Tahun 2012 adalah awal saya mencoba bersenang-senang dengan blog. Kesenangan ini diwadahi oleh komunitas Kancut Keblenger yang kala itu ramai sekali. Bagaimana tidak? Dulu, di grup facebook Kancut Keblenger selalu penuh dengan list blogwalking, belasan atau bahkan puluhan per harinya. Artinya, setiap hari selalu saja ada konten baru yang siap untuk dinikmati.
Pada masa itu, konten yang disajikan kebanyakan adalah soal kedirian. Entah itu mencurahkan isi hati, menceritakan pengalaman hidupnya, atau menuangkan gagasan yang menjejali isi otaknya.
Genre pun bervariasi. Kebanyakan, sih, komedi. Tapi ada juga yang sendu, nyastra, haha-hihi-hore, bijak, mesum, dan yang lempeng-lempeng saja juga ada. Lebih seru lagi kalau bertemu dengan blog yang artsy. Biasanya yang tipe begini menyediakan label artwok yang isinya karya-karya dia, baik itu doodle, zentangle, sketsa, atau karya-karya digital yang banyak macamnya.
Berkunjung ke blog atau yang sering disebut blogwalking menjadi ajang bertamu yang menyenangkan. Bagaimana tidak? Dengan blogwalking kita bisa membaca bagian dari hidup orang lain, bisa melihat hasil pengkaryaannya, bahkan bisa menyimak pencapaian yang ia peroleh. Benar-benar seperti bertamu ke rumah kawan dekat.
Tapi itu dulu.
Sekarang keadaan sudah agak berbeda. Ada sesuatu yang menggoncangkan dunia blog. Paling tidak di lingkaran saya.
Sebelumnya, saya sempat vakum dari dunia perblogeran hampir satu tahun. Berhenti pada April 2015 lalu kembali pada Maret 2016. Alasan kevakuman tersebut bukan karena jenuh atau apa. Tapi demi alasan yang maha mulia, yaitu mau fokus k-u-l-i-a-h. Hahaha. Sampai sekarang saya masih merasa geli. Bagaimana tidak? Gaya-gayaan fokus kuliah, lha wong pada akhirnya drop out juga. Bajindul tenan.
Saya kembali ngeblog bertepatan dengan selesainya masa KKN yang saya tempuh di pelosok Pati. Ceritanya, setelah KKN selesai, saya merasa begitu asing dengan kampus. Teman-teman seangkatan sudah pada lulus dan yang beda angkatan punya dunia sendiri-sendiri. Akhirnya, saya menghabiskan banyak waktu di perpustakaan sendirian. Di situlah kemudian saya main blog lagi.
Sayangnya, beberapa kawan bloger yang dulu pernah jadi langganan saya buat bercengkrama pada saat itu sudah tidak aktif lagi blognya.
List blog di grup Kancut Keblenger pun dibuat jadi sistem periodik. Misal, periode pertama dibuka dari tanggal 1 sampai 7. Periode kedua tanggal 8 sampai 15. Jadi sudah tidak per hari lagi. Pikirku saat itu, “Gila, selesu ini, kah?”
Beruntunglah pada saat itu saya terselamatkan oleh bloger ndladuk asal Banjarmasin, Jung Jawa. Sebenarnya sudah kenal lama sejak berada di Kancut Keblenger, tapi perkenalan itu hanya sebatas chat facebook yang tidak seberapa.
Menghadapi kecemasan saya yang merasa perblogeran teramat sepi, lantas Jung memperkenalkan karyanya yang bernama Katanium kepada saya. Dan benar saja, melalui Katanium itulah saya mendapati beberapa blog untuk dikunjungi. Saya juga kembali bersemangat untuk menulis dan berniat menggulingkan tahta leaderboard. Meski tidak bisa.
Aktivitas ngeblog saat itu kembali menyenangkan. Saya menulis apa yang saya mau. Dan saya membaca tulisan orang sebagaimana yang mereka mau.
Tidak cukup dengan itu, saya lantas bergabung dengan grup WhatsApp Pojok WB (Warung Blogger) melalui tawaran dari bloger om-om, Andika Manggala, di grup facebook Warung Blogger. Dan dari situlah daftar blogwalking saya semakin banyak.
