Singkat cerita, kami menyerah pada nominal 170.000 rupiah. YA! SATUS PITUNG PULUH EWU! Azu!

Lah kok mau-maunya? Lha mana kutau harga semestinya berapa, Bosku? Kuwi jik SMP. Otakku masih berkutat dengan nama-nama kerajaan di Indonesia. Jingseng!

Terlepas dari pengalaman nyelekit itu, saat kelas tiga SMP saya memiliki hobi main ke Solo sendirian. Yuhuu. Jadi ceritanya, setiap hari minggu saya pergi ke Gramedia dengan naik bus. Memang tidak langsung turun tepat di depan toko buku ternama itu. Sebab, tepat di depannya ada jalan searah yang harus dipatuhi. Alhasil, saya dari Kartasura turun di perempatan Gendengan atau kadang kelupaan mblabas sitihik sampai Lapangan Kota Barat.

Dari turun bus itulah saya memutuskan untuk jalan kaki hingga sampai di Gramedia. Pulangnya pun sama saja. Tingkah laku ini lumayan rutin saya lakukan setiap minggu, namun berakhir hingga awal-awal saya masuk SMA. Eits, jangan kira saya ke Gramedia buat beli buku. Ya cuma baca sampelnya dong, Bos. Cah irit og.

Begitulah kira-kira perkenalan saya dengan kota Solo semasa SMP. Sedang pengalaman saya ke Solo saat duduk di bangku SMA terhitung lebih sering tapi tidak rutin. Sebut saja misalnya kunjungan saya ke acara pensi, acara pameran komputer, acara lomba, serta mencari sponsor untuk acara ulang tahun sekolah.

Ada pula saat saya terlibat dengan komunitas menulis, eh tapi cuma datang pada satu kali rapat dan workshop. Niat hati ingin aktif benar, tapi keadaan kurang merestui. Sebab lokasi kumpul lebih jauh daripada tempat saya mbolos. Ya, tempat mbolos saya tak lain dan tak bukan adalah Balkon SGM, tempat main billyard. Jago billyard? Babar blas! 

Oiya, tak luput dalam catatan juga jika saya pernah ngedate sama mbak-mbak kampus di Bakso Kadipiro. Ini lebih belagu daripada mbolos main billyard. Paginya saya baru banget punya SIM. Malamnya sok-sokan dinner. Pun masih harus nyasar dulu ketika dapat anceran kosnya belakang STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia), yang ternyata namanya sudah ganti jadi ISI (Institut Seni Indonesia).

Satu keentahan lagi antara saya dan Solo adalah saat terlibat acara HUT RI di THR Sriwedari. Saat itu saya dimintai bantuan untuh mengisi jumlah anggota Paskibra SMA yang kosong. Ya, Paskibra! Tubuh kurus kecil ini nyempil dalam barisan yang gagah-gagah itu. Dalam acara itu tugas saya ya cuma jalan berderap saja ketika dibutuhkan. Saya hampir seutuhnya lupa dengan acaranya seperti apa, sebab saya sibuk membetulkan celana pinjaman yang longgarnya minta ampyang.

Entahnya lagi, pulang dari acara itu sebagian dari kami memilih untuk mampir mall dengan tetap mengenakan seragram putih Paskibra. Hal yang kami lakukan di mall sungguh heroik sejati. Kami masuk ke dalam lift dari lantai atas. Berjajar rapi mengelilingi sisi lift dengan badan tegap dan muka serius. Barangkali sudah lima kali lift terbuka di beberapa lantai tapi kami tak gentar. Kami menolak untuk ke luar lift. Heroiknya di mana? Jangan salah sangka, kami secara sukarela membantu memencet tombol bagi pengunjung, lho.

Tentu saja biar praktis, kami pencet semua tombol. Mbois tenan po ra?

Selepas dari SMA saya kuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta yang jarak tempuhnya memakan waktu setidaknya setengah jam dengan naik motor. Bisa dibilang untuk pergi kuliah saya harus melewati keseluruhan Kota Solo. Sebab kampus saya letaknya jauh di timur berbatasan dengan Karanganyar. Maka kenyang sudah pengalaman saya melewati jalanan Solo.

