7 Januari 2019

Pengabdi Setan ala Joko Anwar: Bahaya Belum Tentu Menakutkan


Menurut saya, film Pengabdi Setan besutan Joko Anwar ini adalah film yang sangat bagus, tapi bukan film horor yang terlalu seram.

Kedua hal tersebut perlu dibedakan, sebab saya risih dengan beberapa komentar yang mengatakan film ini tidak bagus hanya karena kurang seram. Well, tiap orang tentu bebas menilai sebuah film. Tapi hambok ya agak nganu dikit gitu, lho.

Sebelum membicarakan filmnya, saya ingin curhat sebentar. Begini, saya berangkat menonton film ini sendirian. Bukan karena jomblo. Justru dari beberapa kilometer di sebrang sana kekasih saya juga sedang menonton film Pengabdi Setan, tapi versi pertamanya (1979) dan rencananya kami akan saling mendiskusikan itu. Namun, terlepas dari itu, ada satu hal menyebalkan yang harus saya rasakan di dalam bioskop. Apalagi kalau bukan celetukan berisik di kanan dan di kiri.

Bukan. Bukan orang spoiler. Ada yang lebih parah dari itu, yaitu tipe penonton yang kebanyakan maido dan sambat. Dua istilah Jawa ini kalau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perilaku menyangkal dan mengeluh.

Biar lebih jelasnya gini, ketika ada scene di mana Rini (Tara Basro) berjalan ke kamar ibunya setelah terbangun dari mimpi buruk, dua perempuan di samping saya bilang gini, “Kuwi yo ngopo tho ndadak marani barang. Nek aku ngono tak tinggal turu neh.” Dalam bahasa Indonesia berarti, “Itu ngapain sih malah mendatangi segala. Kalau aku gitu mending kutidur lagi aja.” Dalam batinku tentu saja menyeruak ucapan-ucapan terpuji macam, “Asui, namanya juga film. Kalau serem dikit tidur, serem dikit tidur, mana jadi cerita. Bajindul tenan.”

Dan celotehan-celotehan seperti itu berdenging sampai film selesai. Tipe penonton maido dan sambat ini ketika memutuskan untuk nonton film, apa yang mereka harapkan, ya? Bayangin aja, tiap ada yang ‘nggak semestinya’ selalu saja diprotes. Ada foto seram di ujung lorong, protes. Ada anak kecil pergi pipis malem-malem sendirian, protes. Bahkan, para tokoh yang tidur di kamar masing-masing juga diprotes! Luar biasa memang. Masak mereka bilang, “Udah tahu ada penampakan-penampakan, mbokya nggak tidur sendiri-sendiri, gitu.” Ada juga yang bilang, “Itu istrinya lagi sakit malah ditinggal tidur di ruang tamu. Mbokya ditemenin, biar kalau ada apa-apa nggak usah repot-repot manggil pakai lonceng.”

Aku ingin sekali teriak, “Woy! Kalau ceritanya kayak yang lu omongin. Ngapain lu nonton. Ngelamun aja sono!” Tapi sayang, aku lebih milih diem biar nggak ganggu penonton lain. Sebuwah prinsip!


Sekelumit Tentang Pengabdi Setan

Saya yakin sudah banyak sinopsis yang bertebaran, review yang bergelimpangan, dan spoiler yang bergelayutan di mana-mana. Namun, saya akan tetap menuliskan sedikit cerita dalam film ini di sini.
Film ini sebenarnya bermula saat rambut Ibu mulai rontok. Toni, anak kedua dari Ibu ini, memang senantiasa menyisir rambut Ibunya yang sedang sakit setiap malam. Ketika mendapati rambut Ibu mulai rontok, ia menjanjikan sebuah obat anti rontok kepada Ibunya. Tapi sayang, usia Ibu tidak lama. Ibu meninggal dunia dan dikebumikan di pekuburan yang tidak jauh dari rumahnya. Dalam peraduannya Ibu tidak bisa tenang. Ibu kembali ke rumahnya sebagai setan, dan ia meminta untuk disisirin lagi rambutnya. Mampukah Ibu mengatasi rambut rontoknya? Penasaran? Tonton filmnya.
Ah, nggak. Bercanda. Hwehehe.