Saya ingat betul dua artikel yang awal sekali saya kunjungi di Pojok WB adalah tulisan bertema kopi yang ditulis oleh Tiwi dan Fandy. Dua-duanya sama-sama menyukai buku dan sastra. Untunglah, dari kedua itu cuma satu yang menyukai saya. Tentu saja bukan Fandy.
Waktu terus berjalan sampai Jung mengajak saya untuk mengikuti acara yang mengundang para bloger di Solo. Alhasil, jadilah saya dimasukkan ke dalam grup #BloggerSolo sampai hari ini.
Setelah meredupnya Katanium, dunia perblogeran saya seperti mengerucut pada Warung Blogger dan #BloggerSolo. Melalui kedua komunitas inilah saya berselancar maya. Kadang juga blogwalking ke beberapa grup bloger yang ada di Facebook, sih. Tapi tidak banyak.
Semakin ke sini, semakin ke sini, dan terus ke sini, saya kok merasa ada yang kurang greget.
Usut punya usut, ternyata keresahan itu saya dapatkan tatkala mendapati tulisan-tulisan sponsorship yang kurang ciamik penyajiannya. Maksudnya bagaimana? Tulisan yang disponsori oleh brand atau instansi tertentu tidak semua terasa menyenangkan ketika saya membacanya, gitu, lho. Woo kampret, cuma diwalik-walik thok istilahe.
Duh, bagaimana ya. Coba simak kisah di bawah ini, deh.
Suatu ketika sepasang kekasih, Plato dan Platy, membicarakan hal serius mengenai tulisan pariwara di dalam blog. (Bold: Plato, Reguler: Platy)
“Kamu tuh tega ya sama aku!”
“Ha? Aku kenapa?”
“Kamu udah berubah. Kamu nggak kayak yang aku kenal dulu!”
“Sayang, kita harus realistis. Di era sekarang kita dituntut untuk..”
“Ha? Aku kenapa?”
“Kamu udah berubah. Kamu nggak kayak yang aku kenal dulu!”
“Sayang, kita harus realistis. Di era sekarang kita dituntut untuk..”
“Menggadaikan kreativitas? Itu mau kamu bilang, ha? Sudah mahal-mahal jajan di Mecdie cuma buat cari wifi biar bisa baca tulisan terbaru kamu. TAPI APA? Isinya iklan, iklan, iklan melulu. Emangnya aku peduli apa sama asuransi dan obat bisul? Aku datang ke blogmu karena aku peduli sama kamu, bukan sama iklan!”
“Tapi kebetulan aku emang bisulan, Sayang.”
“Terus? Kamu obati pakai salep yang kamu iklankan itu?”
“Ee.. Nggak juga, sih. Mahal.”
“Tuh kan!”
“Iya dengar dulu penjelasan aku. Gini, aku butuh pemasukan. Aku suka menulis di blog. Jadi apa aku salah jika menulis di blog buat dapat pemasukan?”
“Sampai situ kamu tidak salah. Sekarang aku tanya, gimana caramu nulis iklan?”
“Ya gampang aja. Tinggal nulis soal produk yang diinginkan klien secara spesifik. Kadang dari mereka sudah ada yang memberi materinya, jadi aku tinggal nyalin saja. Yang penting tiap syarat dari klien aku penuhi, lah.”
“Jadi sekarang kamu menulis buat klien? Bukan buat pembacamu yang sesungguhnya?”
“Ya tentu buat pembaca juga, dong. Tapi kan aku juga harus memenuhi syarat dari klien. Soalnya sudah ada kontrak.”
“Bukan itu poinnya. Yang kumaksud itu, ketika kamu menulis untuk klien dengan cara yang sama seperti kamu ngerjain soal ujian agar dinilai bagus oleh guru, saat itulah kumerasa kamu tersesat.”
“Maksudnya?”
“Kamu ingat ketika kita masih SD terus bikin makalah tentang relativitas waktu, teori kuantum, atau postmodernisme? Saat itu kita nggak tahu dengan apa yang kita tulis. Kita tinggal salin dari apa yang sudah ada di google. Demi apa dan siapa? Pengabdian terhadap dunia akademis kita? Nggak. Kita kerjakan seperti itu demi dapat nilai 100 dari guru. You get my point?”