Saking bosannya lewat jalan yang sudah saya hafal, ternyata muncul keisengan untuk memasrahkan laju motor kepada takdir. Jadi, ketika saya hendak mengunjungi suatu tempat, saya tidak lekas mengambil rute terdekat. Saya justru melupakan rutenya. Kalau ingin belok ya belok, kalau mau lurus ya lurus. Sewenang-wenang saja. Eloknya, sejauh ini saya selalu sampai pada tujuan tanpa rasa bosan di jalan.

Ngomong-ngomong soal jalanan, di Kota Solo ini fitur jalur searahnya sudah sampai tahap overdosis. Bahkan di lokasi-lokasi yang bagi saya cukup menggemaskan. Saking parnonya dengan jalan searah, saat melintas di jalan perkampungan pun selalu saya cari ada tanda jalan searah atau tidak. Maka benar saja jika dulu sempat terjadi demo penolakan jalan searah oleh warga Laweyan, sampai para demonstran ini menggelah sholat hajad di Jalan Dr. Radjiman.

Saya tak sanggup menuliskan semua detail pengalaman saya dengan Kota Solo saat mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Sudah barang tentu ada banyak sekali. Namun, dari sekian banyak itu tentu yang sering saya lakukan adalah memenuhi hasrat hiburan. Salah satunya kecanduan saya dengan bioskop.

Nonton film di bioskop seorang diri sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi saya. Saking sendirinya, saya pernah nonton Transcendence di XXI Solo Square pada pukul dua belas siang seorang diri. Seorang diri dalam arti sesungguhnya. Ya. Satu bioskop cuma saya yang nonton film itu. Seperetinya operator bioskop mengira bakal ada yang beli tiket Transcendence di belakang saya. E, ternyata hanya saya yang beli toket film Johny Deep.

Kegirangan nonton film di bioskop semakin gencar saat Hartono Mall menerapkan harga 10.000 rupiah sebagai biaya tiket untuk Platinum Cineplex. Itupun sudah bonus Big Cola mini. Tapi, lambat laun Platinum Cineplex merubah kebijakan harga. Dari yang semula 10.000 jadi naik 15.000, lalu 20.000, dan sekarang sudah menyentuh angka 25.000 sama dengan harga tiket XXI. Bedanya, Platinum Cineplex masih memberi bonus yang berupa pop corn. Ya. Akhirnya Platinum Cineplex sudah sadar jika bonus soft drink tidak meningkatkan pembelian pop corn. Tapi bonus pop corn bisa meningkatkan pembelian soft drink yang mahal. Bukan, begitu? 
Source: theparksolo.com
Di sebelah Hartono Mall pun juga sama saja murahnya. Saat launch The Park Mall, bioskop XXI merayu para pengunjung dengan tiket nonton sebesar 15.000. Harga ini tetap konsisten selama beberapa bulan. Maka wajar saja jika saya sering nonton di sana. Secara kualitas memang lebih baik dari Platinum Cineplex, sih. Ah, nggedebus kamu, Ham. Hla wong kamu pilih The Park itu karena cuci matanya lebih bening, ya tho? Buktinya, kamu sering ke sana tapi cuma sekali doang makan.

Djancik! Gimana gak kapok? Siomay, mie ramen, dan dua minum saja totalnya tujuh puluh ribu! Dinggo ngeprint makalah filsafat lak yo nganti rampung sak semester jik jujul, Ndes.

Di samping foya-foya tak bernutrisi itu, saya juga mengagumi warung tenda di pinggir jalan. Warung-warung ini banyak yang baru buka tatkala sore telah tiba. Kuliner malam adalah salah satu hal yang eman-eman dilewatkan jika bertandang ke Solo. Mulai dari angkringan atau hik, warung bakso dan mie ayam, sate ayam, nasi liwet, nasi goreng, hingga susu segar asli Boyolali juga layak dijadikan tempat untuk mengisi perut.

