3 Juni 2017

Quotes Film Critical Eleven, Praktikkan Pada Kekasihmu


 Sebagai melankolis yang haqiqi, harap maklum saja jika kantung mata ini bergetar gegara menyaksikan film Critical Eleven. Hiii.

Lha mau gimana lagi? Meski mulut sering bekata kasar, bukan lantas hati ini tercipta dari batu gamping, Bro. Sukma ini lunak, rapuh, dan rentan sedu sedan.

Maka benar saja, pergumulan antara Ale (Reza Rahadian) dan Anya (Adinia Wirasti) menjadi gempuran yang dahsyat bagi saya. Film yang diadaptasi dari novel Ika Natassa dengan judul yang sama ini kalau mau dibilang sukses membuat hancur lebur ya boleh saja. Tapi kalau mau mendaulat sebagai film terbaik tahun ini? Hmm. Tak sesederhana itu, Bro.

Heh? Sebentar-sebentar. Kamu nangis nonton Critical Eleven ini, Ham?

Duh, kalau mau disebut menangys kok ya kesannya saya ini mudah terkoyak alias cemen. Tapi kalau mau bilang tidak menangys, kok ya saya takut nanti air mata saya mengadu pada Tuhan tentang kedustaan ini.

“Aku tahu kamu takut keluar dari zona nyamanmu. Tapi kadang kamu harus keluar dari situ agar kamu lebih mensyukuri apa yang kamu miliki saat ini.” – Ale
Sebagai lelaki, saya mencoba merasakan betul bagaimana Ale harus kehilangan anak pertamanya tanpa sempat mendegar tawanya, nyanyiannya, bahkan tangisnya ketika lahir.

Begini deh, coba bayangkan bagaimana rasanya kamu sangat menginginkan sesuatu. Sesuatu itu kamu persiapkan benar-benar selama berbulan-bulan dengan gembira. Lantas, ketika tinggal hitungan hari kamu harusnya bertemu dengan sesuatu itu, tiba-tiba saja Tuhan mengambilnya kembali.

Dan pada titik itu kamu sadar betul jika apa yang sudah diambil Tuhan, tidak akan pernah diberikan kembali untuk kedua kalinya. Selain kesempatan.

Sebagai calon bapak, apa yang menimpa Ale adalah sesuatu yang –kalau orang jawa bilang- amit-amit jabang bayi. Namun ya mau bagaimana lagi? Jika memang itu ketetapan yang divoniskan Tuhan, sebagai manusia yang pemalu dihadapan kuasa-Nya sudah barang tentu kita cuma bisa mengadopsi keikhlasan dalam palung kesedihan.

*Kalau ada yang bilang ‘anjir’ begitu baca kalimat terakhir barusan, ketahuilah, saya pun mengatakan kata yang serupa. Wkwk.

 

Foto dari: https://id.bookmyshow.com
 Terlepas dari tumbangnya ketegaran saya itu, Critical Eleven memang film yang dirancangkan untuk diingat. Hal ini terbukti dari beberapa dialog yang dikerahkan oleh Jenny Jusuf, Monty Tiwa, dan Ika Natassa agar dikutip kembali oleh penontonnya sebagai bagian dari pesan mendalam yang memberi nilai tambah pada film tersebut.

“Aku berjanji akan membahagiakan kamu dengan seluruh kekuatan yang aku punya.” Merupakan kalimat pamungkas yang diucapkan Ale ketika Anya merasa rapuh. Untung saja Anya tidak minta yang muluk-muluk. Coba kalau dia minta dibuatkan seribu candi di New York. Bisa-bisa Mas Ale berubah jadi Ultron. Zzzz.

