Saya sebenarnya yakin jika plesetan judul di atas tidak masuk sama sekali. Memangnya itu plesetan dari apa, Bro? Dari judul film Ketika Cinta Bertasbih. Jaaauuhhh!
Baiklah, saya mulai tulisan ini melalui kata-kata bijak dari Jawa, “Witing tresno jalaran soko kulino.” Sebuah kutipan legendaris yang mengklaim bahwa jatuh cinta itu datang lantaran kebiasaan. Jadi yang biasa ngobrol bareng, biasa jalan bareng, dan biasa-biasa lain itu dianggap sebagai kunci untuk merasakan dirimu sedang jatuh cinta.
Eits, maaf saja. Kalau saya kok lebih cocoknya jika kutipan bijak itu sedikit digelincirkan menjadi, “Witing tresno jalaran soko ra nyongko.” (Cinta datang karena ketidaksangkaan).
Ya mau bagaimana lagi? Kalau diibaratkan film sih sudah seperti momentumnya Jack dan Rose di film Titanic itu, lho. Dari sekian banyak tempat yang sudah dikunjungi, sekian banyak orang yang pernah ditemui, dan sekian banyak situasi yang pernah dilalui, tidak menyangka saja jika Jack berjodoh dengan orang yang baru ia kenal di kapal Titanic.
Pun dengan saya.
Dari ribuan teman Facebook, ratusan follower Twitter serta Instagram, kok ya bisa-bisanya jadian sama blogger perempuan, Pertiwi Yuliana, yang Twitternya saja belum sampai sebulan saya follow. Itu pun setelah lebih jauh melangkah baru sadar kalau belum saling follow Instagram. Ya kalau sudah begini kan harus ngeplay ulang lagunya Netral.
Cinta memang gila.
Nggak kenal permisi.
Bila disengatnya.
Say no to kompromi.
Nggak kenal permisi.
Bila disengatnya.
Say no to kompromi.
Secara geografis saya jelas tidak menyangka bakal mendapat kepingan puzzle terpenting itu di Jakarta. Lha gimana lagi? Dari lahir sampai sempoyongan kuliah belasan semester juga tinggalnya di Solo saja. Kalau bukan karna revolusi digital, paling saat ini saya masih belagak tegar dengan mengaku sebagai jomblo militan.
Iqro’: Konspirasi Alam Semesta
Seingat saya, pertama kali membaca tulisan Tiwi itu ya melalui Katanium. Tulisannya yang berjudul Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri langsung menarik diri saya untuk membacanya. Lha gimana lagi? Tulisan itu beredar di Katanium pada 9 Agustus 2016, sedangkan dua puluh hari sebelumnya saya baru saja menerbitkan tulisan bertajuk Curahan Hati Seorang Pertapa Skripsi.
Kurang jodoh apa lagi, tuh?
Ehm.
Kadang untuk memantapkan hubungan, kita perlu memakai cocoklogi juga, Bro. Misal kalau kamu sama gebetan lagi makan di warung tenda. Nyeletuk aja gini, “Eh, samaan. Kita jodoh, ya?” Meski dia mungkin saja jawab, “Apaan, sih, Mas. Aku makan mie ayam, kamu makan bakso. Beda.”
Jangan gentar, bro. Cocoklogi itu sebuah kecantikan berpikir. Maka wajar saja jika kamu menjawab, “Mie ayammu diwadahin cawan miwon. Baksoku diwadahin cawan miwon juga. Jodoh kita ini.”
“Miwon, miwon, dengkulmu miwon. Gini lho, Mas. Yang namanya Jack dan Rose itu saja memadu kasihnya di kapal Titanic. Hla mosok cinta kita bersemi di bawah naungan mangkok miwon?”
SS dari tulisan Tiwi: Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri. Awal saling sapa. |
Singkat cerita, kami jadi sering berdiskusi tentang tulisan. Tiwi banyak membantu saya dalam memperbaiki ejaan yang masih semrawut seperti nasib kuliah saya waktu itu. Ia juga kerap memberi ide atau perspektif lain agar tulisan saya lebih kaya.