Hik tetap menjadi andalan saya ketika kantong menipis atau saat sedang ingin menepi saja. Sebab di hik itu saya bisa terlibat obrolan ringan dengan orang-orang yang ada di situ meski tidak saling kenal. Mencoba macam-macam hik berbanding lurus dengan kebiasaan saya mencoba beraneka macam karakter. Kadang di hik wilayah Manahan saya bisa diam saja dari datang sampai pulang. Sedang di hik seputaran Laweyan saya bisa begitu supel. Sesuai mood saja.

Eh, tapi tenan lho. Obrolan-obrolan di hik itu kadang asu-asu bingit. Mulai dari yang serius yaitu komentar soal pembangunan Kota Solo, hingga masalah yang lebih serius lagi seperti kebimbangan untuk menyatakan cinta. Maka dari itu, syarat sahnya bakul hik itu ada tiga. Paham takaran gula, bisa membedakan mana nasi bandeng dan nasi oseng, serta menguasai psikoanalisis. Itu saja.

Source: qraved.co
Sampai dengan detik ini saya puas dengan Kota Solo. Meski sempat jenuh dan timbul keinginan untuk hengkang, namun saya kira Solo sudah cukup sukses menimang saya senyaman ini. Tulisan kali ini saya dedikasikan untuk ulang tahun Kota Solo ke-272. Semoga makin nyaman, damai, kocak dan bisa meningkatkan produktivitas para pelaku kreatif. 
Header source: chic-id.com

11 Februari 2017




“Gue malah pengen nangis kejer kalau nyampe rumah dalam kondisi sangat rapi, bersih, dan istri kecapean.”

Dalam program DISPARITAS (Diskusi Parakdoksal dan Realitas), saya dan Tiwi berkesempatan untuk ngecuis dengan salah seorang blogger asal Bandung yang bernama Andhika Manggala Putra PP. Tulisannya bisa kita simak di andhikamppp.com. Awalnya saya kesulitan betul ketika mencoba menghapalkan alamat blog itu. Baru kemudian saya sadar, jika cara membacanya harus ‘Andhika Em Pe Tiga dot kom’ untuk memudahkan ingatan renta ini.

Diskusi kami bertiga ini sebenarnya sudah terjadi pada 19 Desember tahun lalu. Disebabkan oleh faktor X, J, Q, K, dan As, akhirnya saya dan Tiwi baru bisa membuat tulisan ini pada bulan Februari tahun 2017. Wow! Bukankah ini yang dinamakan duo penunda tulisan paling kaffah di muka bumi ini?

Terlepas dari betapa lamanya tulisan ini dibuat, tentu tidak sebanding dengan seberapa lama Mas Dika (sebutan bagi Andhika Manggala Putra Pulang Pergi) untuk menjalani sebuah kehidupan berumah tangga hingga detik ini. Menurut data intelejen paling aman di dunia, yaitu Facebook, Mas Dika telah tercatat menikah sejak 21 Juni 2014 dengan seorang perempuan bernama Daffa Ikimu Bajoebaroeshop.

Jika kita melihat karakter blognya yang ‘bapak abizz’ itu, saya dan Tiwi tentu tertarik untuk mencari tahu kehidupannya dalam rumah tangga seperti apa. Bar kui tak bubarke. Huahahahaha!

Membahas laki-laki dalam rumah tangga sama saja dengan memancing ketertarikan saya pada hal-hal semacam pembagian kerja. Mengapa hal ini menjadi menarik? Secara pribadi, saya tetap percaya jika dalam relasi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di negara ini masih didominasi oleh kekuasaan laki-laki. Entah sadar atau tidak sadar, masyarakat mayoritas menyetujui bagaimana sistem patriarki ini seolah-olah harus ada. Lalu, apakah Mas Dika dan Bajoebaroeshopnya juga mengalami hal yang demikian?

Eh, kok agak wagu. Selanjutnya saya panggil Mbak Iki saja ya. Daripada mengko ning simpang limo aku disledingtekel karo Mas Dika, lak yo ruwet, tho?

