12 Juni 2017

Kostum sebagai Mise en Scene dalam Film


Salah satu hal yang membuat kita nyaman ketika menonton film adalah elemen mise en scene dalam film tersebut terpenuhi dengan baik. Mise en scene berasal dari bahasa Perancis yang memiliki arti meletakkan satu subjek dalam adegan. Kalau dalam film, mise en scene ini sering dibicarakan dalam aspek-aspek visual, seperti dekorasi, lokasi, kostum, pencahayaan, dan lain sebagainya. 



Mise en scene pertama kali dipopulerkan oleh kalangan kritikus dari Perancis pada tahun 1950-an yang sebenarnya lebih dahulu dikenal dari dunia teater. Perlu dicatatat bahwa mise en scene tersebut tidak ada hubungan sama sekali dengan pendarahan pada hidung, sebab itu namanya mimisan. Krik! Okey. Meleset jauh.

Jadi, kali ini saya akan membahas sedikit mengenai kostum film. Lho kenapa kok tahu-tahu bahas beginian? Lha mau bagaimana lagi? Kostum film itu merupakan topik skripsi saya yang nyaris kadaluarasa di telan zaman. Jadi daripada kehapus sama CCleaner, tidak ada salahnya jika saya cuil beberapa materi di situ ke dalam blog post saya kali ini. Oke, Bro?

Nah, seperti yang sudah saya paparkan di atas, kostum termasuk dalam salah satu aspek mise en scene yang begitu penting dan erat kaitannya dengan setting. Kok gitu?

Lha iya dong, setting itu fungsinya membangun latar belakang semesta dalam film, sedangkan kostum memiliki fungsi membangun identitas tokoh-tokohnya. Misal dalam film Martian kita tahu jika Mark Watney terdampar di Mars. Maka kostum yang dikenakan tidak mungkin bergaya harajuku atau malah pakai daster Yogs. Ia harus mengenakan suit luar angkasa. Hal ini sangat penting agar penonton bisa memakluminya. Ya, sederhananya sih begitu.

Tunggu dulu, Bro. Sebelum lebih jauh ke situ, sebenarnya kostum itu apa sih?

Oiya, gini. Kostum itu akronim dari ‘kosmetik tumpah’. Krik! Nggak, nggak. Anu, kalau menurut Bellman (1977) ya, kostum itu elemen fisik dan simbolik yang paling dekat dengan seorang pemeran dan karakter yang diperankan.

Fungsi kostum sendiri, kalau menurut Nelot (2009) itu ada beberapa, seperti untuk menciptakan keindahan visual, membedakan tokoh yang satu dengan yang lain, menguatkan identitas tokoh, memberi ruang gerak bagi aktor untuk mengekspresikan karakternya, serta memberi efek dramatik.

Ada satu contoh menariknya, yaitu dalam film bisu, The Artist, yang menyajikan visual monokrom. Karena keterbatasan warna yang digunakan dalam film itu, Mark Bridges sebagai penata kostum memilih untuk mempresentasikan kekuatan kostumnya dalam bentuk dan tekstur yang variatif.

Kejeniusan ini nih yang mengantarkan The Artist dalam jajaran pemenang Oscar tahun 2011, salah satunya adalah kategori Best Costume Design. Saya kutip dari Kompas, Bridges pernah bertutur, ”Karena cerita harus dikomunikasikan tanpa warna, saya mencoba bercerita dengan tekstur, seperti melalui manik-manik dan payet untuk mengesankan keglamoran Hollywood, satin untuk keeleganan, atau bahan-bahan berkilau yang dipakai untuk membuat gaun malam yang indah.”
Wah, dari hal ini kita bisa belajar bagaimana mengoptimalkan feed Instagram yang bertema hitam putih. Hayoo.. Siapa yang mau nyoba OOTD dengan memainkan tekstur-tekstur ala Mark Brigdes? Hash, gayamu, Ham. Instragrammu saja isinya panda-panda ora mutu!


 Oiya, menyinggung soal Bridges sebagai penata kostum, saya jadi mau sedikit share soal bagian-bagian yang ada di dalam divisi kostum. Barangkali saja ada yang mau magang atau kerja di situ. (Sungguh postingan paling aplikatif abad ini di hamtiar.com)

Costume Designer
Memiliki tanggungjawab pada proses perancangan, perencanaan, pengaturan konstruksi garmen mulai dari bahan kain yang digunakan, warna dan ukurannya.

Costume Supervisor
Tugasnya yakni membantu merancang kostum, mengawasi pembuatan seluruh produksi kain, memastikan kostum yang dibuat sudah sesuai dengan sketsa rancangan, dan mengatur segala keperluan penyimpanannya.

Key Costumer
Bertanggungjawab untuk membantu costume supervisor dalam mengatur produksi busana dan memenuhi keperluan kostum khusus pemeran utama.

Costume Standby
Tugas si Costume Standby ini mengawasi kontinuitas keperluan kostum yang digunakan para pemeran dalam setiap adegan.

Art Finisher
Kalau yang ini tugasnya memberi sentuhan-sentuhan artistik dari kostum yang digunakan untuk keperluan syuting, misalnya mengubah pakaian baru menjadi lebih lawas, kotor, basah atau yang lainnya.

Cutter
Bertanggungjawab memperbaiki kostum dan melakukan segala pekerjaan penjahit pada waktu syuting berlangsung.

Dahulu kala, ketika saya masih berkutat dengan kuliah perfesyenan yang maha estetik itu, saya punya keinginan buat magang di salah satu bidang tadi. Alasannya sederhana. Yakni karna saya kuliahnya di bidang fashion, sementara saya sukanya film. Ya sudah saya cari titik tengahnya saja.