Lalu pada suatu ketika, saya mendatangi sebuah acara diskusi film yang diadakan oleh Jogja Asian Film Festival (JAFF) di Taman Budaya Yogyakarta. Pada saat itu saya mengikuti sesi nonton bareng dan diskusi film bersama dengan Djenar Maesa Ayu yang juga merupakan penulis idolanya Tiwi.
Siapa sangka, setelah saya menulis hasil diskusi itu di blog, Tiwi berbalik membuat saya iri habis-habisan. Ia mendatangi sebuah acara bertajuk Diskusi Rape Culture & Women’s Sexual Consent Issue dengan pematik berupa nonton bareng film India berjudul Pink.
Maka jadilah kami berdua saling menulis tentang isu krusial yang berkaitan dengan perempuan. Gimana? Jodoh, nggak?
Iqro’ jilid 2: Nay (2015): Belajar Membaca Perempuan
Iqro’ jilid 3: Pink: Gaung yang Termarjinalkan
Cocoklogi teruuus..
Berangkat dari tulisan-tulisan itu, kemudian kami membuat sebuah kolaborasi menulis yang bernama Disparitas (Diskusi Paradoksal dan Realitas). Sayangnya, sampai hari ini baru satu sesi yang berhasil kami selesaiakan. Yaitu, sewaktu membahas peran suami dalam rumah tangga bersama Mas Dika (andhikamppp.com).
Pengalaman menulis Disparitas bagi saya sebuah momentum ngeblog yang paling menyenangkan. Dalam Disparitas, kami bertiga berdiskusi semalaman. Hasil dari diskusi itu lantas saya dan Tiwi diskusikan lagi berdua. Setelah melalui dua kali diskusi, kami berdua menulis untuk blog masing-masing dan satu guest blog di blognya Mas Dika.
Iqro’ jilid 4: Disparitas dan Isi Kepala Suami Idaman
Nggak mau setengah-setengah, dalam proses menulis hasil diskusi, kami berdua masih melakukan riset dengan membuka beberapa buku sebagai acuan. Selain itu, karena saya sukanya film, wajar saja jika saya menggunakan film untuk menganalogikan topik yang dibahas. Waktu itu saya memakai film yang dibintangi vokalis Green Day, Ordinary World.
Proses menulis satu artikel Disparitas ini memakan waktu yang cukup lama. Lha gimana lagi? Sudah diskusi dua kali, membaca setumpuk literasi, masih ditambah nonton film pula. Itu juga ketika tulisan selesai masih kami tukarkan satu sama lain buat dikoreksi. Sungguh kebelaguan dalam menulis satu artikel yang seasu-asunya, kan?
Kok sampai segitunya?
Dari dulu saya selalu menganggap bahwa ngeblog adalah cara saya belajar nulis. Tidak beda jauh, Tiwi juga menyukai blog karena di sana ia banyak belajar. Maka bagi kami, menulis itu bukan mengajari. Menulis itu sendiri adalah belajar. Sebab dengan menulis, kami lebih banyak terpacu untuk belajar banyak.
Meski tidak muncul di page one jika mau mencari tulisan kami dengan kata kuci “disparitas”, tapi kami merasa senang telah menyelesaikan satu duet menulis. Lho kok tidak muncul di halaman pertama Google? KALAH SAMA KBBI.WEB.ID, CUK!
Harapan kami, program Disparitas bisa terus konsisten. Syukur-syukur bisa jadi satu majalah sendiri. Eaaa. Coba siapa yang tertarik dengan Disparitas versi e-book angkat tangan. Yuhuuu.
Iqro’ jilid 5: Andhika Manggala dan Proses Menghargai Perempuan
Iqro’ jilid 6: Dika Manggala, Militansi Laki-laki, dan Peran dalam Rumah Tangga
Namanya juga bertemu dari blog, sayang-sayangannya juga lewat perblogan gini jadinya. Coba kalau dulu bertemunya lewat Bigo. Bikin kolaborasinya di JAVHD kita.
Baiklah, itu saja kisah sederhana yang bisa saya ceritakan. Intinya, kalau ditanya, “Apa moment ngeblog terbaikmu?” Ya saya jawab, “Sayang-sayangan.”
Kompetisi Ulang Tahun Warung Blogger ke-6 |