24 Mei 2017


Saya sebenarnya yakin jika plesetan judul di atas tidak masuk sama sekali. Memangnya itu plesetan dari apa, Bro? Dari judul film Ketika Cinta Bertasbih. Jaaauuhhh!

Baiklah, saya mulai tulisan ini melalui kata-kata bijak dari Jawa, “Witing tresno jalaran soko kulino.” Sebuah kutipan legendaris yang mengklaim bahwa jatuh cinta itu datang lantaran kebiasaan. Jadi yang biasa ngobrol bareng, biasa jalan bareng, dan biasa-biasa lain itu dianggap sebagai kunci untuk merasakan dirimu sedang jatuh cinta.

Eits, maaf saja. Kalau saya kok lebih cocoknya jika kutipan bijak itu sedikit digelincirkan menjadi, “Witing tresno jalaran soko ra nyongko.” (Cinta datang karena ketidaksangkaan).

Ya mau bagaimana lagi? Kalau diibaratkan film sih sudah seperti momentumnya Jack dan Rose di film Titanic itu, lho. Dari sekian banyak tempat yang sudah dikunjungi, sekian banyak orang yang pernah ditemui, dan sekian banyak situasi yang pernah dilalui, tidak menyangka saja jika Jack berjodoh dengan orang yang baru ia kenal di kapal Titanic.

Pun dengan saya.

Dari ribuan teman Facebook, ratusan follower Twitter serta Instagram, kok ya bisa-bisanya jadian sama blogger perempuan, Pertiwi Yuliana, yang Twitternya saja belum sampai sebulan saya follow. Itu pun setelah lebih jauh melangkah baru sadar kalau belum saling follow Instagram. Ya kalau sudah begini kan harus ngeplay ulang lagunya Netral. 



Cinta memang gila.

Nggak kenal permisi.

Bila disengatnya.

Say no to kompromi.

Secara geografis saya jelas tidak menyangka bakal mendapat kepingan puzzle terpenting itu di Jakarta. Lha gimana lagi? Dari lahir sampai sempoyongan kuliah belasan semester juga tinggalnya di Solo saja. Kalau bukan karna revolusi digital, paling saat ini saya masih belagak tegar dengan mengaku sebagai jomblo militan.

Iqro’: Konspirasi Alam Semesta

Seingat saya, pertama kali membaca tulisan Tiwi itu ya melalui Katanium. Tulisannya yang berjudul Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri langsung menarik diri saya untuk membacanya. Lha gimana lagi? Tulisan itu beredar di Katanium pada 9 Agustus 2016, sedangkan dua puluh hari sebelumnya saya baru saja menerbitkan tulisan bertajuk Curahan Hati Seorang Pertapa Skripsi.

Kurang jodoh apa lagi, tuh?

Ehm.

Kadang untuk memantapkan hubungan, kita perlu memakai cocoklogi juga, Bro. Misal kalau kamu sama gebetan lagi makan di warung tenda. Nyeletuk aja gini, “Eh, samaan. Kita jodoh, ya?” Meski dia mungkin saja jawab, “Apaan, sih, Mas. Aku makan mie ayam, kamu makan bakso. Beda.”

Jangan gentar, bro. Cocoklogi itu sebuah kecantikan berpikir. Maka wajar saja jika kamu menjawab, “Mie ayammu diwadahin cawan miwon. Baksoku diwadahin cawan miwon juga. Jodoh kita ini.”

“Miwon, miwon, dengkulmu miwon. Gini lho, Mas. Yang namanya Jack dan Rose itu saja memadu kasihnya di kapal Titanic. Hla mosok cinta kita bersemi di bawah naungan mangkok miwon?”

SS dari tulisan Tiwi: Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri. Awal saling sapa.
Konon, setelah kami memutuskan untuk saling kenal lebih jauh, tercetus sebuah pengakuan dari Tiwi yang katanya langsung suka begitu ia membaca tulisan saya. Hal ini membuktikan kalau..kalau..kalau dulu dia tidak blog walking balik, kampret.

Singkat cerita, kami jadi sering berdiskusi tentang tulisan. Tiwi banyak membantu saya dalam memperbaiki ejaan yang masih semrawut seperti nasib kuliah saya waktu itu. Ia juga kerap memberi ide atau perspektif lain agar tulisan saya lebih kaya.

Lalu pada suatu ketika, saya mendatangi sebuah acara diskusi film yang diadakan oleh Jogja Asian Film Festival (JAFF) di Taman Budaya Yogyakarta. Pada saat itu saya mengikuti sesi nonton bareng dan diskusi film bersama dengan Djenar Maesa Ayu yang juga merupakan penulis idolanya Tiwi.