Adegan yang saya sebut-sebut di atas memang ada. Tapi bukan itu inti filmnya. Dalam mempromosikan film ini, di mana-mana Joko Anwar cuma mengatakan kalau film ini tentang keluarga yang ditinggal mati oleh sosok Ibu. Lalu Ibu itu kembali ke rumah untuk menjemput anak-anaknya. Pertanyaan yang terbesit tentu saja bukan, “Apakah Ibu ini berhasil menjemput anak-anaknya? “ atau, “Apakah anak-anaknya akan selamat?” Tidak. Tentu tidak demikian. Pertanyaan yang tepat dari sinopsis singkat itu adalah, “Mengapa?”

Mengapa Ibu itu menjemput anak-anaknya? Mengapa Ibu meninggal dengan cara tak wajar? Pertanyaan-pertanyaan itu yang secara apik dijawab pelan-pelan dalam film Pengabdi Setan ini. Dan tentu saja sebagai garda depan perjokoanwaran, kita harus memaklumi dengan senyum manis ketika twist demi twist dimainkan.

Alasan Mengapa Film Pengabdi Setan Tidak Terlalu Menakutkan

Saya sendiri menilai film ini sangat bagus. Mulai dari cerita, acting para pemainnya, sinematografi, dan mise-en scene yang begitu estetik bagi saya. Namun, jika ditagih soal ketakutannya, sih, mohon maaf. Tidak terlalu menakutkan.

Lho kok bisa?

1. Kurang Kaget

Kalau kata kekasih saya, “Setannya udah ancang-ancang dulu sebelum keluar.” Hahaha. Sepanjang film memang saya berharap ada penampakan dan teror yang membabi buta tiap menitnya. Hal ini ternyata malah mengurangi kenikmatan menonton karena saya sudah terlalu siap untuk kaget. Berbeda sekali dengan pengalaman saya menonton film Get Out yang saya pikir itu adalah film drama percintaan, ternyata thriller. Teleq ucink!

2. Kurang Tersiksa

Entah saya yang agak psiko atau apa, tapi memang saya kurang merasa ngeri karena tokoh-tokoh yang ada di dalam film itu tidak ada yang lecet-lecet, patah tulang, kesleo, babak belur, atau ngucur-ngucur darah sekalipun (ada sih, tapi langsung meninggal). 


Jujur saja, saat adegan di mana tangan Rini ditarik ke luar jendela itu saya berharap tangannya terluka karena gigitan atau cakaran. Tapi ya mau bagaimana lagi, sejak awal film memang sudah ada penengasannya dalam dialog, “Orang mati itu tidak bisa melukai kita. Yang bisa itu perampok, pencuri..” Lagipula, kenapa sih Ian diceritakan bawa-bawa pisau segala kalau nggak dipakai buat nujes-nujes? Huhhah. Gemes.

3. Kurang Lama

Adegan dikejar-kejar mayat hidup sebanyak itu menurutku kurang lama dan kurang dekat mengepungnya. Kejauhan anjir ngepung rumahnya. Malah pada baris kayak mau senam sehat pagi-pagi di CFD. Jadi pas saya baru mulai deg-degan gitu, taraaaa, penyelamat datang. Lah, rurang lamaaa.

4. Kurang Terpencar

Porsi di mana anggota keluarga itu terpencar menurut saya kurang banyak. Ya, bagi saya sih salah satu kehororan itu adalah saat kita sedang sendiri. Jadi mengombinasikan kesendirian dan teror bisa jadi kengerian yang bertambah. Setidaknya lebih bikin deg-degan daripada ramai-ramai. Tapi sayang, empat orang yang diteror itu melewati kejaran demi kejaran dengan berpelukan bersama. Hal ini membuat saya percaya bahwa Bapak dari keluarga tersebut pasti bernama Tinky Winky.



Keempat hal yang saya sebutkan di atas bukanlah poin-poin kesalahan dalam film ini. Tidak. Film Pengabdi Setan tidak salah. Saya hanya mengutarakan apa yang ada di imajinasi saya terhadap film ini. Setidaknya, saya menuliskannya di sini. Tidak diceletukkan ketika nonton di bioskop macam penonton maido dan sambat. Duhdek, pengen rasane tak klakson lambemu.

Salah satu hal yang aku suka dari Pengabdi Setan ini adalah sosok setan-setan yang terjangkau. Menurut saya setan yang transparan, bisa tembus benda, dan melayang-layang bukanlah sosok setan yang menyeramkan. Tapi justru setan yang bisa jalan, turun tangga, buka pintu, dan juga bisa tahiyat akhir itu lebih horor karena terkesan lebih kuat begitu.