Terlepas dari hal itu, Ale memang pantas dinobatkan sebagai artsitek keromatisan. Bagaimana tidak? Ketika melamar Anya, dia bilang gini:

“Bisa bayangin nggak, kita lewat jembatan bareng. Terus kita bakar jembatan itu. Aku itu sama kamu kayak gitu, Nya. I’ve burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward with you. Will you marry, me?” – Ale
Gara-gara cuplikan dialog di atas, sejumlah mas-mas mahasiswa arsitek kalau mau bimbingan, bilangnya gini, “Bisa bayangin nggak, Pak? Saya mendesain jembatan ini selama 336 jam, melahap 48 PopMie, dan menolak 12 cinta yang datang. Terus Bapak bakar desain jembatan ini berupa revisian. There’s no turning back. There’s only going forward with you. Please marry me, Pak?” Zzzz (2) 

Foto dari: https://www.brilio.net

Quotes di atas diambil dari dialog saat Ale hendak bertindak senonoh. Lebih tepatnya begini:

(Ale tiba-tiba megurungkan gairahnya. Ia menghela nafas seraya melepas pelukan.)

“Tidak ada yang bilang kalau tidak boleh melakukan hubungan suami istri saat masa kehamilan, Le.”

“Tapi aku nggak mau nyakitin kamu.”

“Bapak Aldebaran Risjad, dari jutaan orang di dunia ini, cuma kamu satu-satunya yang tidak akan pernah nyakitin aku.”

“Berarti boleh ini?”


(Anya mengangguk)

Lantas mereka masyuk mainan panco jempol.

Selain yang sudah saya singgung, ada beberapa quotes lain, seperti:
“Ketika kamu bertemu seseorang yang tepat, kamu akan tahu dia adalah orangnya tanpa perlu alasan, kan?” – Anya
Quote ini aromanya Fiersa Besari banget, ya. Cobalah dengarkan Konspirasi Alam Semesta dan Tanpa Karena untuk membuktikan hal itu.


“Mau di Jakarta atau di New York, kamu adalah rumahku. Di mana pun kita tinggal bukan masalah buatku, selama kita bertiga terus bersama-sama.” – Ale
Lah ini juga Fiersa Besari lagi yang judulnya Rumah.
 
“Kesannya kamu melihatku sebagai wanita egois, Le.” - Anya

“Aku tidak bilang kamu egois. Sejak awal kamu memutuskan untuk pindah ke sini, aku tahu itu berat bagi kamu. Kamu keluar dari pekerjaanmu yang bagus, kamu jauh dari teman-temanmu, demi aku. Sejak itu aku selalu tahu kamu tidak egois.” – Ale
Pelajaran penting ada di scene ini, nih. Bisa jadi saat ini ada beberapa lelaki yang merasa perempuannya terlalu egois karena sering mengajukan syarat-syarat atau rekuesan tertentu. Padahal jika mau dicerna lebih halus seperti yang dilakukan Ale, pada akhirnya bisa menemukan titik di mana si perempuan menginginkan sesuatu itu bukan untuk memuaskan dirinya semata. Tapi untuk kepentingan bersama yang memerlukan persetujuan.

Sederhananya saya beri contoh begini.

Suatu ketika si perempuan bilang, “Mas, gimana kalau beli motor lagi buat aku pakai.”

Belum sempat bertanya alasan apa. Atau bahkan belum sempat ditafakuri lebih jauh lagi, beberapa pria langsung naik darah. “Enak aja kamu bilang. Aku itu udah irit-irit buat kebutuhan anak kita kelak. Kamu malah minta motor. Egois kamu.”

Padahal si perempuan itu tidak minta. Ia hanya berpendapat. Ia hanya sedang minta persetujuan saja. Idenya itu tercetus karena mempertimbangkan si lelaki yang tiap hari mondar-madir antara rumah, kantor, dan masih harus antar jemput ke tempat kerja istrinya. Terlebih kalau si kecil udah lahir, makin repot menyusun waktu nanti.

Nah, posisi Ale sebagai suami tidak dapat diragukan lagi. Ia memahami betul bagaimana mengapresiasi kehadiran Anya di dalam hidupnya. Meski, ya, singgungan tetap saja terjadi. Namun semua bisa diatasi jika keduanya memilih menyerah terhadap diri sendiri dan meletakkan kepasrahannya di bahu kekasih.