Siapa sangka, setelah saya menulis hasil diskusi itu di blog, Tiwi berbalik membuat saya iri habis-habisan. Ia mendatangi sebuah acara bertajuk Diskusi Rape Culture & Women’s Sexual Consent Issue dengan pematik berupa nonton bareng film India berjudul Pink.

Maka jadilah kami berdua saling menulis tentang isu krusial yang berkaitan dengan perempuan. Gimana? Jodoh, nggak?

Iqro’ jilid 2: Nay (2015): Belajar Membaca Perempuan

Iqro’ jilid 3: Pink: Gaung yang Termarjinalkan

Cocoklogi teruuus..

Berangkat dari tulisan-tulisan itu, kemudian kami membuat sebuah kolaborasi menulis yang bernama Disparitas (Diskusi Paradoksal dan Realitas). Sayangnya, sampai hari ini baru satu sesi yang berhasil kami selesaiakan. Yaitu, sewaktu membahas peran suami dalam rumah tangga bersama Mas Dika (andhikamppp.com). 



Pengalaman menulis Disparitas bagi saya sebuah momentum ngeblog yang paling menyenangkan. Dalam Disparitas, kami bertiga berdiskusi semalaman. Hasil dari diskusi itu lantas saya dan Tiwi diskusikan lagi berdua. Setelah melalui dua kali diskusi, kami berdua menulis untuk blog masing-masing dan satu guest blog di blognya Mas Dika.

Iqro’ jilid 4: Disparitas dan Isi Kepala Suami Idaman

Nggak mau setengah-setengah, dalam proses menulis hasil diskusi, kami berdua masih melakukan riset dengan membuka beberapa buku sebagai acuan. Selain itu, karena saya sukanya film, wajar saja jika saya menggunakan film untuk menganalogikan topik yang dibahas. Waktu itu saya memakai film yang dibintangi vokalis Green Day, Ordinary World.

Proses menulis satu artikel Disparitas ini memakan waktu yang cukup lama. Lha gimana lagi? Sudah diskusi dua kali, membaca setumpuk literasi, masih ditambah nonton film pula. Itu juga ketika tulisan selesai masih kami tukarkan satu sama lain buat dikoreksi. Sungguh kebelaguan dalam menulis satu artikel yang seasu-asunya, kan?


Kok sampai segitunya?

Dari dulu saya selalu menganggap bahwa ngeblog adalah cara saya belajar nulis. Tidak beda jauh, Tiwi juga menyukai blog karena di sana ia banyak belajar. Maka bagi kami, menulis itu bukan mengajari. Menulis itu sendiri adalah belajar. Sebab dengan menulis, kami lebih banyak terpacu untuk belajar banyak.

Meski tidak muncul di page one jika mau mencari tulisan kami dengan kata kuci “disparitas”, tapi kami merasa senang telah menyelesaikan satu duet menulis. Lho kok tidak muncul di halaman pertama Google? KALAH SAMA KBBI.WEB.ID, CUK!

Harapan kami, program Disparitas bisa terus konsisten. Syukur-syukur bisa jadi satu majalah sendiri. Eaaa. Coba siapa yang tertarik dengan Disparitas versi e-book angkat tangan. Yuhuuu.


Iqro’ jilid 5: Andhika Manggala dan Proses Menghargai Perempuan

Iqro’ jilid 6: Dika Manggala, Militansi Laki-laki, dan Peran dalam Rumah Tangga

Namanya juga bertemu dari blog, sayang-sayangannya juga lewat perblogan gini jadinya. Coba kalau dulu bertemunya lewat Bigo. Bikin kolaborasinya di JAVHD kita.

Baiklah, itu saja kisah sederhana yang bisa saya ceritakan. Intinya, kalau ditanya, “Apa moment ngeblog terbaikmu?” Ya saya jawab, “Sayang-sayangan.” 


Kompetisi Ulang Tahun Warung Blogger ke-6
“Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun ke-6 tahun Warung Blogger

18 Mei 2017



Jika Bung Karno terkenal dengan Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah)-nya, maka saya perkenalkan yang namanya Jas Hujan (jangan sekali-kali menghujat makanan). Sungguh kalimat pembuka yang sangat berfaedah, bukan?

Jas Hujan itu tercetus ketika saya selesai menonton film Cina berjudul Cook Up a Storm (2017). Sebetulnya film ini sederhana sekali, tapi membuat lapar.