Sederhananya begini, setan transparan itu imejnya seperti terbuat dari partikel cahaya dan udara. Saya pribadi belum pernah terluka karena cahaya dan udara. Jadi saya kurang ada gambaran bagaimana rasanya kalau setan transparan melukai saya. Tapi setan yang berwujud padat itu lebih membuat saya percaya bahwa ia bisa melukai saya. Karena tentu saya pernah tergores, tercakar, tergigit, terpukul oleh benda-benda padat.

Nah, di film Pengabdi Setan sebenarnya berpotensi besar menawarkan teror yang bikin ngilu. Tapi ternyata Joko Anwar terlalu baik untuk tidak melukai para tokohnya secara fisik. Ya, sebut saja Pengabdi Setan ini adalah film horor yang baik. Mungkin memang Joko Anwar cuma mau membawa horornya saja, tidak melibatkan thriller atau slasher untuk menguatkan bumbu-bumbu teror.


Film: Pengabdi Setan // Tahun: 2017 // Rate IMDB: 8,4 // Genre: Horor Baik

Sebelum saya akhiri tulisan ini, sekali lagi saya ingin menghimbau kepada para penonton film-film Indonesia untuk tidak memprotes film di dalam bioskop. Mungkin memang ada hal-hal lebay atau terlalu ‘nggak mungkin’ yang terjadi di dalam film. Itu wajar. Memang harus begitu ceritanya biar tidak monoton. Jadi jangan bandingkan pengalaman hidup kita dengan apa yang terjadi di dalam film.

Uniknya, hal ini seringkali tidak terjadi untuk film-film luar. Karena mungkin penonton percaya begitu saja dengan apa yang disajikan dalam film gara-gara ia tidak memiliki pengetahuan nyata terhadap situasi sosial di luar negeri sana. Sementara kalau di Indonesia tidak begitu. Pernah saya menonton film pendek di YouTube dari MBCM yang berjudul Taksi. Saat saya membaca komentarnya, ada yang bilang, “Goblok. Kok nggak pesen grab aja sih?” Laaahhh..!

Untuk itulah mungkin alasan kenapa setiap film yang Joko Anwar bikin selalu saja latar (setting) ceritanya itu tidak diberitahukan. Mulai dari Kala, Modus Anomali, Pintu Terlarang, A Copy of My Mind, dan Pengabdi Setan ini tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa semesta yang ada di film itu adalah Indonesia. Syutingnya sih, iya, di Indonesia. Tapi latar yang dibangun dalam film itu, tuh, bukan Indonesia. Coba, pernah ada nama kota atau kampung yang disebut di dalam film-filmnya Joko Anwar apa tidak? Setahu saya, tidak ada. Di film Kala pun ada dialog yang cuma bilang, “Saya mau pindah ke tenggara.”

Begitulah, jangan ribut kalau nonton film di bioskop, ya. Karena yang boleh ribut itu cuma mertuamu sing mbok tinggal mlayu.

Sekian dulu tulisan review saya kali ini. Ada banyak sekali spoiler karena memang tulisan ini saya tujukan kepada kamu-kamu yang sudah menonton filmnya. Sehingga kita bisa diskusikan ini bersama. Kalau kata Tiwi, “Review itu ya pasti spoiler. Kalau tidak spoiler namanya resensi.”


All image source: bintang.com

25 komentar:

  1. Rambutku sering rontok, apakah aku akan berakhir seperti Ibu yang menjemput anaknya? Saksikan kelanjutannya setelah pesan-pesan berikut ini.

    Bwahaha iya gak ngangetin. Pertama kali nonton film horor gak tutup mata sama sekali, nih. Keren. Pake ancang-ancang soalnya.

    Kamu mesti nonton yang lama pas bagian Rita ngeremes daging tangan mayatnya Herman yang lagi neror dia. Iiiiiwwwww jijique wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya njemput. Njemput sekolah. Wahaha.. Heh, gimana? Gak ngangetin? Yaudah sini kuangetin!

      Lah kenapa itu malah remes-remes gitu. Gemay ya?

      Hapus
  2. dijak bojoku nonton, mpe saiki durung wani.. ning moco review2 kok aku dadi kepo yoh?