Seperti kutipan dari Mas Dika di awal tulisan ini tadi. Mas Dika merasa tidak enak hati jika rumahnya begitu rapi dan bersih, sementara istrinya tampak lelah. Keringat mengucur deras. Namun kau tetap tabah. Hmm.. 
Peran dalam Rumah Tangga

Tak dapat dipungkiri jika Mas Dika ini adalah suami idaman Mbak Iki. Ketika barangkali ada laki-laki yang menganggap aktivitas bersih-bersih rumah disematkan sebagai tanggungjawab istri saja, Mas Dika justru memilih untuk..meratapi hal yang sudah terlanjur terjadi itu. Telat sitik, Bosku.

Salah satu hal yang saya rekam dalam diskusi kami adalah ketika Mas Dika bercerita tentang pembagian tanggung jawab di rumah tangganya. Mas Dika memberi sebuah pernyataan yang begitu bersahaja, “Ya kalau cinta fungsinya untuk melengkapi, mungkin ini salah satu cara dan aplikasinya.” Saya membayangkan ia mengatakan itu sambil menerawang jauh dari balik jendela.

Pada umumnya masyarakat membagi peran dalam rumah tangga berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Namun, tidak semua bisa dianggap demikian. Sebab, tiap lingkungan tentu memiliki implementasi yang berbeda-beda. Misalkan, perempuan di Bali seringkali terlibat dalam pekerjaan yang bagi orang Jawa dianggap sebagai pekerjaan laki-laki. Di dalam masyarakat Jawa pun, terdapat perbedaan peran perempuan (istri) antara petani pedesaan dengan priyayi. (Bisa dicek di Istiadah, 1999).

Perempuan (istri) dari kalangan petani, umumnya memiliki tugas yang begitu berat. Tak jarang mereka mendapat peran ganda, baik mengurus keperluan rumah, maupun membantu suaminya bekerja di sawah. Sedangkan perempuan (istri) dari golongan priyayi dapat mengandalkan pembantu untuk mengurus keperluan rumah. Mereka juga memiliki pilihan untuk turut mencari nafkah atau tidak. Perempuan (istri) yang tidak bekerja dan tidak pula mengurus kepentingan rumah dapat kita temukan pada rumah tangga ningrat atau mereka yang sedang sakit.

Agar lebih jelas, kita bisa melihat pembagian kerja ini menjadi dua peran, yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik adalah pekerjaan/tanggungjawab yang harus dikerjakan di dalam rumah. Seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, menyediakan kebutuhan rumah, dan menemukan koleksi tiket nonton milik anaknya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Risyart Alberth Far Far (Dosen Unpatti Ambon) di Desa Liang (Maluku Tengah), telah berhasil mengilhami saya. Beliau membuat sebuah tabel hasil survey yang ia lakukan terhadap pembagian peran dalam aktivitas domestik di desa tersebut.

"Peran Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga di Desa Liang Kabutapen Maluku Tengah"
oleh Risyart Albert Far Far

Dora : “Apa kamu lihat sesuatu yang mencolok?”

Para hadirin : .......

Dora : “Katakan sekali lagi!”

Para hadirin : ........

Dora : “Katakan bersama-sama. Dua puluh empat. Dua puluh empat.”

Para hadirin : “Sylyt.”

Seperti yang sudah ditunjukkan Dora, angka peran laki-laki dalam pertanggungjawaban domestik paling banyak dilakukan pada pekerjaan memperbaiki bangunan rumah. Sedangkan, angka tertinggi untuk perempuan terletak pada pekerjaan menyetrika. Dan pekerjaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak mendapat perhatian tertinggi pada urusan mengasuh anak.

Saya senyum-senyum sendiri membaca tabel tersebut ketika membandingkannya dengan situasi bapak dan ibu saya. Persis demikian. Hal yang bisa kita ambil pada tabel adalah ketimpangan peran yang jauh. Meski hanya berjibaku di lingkungan rumah dan tidak menghasilkan uang, bukan lantas hal-hal yang dikerjakan seorang istri adalah pekerjaan ringan. Barangkali ringan jika hal tersebut dilihat satu per satu pekerjaan. Akan tetapi, ketika kita melihat semua itu dalam himpunan pekerjaan, tentu ini menjadi sulit. Maka konyol saja jika dewasa ini masih ada lelucon ora lucu macam, “Wong wadon kui mung perlu macak, masak, manak.”