Bercerita tentang koki lokal bernama Gao Tian Ci a.k.a Sky Ko (Nicholas Tse) yang jago membuat makanan tradisional Cina. Ia menjadi koki di sebuah kedai makan bernama Seven yang terletak di sudut kumuh dalam kawasan kota metropolis Spring Avenue.

Suatu ketika, di depan kedainya dibangunlah restoran kelas internasional yang mendatangkan koki terbaik Eropa, Paul Ahn (Jung Yong Hwa). Tentu saja Jung Yong Hwa ini tidak ada hubungan darah sama sekali dengan Jung Jawa. Meski plintiran poni mereka jatuh di sudut pitagoras yang sama, tapi tetap saja beda. Lha wong yang satu koki ternama di Eropa. Sedang satunya, buat buka tutup saus Indofood saja harus dicongkel pakai bisikan ‘aku sayang kamu’ dulu.

Karena sedang ngomongin film Cina, izinkan saya terkekeh dengan bahasa Cina: Xixixixixi.

Ketika Stellar (restoran yang dibangun di depan Kedai Seven) mulai beroprasi, ternyata muncul berbagai masalah. Kedai Seven merasa dirugikan karena lahan mereka malah dipakai parkir mobil oleh pelanggannya Stellar.

Saat salah satu pengelola Kedai Seven protes, pihak Stellar malah mengadu akan menggusur bangunan tua tempat di mana Kedai Seven berjualan. Pengelola Kedai Seven yang getol itu bernama Hai Dan Mei a.k.a Uni (Tiffany Tang). Tentu saja di sini Uni tidak membahas tentang Vaseline lagi. Itu Uni Dzalikaaaa..! Xixixixixi. 


 
Alhasil untuk menentukan siapa yang berhak membuka tempat makan di Spring Avenue, Sky dan Paul harus bertarung di kompetisi masak. Kompetisi ini ada tiga babak, lokal, nasional, dan internasional. Jika lolos ketiga babak itu, peserta berhak melawan Dewa Masak, Anthony Ko a.k.a Mountain Ko (Anthony Wong).

Dahsyat tenan yo, di Cina itu sudah ada Dewa Judi, Dewa Mabuk, lalu ada Dewa Masak. Kalau Indonesia sih punya Dewa Sembilan belas, Dewa Bujana, dan Dewaweb. Yuk, beli domain terbaikmu di Dewaweb.

Scene yang membuat saya terharu dengan film ini adalah relasi ayah dan anak yang ditampilkan melalui sosok Sky dan Dewa Masak. Selain untuk mempertahankan Kedai Seven, ternyata Sky juga memiliki ambisi untuk mengalahkan ayahnya. (Spoiler alert)

Sejak Sky masih kecil, ayahnya pergi untuk mengejar impian menjadi Dewa Masak. Dan ia tidak pernah mengakui Sky sebagai anaknya karena ia malu jika memiliki anak yang tidak bisa memasak.

Saya merinding ketika di atas panggung Sky menyodorkan mie ayam ke Dewa Masak. Saat Dewa Masak memakannya, Sky langsung berjalan meninggalkan panggung. Sky tidak peduli dengan hadiah atau gelar. Ia cuma mau menunjukkan kepada ayahnya jika ia bisa memasak. Itu saja.

Maka benar saja, ketika Sky melangkah keluar panggung, Dewa Masak memanggilnya. Saat Sky menoleh, Dewa Masak bilang, “Kerja bagus.” Itu benar-benar scene yang menyentuh bagi saya. Bagaimana tidak? Dua puluh tahun belajar masak hanya untuk mendapat pengakuan dari ayahnya bahwa ia bisa menjadi anak yang membanggakan, lho. Dan itu tersimbolkan dengan mie ayam! Luar biasa. 



Nah, Cook Up a Storm ceritanya sesederhana itu tapi menyentuh. Dan hal lain yang membuat istimewa adalah visualisasinya. Marai ngelih. Mas Paul itu menyajikan makanannya cuantek bingit kayak Sangkuriang (Sangkuriang versi mana yang cantek cuuk??).

Sedangkan Sky lebih atraktif masaknya. Yang satu instagramable dan satunya instastoryable. Wuah, pakai istilahnya khalayak kekinian. Jangan ngaku generasi millenial posmodernis kalau nantinya punya anak belum dikasih nama yang instagramable. Lho, sing koyo piye iku? Ya misal, Joko Gram, Ani Insta, Budi Story, dan Yanto Feed. Kalau mau agak panjang juga bisa pakai nama Sri Started Following You. Gimana? Futuristik sekali, kan?