“Maksudmu cara menulisku cuma agar dibaca sama klien saja, begitu? Aku nggak merasa gitu, kok. Aku sudah mengemasnya pakai bahasaku sendiri.”
“Ya, setidaknya kamu pakai bahasamu sendiri. Yang lain kadang ada yang lebih parah. Tapi mengganti gaya bahasa saja menurutku tidak cukup. Gini, kamu sering risih nggak kalau pas nonton TV tiba-tiba dijeda iklan? Atau pas kamu lagi masyuk nulis tiba-tiba disamperin sales rokok?”
“Risih, sih.”
“Nah, jadi kamu bisa bayangin gimana perasaanku saat sengaja datang ke blogmu dan ternyata isinya iklan semua?”
“Bener juga, sih. Terus aku harus gimana? Stop nerima job?
“Nggak sepolos itu juga. Coba kamu lihat di sinetron-sinetron sekarang, banyak iklan yang masuk di dalam cerita. Seperti ada adegan ngobrol di teras, lalu datang PRT yang bawa kopi. Nah, produk kopi itu dijelaskan sama PRT ke juragan dan tamu di dalam cerita itu. Kalau adegan ini terlalu lama pasti mengganggu. Tapi kalau cuma sekelebat saja, sih, tidak. Kurasa porsinya di sinetron-sinetron itu sudah pas.”
“Ooh.. Kayak softselling gitu, ya? Tapi itu kan di TV. Kalau tulisan di blog?”
“Nah, itu silakan kreativitas kamu yang bicara. Kalalu tips dari aku, coba kamu masukkan sisi personalmu ke tulisan itu. Baik itu apa yang kamu alami, pikirkan, atau rasakan. Mestinya, kuatnya sisi personal itulah yang menjadi pembeda dari iklan di media-media lain. Kepersonalan itulah spiritnya bloger.”
“Apa nggak ribet itu?”
“Kalau tujuanmu nulis buat klien ya itu ribet. Tapi kalau buat pembaca lain, ya, menurutku itu perlu. Bahkan menurutku, kalau kita bikin review film misalnya. Kita jangan sampai menggunakan cara me-review-nya Muvila, BookMyShow, apalagi Cinema 21. Ya masak, sih, kita paparkan spesifiksi film layaknya media lain di blog pribadi kita? Kita perlu masukkan subjektivitas yang lebih karena setiap orang punya cara pandang menariknya masing-masing.”
“Dan membaca keunikan cara pandang tiap orang itulah yang menarik dari membaca blog.”
“Nah! You get my point. Sekarang coba kamu nulis iklanmu pakai gaya baru.”
“Oke! Etapi bisulku gimana?”
“Ra urusan, Su!”
“Tapi kebetulan aku emang bisulan, Sayang.”
“Terus? Kamu obati pakai salep yang kamu iklankan itu?”
“Ee.. Nggak juga, sih. Mahal.”
“Tuh kan!”
“Iya dengar dulu penjelasan aku. Gini, aku butuh pemasukan. Aku suka menulis di blog. Jadi apa aku salah jika menulis di blog buat dapat pemasukan?”
“Sampai situ kamu tidak salah. Sekarang aku tanya, gimana caramu nulis iklan?”
“Ya gampang aja. Tinggal nulis soal produk yang diinginkan klien secara spesifik. Kadang dari mereka sudah ada yang memberi materinya, jadi aku tinggal nyalin saja. Yang penting tiap syarat dari klien aku penuhi, lah.”
“Jadi sekarang kamu menulis buat klien? Bukan buat pembacamu yang sesungguhnya?”
“Ya tentu buat pembaca juga, dong. Tapi kan aku juga harus memenuhi syarat dari klien. Soalnya sudah ada kontrak.”
“Bukan itu poinnya. Yang kumaksud itu, ketika kamu menulis untuk klien dengan cara yang sama seperti kamu ngerjain soal ujian agar dinilai bagus oleh guru, saat itulah kumerasa kamu tersesat.”
“Maksudnya?”