Lalu, bagaimana dengan Mas Dika?

Dengan pongahnya dia bilang, “Gue kadang balas dendam. Istri lengah, gue yang ngurusin.”

MANTAPS!

Oiya, selingan nih. Jika kita kembali mengingat sejarah ketika imperialisme Barat mulai bangkit. Maka kita tentu mengenal semboyan 3G, yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Jadi, hati-hati saja jika saat ini ada laki-laki berjiwa imperialis yang memiliki semboyan Gelar, Gaji, dan Gadis. Di mana sepanjang hidupnya ia habiskan untuk memanjat jabatan, mengeruk uang, dan menganu perempuan, apapun caranya. Boro-boro bantu pekerjaan domestik, barangkali ketika di rumah, laki-laki macam ini malah bertingkah seperti Raja Wang Mang.

Baiklah cukup, kita beranjak saja dari peran domestik. Kali ini kita coba menegok peran publik. Peran publik ini mengacu pada mata pencaharian atau kegiatan yang menjadi sumber rejeki bagi keluarga tersebut. Kembali lagi saya tawarkan tabel hasil survey yang dilakukan Bapak Risyart sebagai berikut:

"Peran Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga di Desa Liang Kabutapen Maluku Tengah"
oleh Risyart Albert Far Far

Pada tabel tersebut kita peroleh satu pola yang menunjukkan salah satu peran istri dalam ranah publik berkaitan dengan menejemen keuangan. Sedangkan pada peran suami tidak terlalu menarik karena angka perbedaannya tidak terpaut jauh dengan perempuan. Termasuk dalam aktivitas ‘tidak sama sekali’ yang hanya selisih satu angka. ‘Tidak sama sekali’ maksudnya adalah peran yang tidak ikut andil dalam aktivitas publik tersebut. Atau sebut saja menganggur.

Memperhatikan kedua peran, domestik dan publik, kita bisa menemukan bagaimana seorang istri tidak sedikit yang memiliki peran ganda. Kalau kata Jung Jawa sih, “Ya nulis, ya ndisen.” Maka segenap perempuan-perempuan rumah tangga ini kurang lebih juga begitu. “Ya mikir madang, ya mikir dagang.”

Sekali lagi, bagaimana dengan Mas Dika?

“Istri gue kerja. Di luar sana dia udah cukup capek. Eh, sangat malah. Di rumah, ia harus istirahat. Kalaupun dia tidak bisa istirahat di rumah, ya gue tidak boleh istirahat.”

Belum sempat saya bilang ‘tidak’ ketika mbak kasir Indomart menanyakan kartu member, Mas Dika sudah melanjutkan kalimatnya.

“Makanya profil di blog gue ‘lelaki yang menulis ketika anak istrinya sudah tidur’ itu karena gue tidak boleh punya aktivitas pribadi pas mereka masih terjaga.”

Selebihnya Mas Dika mengutarakan bagaimana ia tetap menjalankan hobinya meski harus bekerja di luar dan di dalam rumah. Mas Dika menyatakan dengan tegas bahwa hobi tidak memiliki kewajiban untuk dikerjakan setiap hari. Sikap yang diambil Mas Dika ini tidak ia akui sebagai sebuah pengorbanan. Yang sedang ia lakukan adalah terjun bebas dalam efektivitas waktu untuk mengerjakan hal-hal yang lebih prioritas.

Sementara itu, saya masih menemukan ada suami-suami yang ngeyel dengan hobinya. Seolah ketika ia sedang berhobi maka istri dan anaknya tidak boleh mengganggu, harus memaklumi, dan menunggu sampai selesai.