Haduhbiyuung.. Nonton film tentang masak itu memang harus waspada kelaparan. Apalagi kalau ingat skill masak diri sendiri masih level mie instan dan telur ceplok. Ini juga sedang belajar masak bubur Milna gagal-gagal terus. Jelas tidak bisa dibandingkan dengan Cook Up a Storm, dong. Yaiyalah!

Mas Paul itu masakannya kebarat-baratan. Sementara Sky ketimur-timuran. Masing-masing punya prinsip yang kuat. Mas Paul mengklaim kalau masakan barat itu terus berinovasi, sedangkan masakan timur cuma gitu-gitu saja. Kalau Sky lebih percaya jika masakan timur selalu menang di rasa karena tidak dimasak dengan trik saja, namun juga hati.

Uniknya, karena Mas Paul dikhianati sama si pemilik modal restoran Steller, ia kemudian banting setir memihak Sky untuk lolos babak ketiga. Jadi masakan barat bakal bertemu dengan masakan timur dalam satu piring! Anjaaay.. Ngeliiihhhhh..

Haduhbiyuung.. Lidah dan perut sudah tidak tahan lagi. Saya ingin makan makanan kombinasi barat dan timur sekarang juga! Tapi di mana?

Ketika tubuh mulai lemas. Ketika sekujur badan sudah pasrah pada lapar. Dan ketika mata terlanjur kepilu-piluan. Tiba-tiba saja, ada pemberitahuan wasap yang menggetarkan sukma.

Ada yang ngajak makan di Pesta Buntel.

Wow, tempat makan apa, tuh?


Karena memang sedang ingin makan yang di luar menu sehari-hari dan sedang hemat dalam satu waktu, maka saya menyatakan mau menerima ajakan traktiran itu.

Singkat cerita, saya sampai di Pesta Buntel, tuh. Tempatnya nyaman. Apalagi nuansa whiteaddict, pattern, dan tanaman-tanaman yang ditata bagus itu membuat saya berpikir mau ke Pesta Buntel lagi kapan-kapan. Tapi sendirian saja. Karena saya lihat ada colokan dan koneksi internet. Xixixixixi.

WATDEFAK! INI MENU APA? 

 
Kira-kira begitulah teriakan isi hati saya ketika tahu ternyata Pesta Buntel itu konsepnya adalah fusion. Yaitu olahan dari masakan barat dan timur yang disajikan dalam buntelan tradisional Indonesia. Uedyan! Baru tahu konsepnya seperti Cook Up a Storm saja sudah sempoyongan lidah ini.

Jadi menunya itu ada aneka Pasta yang dibuntel dengan daun pisang dan dipadukan dengan saos asli Indonesia seperti saos padang, rendang, sambal matah, cabe ijo, saos tomat, bahkan ada juga rasa rica-rica! Selain itu, tidak kalah menarik juga ada menu Hainan yang tetap dibuntel daun pisang dengan varian rasa daging ayam fillet (saos kecap) dan rica-rica daging ayam.

Saat saya masih menahan iler, teman saya bertanya sama mas-masnya soal cara masaknya itu bagaimana. Lalu dijelaskanlah cikal bakal cita rasa Pasta Buntel tersebut. Jadi, pertama yang mereka lakukan adalah masuk ke dapur dulu sebelum memasak dan tidak lupa mengucap salam lengkap dengan basmalah. Kami pun manggut-manggut memaklumi kenapa mereka bisa begitu kreatif meramu masakan.

Usut punya usut, setelah Pasta atau Hainan itu digongso, makanan dibuntel dengan daun pisang lalu dibakar pakai arang. Gongso itu bukan acara TV yang dipandu Arie Untung, lho. (Itu Gong Show!). Gongso juga bukan harga diri atau martabat. (Itu GENGSI, bajindul!).

Jadi, gongso itu istilah dari Jawa untuk menyebut proses menumis, yaitu memasak di atas wajan dengan sedikit minyak. Lho kok tau? Katanya cuma bisa masak mie? Iya, barusan itu ngutip dari masukdapur.com. Tuh link source-nya nempel di dua paragraf sebelumnya. (Ngutipnya di mana, naruh sumbernya di mana. Pancen njaluk dibuntel otakmu, Ham.)

Penggunaan daun pisang ini bukan sepele, lho. Kalau di Cook Up a Storm itu seperti saat Sky menuangkan anggur beras di tepian casserole. Lalu ia lilitkan handuk di tepiannya agar uap tidak keluar. Nah, saat anggur beras bertemu dengan uap panas itulah rasa anggur menyatu dengan rasa ayam, bihun, dan kemangi sehingga menghasilkan aroma yang sedap abes! 