“Kamu ingat ketika kita masih SD terus bikin makalah tentang relativitas waktu, teori kuantum, atau postmodernisme? Saat itu kita nggak tahu dengan apa yang kita tulis. Kita tinggal salin dari apa yang sudah ada di google. Demi apa dan siapa? Pengabdian terhadap dunia akademis kita? Nggak. Kita kerjakan seperti itu demi dapat nilai 100 dari guru. You get my point?”
“Maksudmu cara menulisku cuma agar dibaca sama klien saja, begitu? Aku nggak merasa gitu, kok. Aku sudah mengemasnya pakai bahasaku sendiri.”
“Ya, setidaknya kamu pakai bahasamu sendiri. Yang lain kadang ada yang lebih parah. Tapi mengganti gaya bahasa saja menurutku tidak cukup. Gini, kamu sering risih nggak kalau pas nonton TV tiba-tiba dijeda iklan? Atau pas kamu lagi masyuk nulis tiba-tiba disamperin sales rokok?”
“Risih, sih.”
“Nah, jadi kamu bisa bayangin gimana perasaanku saat sengaja datang ke blogmu dan ternyata isinya iklan semua?”
“Bener juga, sih. Terus aku harus gimana? Stop nerima job?
“Nggak sepolos itu juga. Coba kamu lihat di sinetron-sinetron sekarang, banyak iklan yang masuk di dalam cerita. Seperti ada adegan ngobrol di teras, lalu datang PRT yang bawa kopi. Nah, produk kopi itu dijelaskan sama PRT ke juragan dan tamu di dalam cerita itu. Kalau adegan ini terlalu lama pasti mengganggu. Tapi kalau cuma sekelebat saja, sih, tidak. Kurasa porsinya di sinetron-sinetron itu sudah pas.”
“Ooh.. Kayak softselling gitu, ya? Tapi itu kan di TV. Kalau tulisan di blog?”
“Nah, itu silakan kreativitas kamu yang bicara. Kalalu tips dari aku, coba kamu masukkan sisi personalmu ke tulisan itu. Baik itu apa yang kamu alami, pikirkan, atau rasakan. Mestinya, kuatnya sisi personal itulah yang menjadi pembeda dari iklan di media-media lain. Kepersonalan itulah spiritnya bloger.”
“Apa nggak ribet itu?”
“Kalau tujuanmu nulis buat klien ya itu ribet. Tapi kalau buat pembaca lain, ya, menurutku itu perlu. Bahkan menurutku, kalau kita bikin review film misalnya. Kita jangan sampai menggunakan cara me-review-nya Muvila, BookMyShow, apalagi Cinema 21. Ya masak, sih, kita paparkan spesifiksi film layaknya media lain di blog pribadi kita? Kita perlu masukkan subjektivitas yang lebih karena setiap orang punya cara pandang menariknya masing-masing.”
“Dan membaca keunikan cara pandang tiap orang itulah yang menarik dari membaca blog.”
“Nah! You get my point. Sekarang coba kamu nulis iklanmu pakai gaya baru.”
“Oke! Etapi bisulku gimana?”
“Ra urusan, Su!”
Menjadikan blog pribadi sebagai pundi-pundi rezeki tentu tidaklah salah. Karena memang blog adalah aset yang kita miliki. Setiap bloger memang punya kuasa atas blog yang ia kelola sendiri. Tapi bukan berarti kita bisa semena-mena. Pembaca adalah patokan terhadap apa yang kita kelola. Untuk itulah kita membuat konten, bukan?
Ibarat arsitek, ia tidak mendesain gedung seenaknya sendiri, asal jadi, lalu dapat bayaran. Tidak. Ia memikirkan kenyaman dan keamanan tiap orang yang akan tinggal di gedung itu. Ia jadikan kebutuhan orang-orang itu sebagai alasan dan tujuan untuk merancang setiap sudut gedung bikinannya.
Saya salut dengan teman-teman bloger yang dengan apik menyajikan tulisan iklan, job review, campaign, atau yang sekadar meletakkan backlink ke sponsor. Saya pun masih belajar dalam hal ini. Kritik, saran, cacian, dengan senang hati saya terima.
Asal jangan no mention di twitter. Jarang buka.
So, punya pendapat soal topik ini? Silakan berbagi gagasanmu di kolom komentar atau melalui postingan blogmu. Mari kita diskusikan demi variasi blog yang haqiqi!
Image source: pexels.com