Lantas saja Mas Dika bercerita tentang masa lalunya dulu. Usut punya usut, ternyata pada awal pernikahan, ia termasuk tipe laki-laki seperti penggambaran di atas. Ia menyebut dirinya sebagai ‘anak bola parah’. Awalnya saya kira itu sebutan untuk anak-anak yang hobi mengumpulkan bola-bola sobek. Sayangnya bukan begitu. Ternyata yang dimaksud Mas Dika adalah orang yang memiliki jiwa militansi terhadap olahraga sepak bola. Maka tak heran ketika tim favoritnya, Nankatsu, sedang bertanding, ia pasti nonbar.
“Gue militan bola. Tapi militansi itu bakal tertinggal sama tanggung jawab yang lebih penting. Ya, sekali lagi prioritaslah. Kadang ngerasa kebangetan sama temen-temen bola yang aktif nonbar tengah malam. Sendirian. Ini gue jadi sok suci banget, deh.”
Penutup kalimat Mas Dika barusan membuat saya tersenyum sambil menaikkan alis sebelah kanan. “Baru nyadar, Mas?”

Belum sampai pengakuan dosanya dimaklumi Awkarin, ia sudah kembali bilang, “Ya alasannya, tidak mungkin gue keluar tengah malam, sedangkan istri sendirian di rumah.”

YAK KUMAT MENEH! TAPI MANTAP!

“Ganti ah. Jangan bola,” pintanya.

Baiklah karena saya dan Tiwi juga tidak memiliki jiwa militansi terhadap bola. Maka kami berdua lekas saja memikirkan arah pembicaraan baru. Tidak lebih dari satu menit berselang, Mas Dika kembali berulah.

“Eh, gue mau sombong, boleh?”

Tiwi menjawab, “Boleh. Bebas, Om. Hahaha.”

Mas Dika mulai menyingkap tabir surya, meletakkan kabut, lalu membenahi posisi duduknya di atas kemarau untuk bercerita. “Cewek-cewek ngegosip itu lazim, kan ya? Termasuk ngomongin suaminya ke teman-temannya. Bini gue juga. Tapi dengan gosip itu, di kantor bini, gue disebut suami idaman.” 
OKE! BEBAS!

Militansi Laki-laki Perlu Disesuaikan

Relasi antara jiwa militan dan keluarga juga pernah menjadi isu dalam film Ordinary World. Film yang rilis sejak Oktober 2016 lalu mengangkat cerita tentang seorang mantan vokalis band beraliran punk yang mulai membangun sebuah keluarga. Vokalis ternama, Billie ‘Joe’ Amstrong, mendapat peran utama sebagai Perry. Tentu berperan menjadi anak punk tidak sulit bagi pentolan Green Day ini. Tapi bagaimana sebagai suami dan bapak?

Source: impawards.com
Jika mengutip istilahnya Mas Dika, Perry ini juga layak disebut sebagai ‘anak punk parah’. Bedanya, Mas Dika memuja tim kesayangannya. Sedangkan Perry menjadi sosok yang dipuja dan disayang oleh para fansnya. Hal ini ternyata meresahkan Perry pada ulang tahunnya yang keempat puluh. Perry merasa kehidupannya berkeluarga terlalu sibuk. Ia juga mengalami kesulitan saat bekerja. Alih-alih dapat kado, di hari ulang tahunnya itu Perry malah dipecat dari toko yang dikelola adiknya sendiri. Kapokmu kapan?!

Pada hari itu bisa dibilang Perry benar-benar melupakan keluarganya. Eh, tapi ia memang pelupa. Namun melupakan kewajiban untuk menyambut kunjungan mertua di rumahnya tentu sebuah bencana. Bahkan ia juga lupa jika anaknya harus tampil dalam ajang festival berbakat di sekolah. Geramnya lagi, gitar baru yang hendak diberikan kepada anaknya itu malah ia hancurkan berkepang-kepang saat ia ajojing diacara ulang tahun yang ia bikin bersama kawan-kawan punk lamanya.