    BalasHapus
  3. aku sengaja gak nonton film ini, soalnya sosok Ibu jadi jelek di sini, aku nggak suka, haahaha...

    tapi aku ngikutin review film ini dari beberapa teman blogger. sedikit banyak aku tau tentang jalan ceritanya, dan tetap nggak suka gara-gara bawa-bawa nama Ibu.

    temen-temen sih umumnya pada bilang serem sama film ini. dan aku nggak bisa bayangin film ini yang versi lama

    duh deeeek


    baca review yang ini aja kaget, khawatir liat gambar2nya
    jadi ketika scroll ke bawah, saat akan muncul gambarnya kupastikan aku noleh kanan dulu, nggak mau ngadep laptop dulu sampe tulisan lagi yang muncul
    hahhaa

    BalasHapus
  4. Itu kayak film MAMA ngga sih? Lum nonton. BAru tau juga ternyata remake ya dari film berjudul sama 1979. Wow.. jamannya Suzanna aja belum ya itu 79 ?

    BalasHapus
  5. filmnya mirip Mama banyak orang bilang, cuma ya begini mereka itu berpikiran kalau fim horror harus sadis harus tersiksa.
    itu Thriller!!
    mereka blm bisa bedakan mana horror mana thriller, pokoknya yang seram ya horror.
    ini yang aku kurang setuju, seperti film drama yang harus percintaan.
    tapi kok rasanya, figur seorang mama jadi turun ya di sini?

    BalasHapus
  6. kalau aku belum nonton ni film, aku kurang suka nonton film horor sih. taku mempengaruhi jiwa :D

    BalasHapus
  7. Aiih...Tiwi menjawab pertanyaanku selama ini. Apa bedanya review sama resensi.
    Wkkwk...iya, bahkan ini jadi bahan diskusi aku sama Ibu-Ibu di sekolah anakku.

    Mengingat Ibu bermabut rontok, percaya deeh...kalo masuk hamil dan menyusui, rambut Ibu bakal banyak yang rontok.
    Jadi ini bisa jadi alasan untuk engga usa takut sama film horor yaa...selain penilaian Hamtiar atas film ini bergenre : "Horror Baik"

    BalasHapus
  8. Enggak, adalah jawaban yg akan aku berikan jika ditawari nonton film horror. Disatu sisi karena takut, disatu sisi juga karena sering kepikiran dan terbawa sampai kehidupan sebenarnya, dan saya tidak bisa untuk terus-menerus teringat hal horor tsb, cukup teringat kenangan mantan yang sebentar lagi menikah saja itu sudah termasuk horor, apalagi ditambah film horor, sudah cukup, sudah cukup kakak...

    Terima Kasih kepada tiwi, karena beliau secara tidak langsung telah menjelaskan perihal bedanya review film dan resensi film. Iya banyak orang yg ngakunya pecinta horor pas nonton film ini itu biasa aja, tidak seram-seram amat, dan saya amini saja. Ya gimana toh ya, nonton IT aja saya keweden (ketakutan), seolah menjelaskan bahwa film horror itu bukan film yg cocok utk saya tonton, ya jika sesekali nontonnya bolehlah, tapi kalo sering kali? Enggak deh, mending saya memilih mengkhatamkan al-qur'an atau merampungkan membaca tiga jilid buku IQ84 nya haruki murakami..

    Aku ora iso komentar film gam, aku yo ngerti ne nek soal film ya seputar "apik atau orang" X)
    Dan itulah sebabnya kenapa saya lebih menyukai film selain horor, karena horor bagi saya terkadang jawabannya adalah "ora apik". Ora apik go atiku, ora apik go pikiranku, hahaha

    Pas maca tulisan reviewmu soal film pengabdi setan, yg katanya seram, entah kenapa aku malah ngrasa film ini "tidak terlalu seram seperti orang lain kira" apalagi dengan gaya penulisanmu yang ndagel ini ham, haha kocak, dan yang ada malah membuat saya penasaran untuk menontonnya.

    Sialan betul kan...

    BalasHapus
  9. Aku belum nonton filmnya ih 😒
    Dan ia kalau ke bioskop dan penonton disekitar cerewet itu memang nyebelin, apa lagi kalau yany oon dari awal film hingga akhir nanya terus; "Kok bisa gini? Kok gitu?" Errrr lah pokoknya.

    Beda resensi dan review apa sih? Bukannya review = resensi. Enggak ya?