Lantas apakah saya jadi magang di salah satu itu?

NGGAK!

Emang ken..?

NGGAK USAH TANYA KENAPA!

Hahaha. Malah uring-uringan dewe. Ya sudah, terlepas dari hal mblegedu dalam hidup saya itu, berikut saya lanjutkan pembahasan soal kostum ini dengan beberapa rekomendasi film yang menghadirkan kostum-kostum asyik untuk kamu jadikan inspirasi OOTD. Siapa tahu bisa memberi ide bagi dirimu yang mau membeli baju lebaran tahun ini.

Annie Hall (1977)




Annie adalah karakter yang menampilkan sisi tomboy. Kostum yang ia kenakan sudah lumayan banyak dikutip oleh beberapa orang, sih. Tapi bukan bagian dari 7 Dosa yang Tidak Diampuni Tuhan kok kalau semisal dirimu mau mengadopsi style Annie juga.

The Devil Wears Prada (2006)
Via popsugar.com

Kalau film ini sudah jelas menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang mau mengeksplorasi outfit. Film yang memang berkisah tentang dunia fashion designer ini banyak menghadirkan variasi style lengkap dengan tutorial cara melakukan mix and match, meski tersirat. Kalau dari film ini kebanyakan memang style yang agak classy gitu, ya.

Factory Girl (2006)

Via pinterest.com
 

Film yang mengangkat kisah sosialita Edie Sedgwick beserta seniman fenomenal, Andy Warhol, menyajikan kostum-kostum nyentrik era 60-an yang mungkin diminati oleh anak-anak hipster kekinian. Saran saya sih, cocok buat datang ke nikahannya mantanmu. Biar kesannya kamu gembira-gembira saja dengan kebahagiannya. Meski sebetulnya palung hati teriris-iris. Dyar!

Coco Before Chanel (2009)


Via pinterest.com
 

Merupakan film Perancis tentang kisah nyata perjalanan hidup sang pencipta brand fashion terkemuka, Chanel. Gimana? Kalau sudah ada embel-embel film Perancis serta nama Coco Chanel, bagaimana mungkin tidak tertarik sama film ini ya, kan? Eh, kalau habis nonton film ini, sih, sepertinya jiwa desainernya lebih terpanggil daripada hasrat OOTD, ya.

Brooklyn (2015)

Via pinterest.com
 

Drama percintaan ini dikuatkan oleh pesona kostum yang ramai warna-warni menyenangkan. Ya barangkali kalau hati mood sedang ceria-cerianya, kostum-kostum dalam film bisa menjadi pilihan yang menarik untuk dieksekusi jadi gaya OOTD-mu. Apalagi kalau memang dirimu suka dengan tema-tema vintage. Whoop!

Straight Outta Compton (2015) 

 
Via glamour.com
 

Nah, kali ini cocok buat para pria yang mau tampil swag (style with a little bit gangsta). Pakaian serba hitam dan glombor ini memberi kesan woyo wassap yo (kesan macam apa ini) yang tetap trendi meski sederhana sekali. Straight Outta Compton ini mengangkat sejarah rap di Amerika yang penuh perlawanan dan konfrontasi. Kehidupan gangster orang kulit hitam dan intervensi dari polisi setempat menjadi spirit di lirik-lirik rap mereka yang vulgar. Salah satu yang fenomenal pada masanya yaitu lagu berjudul “Fuck Police”. Sementara di Indonesia fenomenal dengan...O Aza Ya Kan.

Baiklah, saya rasa cukup itu saja yang bisa saya bagi di dalam tulisan ini. Terima kasih buat teman-teman yang sudah membaca sampai selesai atau ya paling tidak sudah mampir. Salam-salam di kolom komentar juga bisa, lho. Hla wong request lagu aja juga bisa. Krik! Oke, sampai jumpa di tulisan selanjutnya.




Header: businessoffashion.com

5 komentar:

  1. KRIK!
    Maaf, Mas, mau request lagu Pacar Lima Langkah, bisa? Kalau enggak, request masnya aja yang lima langkah gimana?

    Kupaling tertarik sama Annie HalL, Factory Girl, sama Coco Before Chanel. Yha, menarique kalo kata bapak-bapak yang ngecat Susano. Paling berkata tidak pada Brooklyn. Sebab, ya kamu taulah ya aku gak suka warna-warni kayak gitu. :/

    Bagik filmnya, dong. Di HOOQ gak ada, nih, kayaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anjay. Bisa aaja nyari celah dari judul lagi hardcore itu. Hahahaa..

      Ini kenapa dah sampai bawa bapak-bapak filsuf cat, wkwk. Coba praktikkan OOTD-nya!!

      Sini makanya. Jangan terlalu berharap pada HOOQ. Musrik.

      Hapus
  2. Eh iya skripsimu gimana? #pertanyaanmaut #situsihngingetin

    BalasHapus
  3. Dulu pas film Ada Apa Dengan Rinta diputer tahun 2000-an, ciwi-ciwi di sekolahku pada ngikutin gayanya Disas lho. Rambut panjang lurus tergerai, kaos kaki selutut, sepatu pantovel, dan kipas plastik warna-warni.

    Oke aku remeh, ambil contoh filmku sendiri.

    Sekian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada Apa Dengan Rinta? Komenmu bikin aku ngguyu pagi2. Hahahaha.
      Suka dengan Coco before channel. Blm nonton filmya sih. Terpukau dengan biografinya aja. Penisirin.

      Hapus