Duhbiyuung. Kok dadi nggrantes ngene iki, yo, Bro? (*nggrantes: sukma bergetar)

Tapi kalau bicara soal nggrantes, scene yang menurut saya paling meledakkan kesedihan itu saat Ale sedang di tempat kerja pasca perginya si anak. Ia memungut kaosnya yang berbaring di lantai. Lalu ia buka kaos yang kusut itu.

Di punggung kaos itu tertoreh tulisan “Aidan’s Super Dad”. Ale langsung meremas kaos itu kuat-kuat sambil nangis kejer.

Bagaimana nggak sedih? Menjadi ayah yang dikagumi, dibanggakan, dan diidolakan oleh anak sendiri adalah sebuah cita-cita. Sayangnya cita-cita itu harus kandas sangat dini. Ale tidak bisa menjadi Super Dad. Bahkan ia tidak bisa menjadi siapa-siapa bagi Aidan selain sebagai pewaris genetik.

Memang, seburuk-buruknya kabar adalah kabar ketiadaan anaknya sendiri.

Lah, malah bikin quote sendiri. 


Baca juga: 10 Kutipan Romantis Film Hollywood

Yasudah, saya kira sudah cukup itu saja yang bisa saya wartakan, kok. Critical Eleven cocok betul ditonton buat mereka yang berkepribadian melankolis dan penyayang. Meski saya belum punya anak -buset kawin aja belum-, tapi saya yakin jika film ini bisa meningkatkan rasa syukur bagi mereka yang dikaruniai seorang anak yang memang mereka harapkan.

Sekian tulisan dari saya. Terima kasih sudah membacanya sampai selesai. Lebih terima kasih lagi kalau dirimu khilaf mencet tombol share. Wes ya, tak lanjut turu meneh.

11 komentar:

  1. Quote di foto kedua itu sangat tidak realitis, Bro. "Tidak akan pernah nyakitin" dan "tidak akan pernah berniat nyakitin" kan beda jauh. Heu. Sampai saat ini pun kubelum tertarik sama film ini wkwkwk

    Btw, "Ia memungut kaosnya yang berbaring di lantai."
    Gak cocok ini. Mestinya, "Ia memungut kaosnya yang tergeletak di lantai."

    Di socmed banyak yang bilang pengin suami kayak Ale, aku mah pengin kamu aja cukup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang lebay banget, sih. Atau sengaja hiperbolis. Wahahaha. Kalau nggak gratisan, nggak tahu juga bakal nonton apa nggak. Woy!

      Iya, sih. Tapi kurang ngeselin.

      Waladalah. Lha ya macam begini ini yang bikin nurani kembang-kempis bahagya. Marai degdegser. Lagi pula, Ale itu normal, kok. Nggak langka sama sekali. Whahahaha.

      Hapus
    2. Bhahahak kalo dari quote yang ada di sini, Ale itu lebih tampak seperti kang gombal di mataku~

      Hapus
    3. Itulah kenapa yang memerankan Reza Rahadian. Coba kalau aku. Dikwamplengi sak bioskop.

      Hapus
  2. Hehe Uti senyum2 aja deh baca sampai akhir..
    Tapi keren koq,Uti jd pengen nonton

    BalasHapus
  3. Ham, Ham, yang betul Ika Natassa dengan dobel S.

    Regards,
    Harris Risjad

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks, Do. Sudah kuganti sekarang. Hahaha.

      Hapus
  4. Belum nonton filmnya. Baca novelnya juga udah baper. Quote2nya kayaknya persis di novel.

    BalasHapus
  5. meski belum nonton film dan baca novelnya, dari tulisani ini menarik satu kesmipulan bahwa ale ini salah satu karakter yg romantis (bersama orang2 romanitis di novel lainnya)

    awalnya saya kira Ale ini sejenis minuman.

    BalasHapus
  6. Belum nonton Critical Eleven dan belum baca bukunya. Tapi quotes yang ngebakar jembatan buat dikatain ke dosen itu menghibur sekali

    BalasHapus