Jika Mas Dika langsung memposisikan diri sebagai seorang suami ketika pertalian cinta sudah dihalalkan, Perry justru masih kesulitan dengan habit barunya itu. Perry seolah tidak ikhlas menjalani kehidupannya berumah tangga. Eits, ia tidak membenci keluarganya, lho. Ia begitu sayang. Hanya saja hype di atas panggung begitu mendarah daging hingga ia benar-benar rindu.

Ada satu percakapan yang menarik antara Perry dan istrinya ketika mereka usai bertengkar gara-gara kelakuan Perry yang sak udele dewe itu.

Skrinsyut dari film bajakan.
Karen : “Kamu tahu apa yang membuatku takut? Kita adalah orangtua. Kita.”

Perry : “Ya. Itu sangat aneh, bukan?”

Karen : “Untuk seluruh hidup mereka, kita akan menjadi ibu dan ayah bagi mereka. Dan ketika mereka pergi ke perguruan tinggi, lalu berpikir tentang rumah. Mereka akan berpikir tentang kita. Ketika nantinya mereka memiliki anak, maka kita menjadi kakek-nenek yang bijaksana. Tapi kebenarannya adalah, kita tidak bijaksana.

Perry : ...(gur prengas-prenges thok, bajiret.)

Karen : “Kita hanya orang yang bertemu di kereta bawah tanah.”

Setelah itu Perry berusaha menguatkan Karen yang baginya telah menjadi ibu luar biasa, sementara ia sangat payah. Seperti Mas Dika juga si Karen ini. Karen menolak dikatakan ibu yang luar biasa. Ia mengaku jika dirinya selama ini hanya sedang menambal ketidakberesan dalam keluarga. Ia hanya berakting seolah-olah bertanggungjawab atas segalanya agar anak-anak merasa tenang. Hal ini yang kemudian menyentuh sukma Perry. Ternyata di balik kerumitan Perry untuk mencari kebahagiaan yang tertinggal di masa lalu, terdapat istri yang berjuang membangun rumah tangga demi masa depan.

Bagi yang berpikir jika menikah adalah relationship goal semata, mungkin gambaran tokoh Perry ini bisa menjadi cerminan. Maka diperlukan sosok Dika-dika Manggala yang lain. Seseorang yang secara sukarela memindahkan kebahagiaan pribadi menjadi kebahagiaan bersama. Yaitu bahagia yang dicari, disusun, dan dinikmati bersama-sama.

Baiklah, saya kira segini saja yang bisa saya rangkum dalam Disparitas kali ini. Sebagian lainnya ditulis oleh Tiwi. Secara garis besar ada dua hal yang ingin saya garis bawahi. Yaitu perihal pembagian peran kerja dan sikap antara hobi dan keluarga. Di sini menurut saya, Mas Dika sudah berhasil menggambarkan dengan kesahajaan berlapis congkak tentang caranya menjadi suami idaman.

Memang bagaimana caranya?

Bukankah sudah jelas? Untuk menjadi suami idaman yang digosipkan istrinya sendiri, maka para bujang itu harus mencari istri seperti Mbak Iki terlebih dahulu. Eh, iya bener begitu, apa bukan?

Saya salut dengan keluarga Mas Dika. Mereka bisa membangkitkan rasa optimis berkeluarga bagi orang-orang yang merasa apatis dengan jalinan pernikahan. Saya harap jika suatu saat terjadi masalah menimpa mereka, Mas Dika dan Mbak Iki dapat segera menyelesaikannya dengan bijak. Jika ada yang sakit, semoga lekas sembuh. Dan karena dua tahun yang lalu saya belum kenal mereka, maka saat ini saya ucapkan selamat atas pernikahan dan kehadiran momongannya. Tetaplah bersahaja dan congkak demi kemaslahatan umat.

Keluarga yang menginspirasi dengan lenggang-lenggong hidung yang sama, njir!
Wes ah bubar-bubar. Bubar kabeh. Wes gek ndang bali kandange dewe-dewe. Sing meh rabi yo ndang rabi. Sing meh nglangut yo ben nglangut sik. Rasah kakehan huru-hara. Gek ndang mulih.

Header: pexels.com/