    BalasHapus
  10. Sengaja bw pagi2 takut horor sendiri kalo bw malam2, tapi malah ngakak baca tingkah penontonnya, eh keisengan ibunya rambutnya rontok dan idup lagi karena penasaran sama obat rambut rontok

    BalasHapus
  11. aku juga udah nonton film ini dan udah kubahas di program radio. ini film Joko Anwar yang paling jinak dan tanpa ada darah, ngilu dan kekejaman. Memang bagian akhirnya sudah dibuat ngambang tapi kok kesannya agak susah menyatukan dalam satu benang merah. Apakah mas Ilham sudah liat versi aslinya?

    BalasHapus
  12. Haahaa.. Aku kok takut duluan ya denger judulnya. Gak papa dsebut cemen juga,drpd efeknha gk bisa tidur nyenyak gara2 nonton film horor ini.

    BalasHapus
  13. Kenapa Mertua ribut pas ditinggal lari? Dikejar setan juga? Hahaha

    Kalau aku bkn penggemar horor, atau film2 yg bikin kaget gitu. Kalau mau nntn horor ya yg komedi #TetepCariAman

    Aku malah mau tengok Pengabdi Setan versi lama, tp nntn pas siang. Film hantu lama yg kutonton Suzana aja sih yg skrg kalau ditonton ternyata kdg ada lucunya

    BalasHapus
  14. ((bukan film horor yg terlalu seram))
    Tetep aja Kak.. semua film horor bagiku seram. Enggak mau nontonn.. Baca spoilernya aja udah mbayangin kemana2. >.<

    BalasHapus
  15. Aaaah, aku gajadi2 mau nonton ini hingga akhirnya rame banget lalu malas haha

    BalasHapus
  16. saya klu nonton film horor malah suka ketawa..
    seramnya itu jd bahan tertawaan saya
    hehehehe
    film ini sy belum tonton
    tp kata teman yg pernah nonton dan sering sepemikiran yg sama ttg film bahwa ga terlalu seram malah ada lucunya..jd ga nonton hehehe

    BalasHapus
  17. Aku kok ngikik pas baca genre film Horor Baik. 😂

    Aku ga sanggup nonton film horor selama ini. Yapi baca review ini kok jadi pengen ngajak suami ke bioskop ya, coba waktu nonton suami kebanyakan komentar kayak orang-orang itu nggak. 😂

    BalasHapus
  18. Waktu baca judulnya,udah langsung siap-siap baca yang bikin merinding.
    Ternyata saya salah ... malah senyum-senyum baca reviewnya Mas Ilham. Apalagi soal penonton yang ngomel melulu sama pas bagian: papanya Tinky Winky hahaha...

    BalasHapus
  19. Kalo kata gw sih ya ini film bagus tapi gak serem, malah lucu, lucu sama komentar yg nonton wksksksk

    BalasHapus
  20. Plis plis plis. Sejujurnya engga baca postingan ini. Takut baca spoiler. Soalnya besok mau nonton.


    Yaaa baru besok.


    Jadi aku ngga mau baca😭😭😭😭😭


    Maafin aku ya Ham.kamu sih! Udah di review aja:(((

    BalasHapus
  21. Aku belom nontoooooooooooooooooooooooonnn.......
    Pengen banget nonton ini, tapi terus-terusan gak ada waktu.. ish..... banyak banget yg ngomongin ini. cuma aku satu-satunya orang yg gak nyambung kalo diajak ngomong film ini....

    BalasHapus
  22. ini film yang udah 2jt penonton iya, belum nonton sih, jadi tidak tau serem apa tidak ceritanya. jadi kepengen nonton film pengabdi setan.

    BalasHapus
  23. Wah saya banget tuh, tipe penonton yang maido dan sambat. Mungkin karena keseringan bikin video reaksi kali ya wkwk

    Tapi saya coba menahan diri buat nonton film yang katanya booming ini. Dengan review review semacam ini membuat saya yakin bahwa film ini bagus tapi kurang menyeramkan. Jadi mungkin karna latah efek yang membuat masyarakat berbondong-bondong nonton beginian.

    Di luar faktor joko anwarnya sih yang...

    Btw. Setannya ancang-ancang dulu sebelum nakutin merupakan quote terbaik wkwk

    BalasHapus
  24. Karena mungkin penonton percaya begitu saja dengan apa yang disajikan dalam film gara-gara ia tidak memiliki pengetahuan nyata terhadap situasi sosial di luar negeri sana.

    Bener juga nih si dagu.

    Request dong review film Reincarnation (2005). Horor Jepang tuh. Kemaren baru nonton. Dan aku tak bisa berkata apa-apa.

    BalasHapus