Nah, daun pisang sebagai pembuntel pun juga demikian. Ketika dibakar dengan arang itu muncul aroma dan rasa yang khas bagi makanan di dalamnya. Konon, mereka terinspirasi dari sego bakar yang biasanya jadi menu di wedangan atau hik.

Selain itu, daun pisang juga ramah lingkungan. Sampah buangan daun pisang dapat diurai dengan mudah oleh alam, kan, ya? Yang tidak bisa diurai itu cuma jalinan asmara kita, lho, Tiw. Xixixixixi.

Penjelasan tentang olah masak itu membuat perut dan lidah meronta dengan buasnya. Lalu saya mulai menyimpulkan sendiri kalau ternyata hidangan tidak segera keluar itu karena memang proses memasaknya lama. Lha mau bagaimana lagi? Demi cita rasa tinggi, bosku.

Saat saya menenangkan perut dan lidah dengan sabar, tiba-tiba mas-mas Pesta Buntel bertanya, “Ini pesanannya sudah ditulis semua, Mas?”

BAZINDUL! DARI TADI BELUM MULAI PESEN TERNYATA.

Orang bijak perkulineran sih pernah bilang, “Nek luwe pekok. Nek wareg goblok.” (Kalau lapar –jadi- bodoh. Kalau kenyang –jadi- tolol). Kayaknya itu yang bikin quote pernah ikut tes IQ tiga kali, pas laper, pas kenyang, dan pas normal. Xixixixixi.

Xixixixixi ndasmu! Ngelih, boss!
Sembari menunggu pesanan datang, ada baiknya kepoin dulu instagramnya Pesta Buntel, nih.





Bingung malam minggu pada mau kemana? Yuk main ke Pesta buntel!😚 . Ini dia menu recommended dari kita, urut dari kiri ke kanan: ~PENNE MOZZARELLA, pasta penne dengan siraman saus tomat blackpaper ini emang bikin ngiler. Perpaduan rasa dari manis, asam, semi pedas dan gurih yang jadi satu ini emang lumer di lidah..😍 ~FUSILLI CABE IJO, buat para penggemar pedas, menu ini bisa jadi pilihan karna berbahan dasar dari cabe ijo yg pedas..😋 ~HAINAN AYAM RICA, ini menu baru dari kita yang wajib dicoba! Gurihnya nasi hainan bercampur dengan manisnya ayam rica emang bikin nagih..😍 ~ANEKA LATTE, rasanya manisnya nendang dan murmer menjadikan minuman ini salah satu yang favorit pastinya..😋 ~CHOCOLATE, minuman coklat yang satu ini most recommended dari kita, rasa coklatnya bener2 lumer di lidah, dan taburan choco crunchnya bikin nambah nikmat..😋😍 . JANGAN LUPA juga!!! Sampai akhir februari kita ada promo FREE UPSIZE 20% all varian pasta, dan FREE REFILL ICE TEA/HOT TEA SAMPAI PUWAAAAAASSSS, kuy buruan serbuu..😘 . Pesta Buntel 📍Jl. Tirtosari, Purwonegaran, Solo ⏰Buka tiap hari, 11.00-22.00 (last order) 📍Food Court Pak Gendut, Solo Baru ⏰Buka tiap hari, 17.00-24.00 Meet, eat, & delighted! . Cek fanpage FB Pesta Buntel ya untuk lihat daftar Menu dan harga: @pestabuntel😊 . PESTA BUNTEL "MEET, EAT, and DELIGHTED!" #pestabuntel #meeteatdelighted
A post shared by Pesta Buntel (@pestabuntel) on


Haduhbiyuung.. Kepo kok membuat usus saya gemetaran, ya? Ah, sudah, ah. Pokonya kamu harus nonton Cook Up a Storm dan mencoba makan di Pesta Buntel. Bagus lagi kalau bisa melakukan keduanya. Pesta Buntel ini pernah jadi tempat pemutaran film dalam rangkaian roadshow Pesta Film Solo, lho.

Yuk, kalau kamu mau ke sini langsung berangkat sekarang. Nih, saya send location. Jangan lama-lama. Sambil menunggu makanan tersaji memang menyenangkan jika sekaligus menunggumu datang menghampiri.



Rate

Cook Up a Storm : 6.1/10 versi IMDb (Internet Movie Database)

Pesta Buntel : 8.0/10 versi IMDB (Ilham Mau Dibuntel)