Salah satu hal lucu dan ironi tahun ini selain tragedi Tiang Listrik adalah mencopot instalasi Traveloka karena informasi hoax yang terjadi beberapa hari lalu.
Gerakan menggulingkan Traveloka melalui cara #UninstallTraveloka yang sempat ramai di Twitterland ini terlihat lebih mirip sirkus online daripada revolusi. Gerakan ini terjadi lantaran aksi walk out (WO) sejumlah orang ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sedang berpidato di acara ulang tahun sekolah Kolese Kanisius.
Tiba-tiba saja muncul informasi di WhatsApp mengatakan bahwa salah satu yang terlibat aksi WO tersebut adalah Derianto Kusuma, CTO sekaligus salah satu pendiri Traveloka. Lantas saja digaungkan gerakan #UnistallTraveloka yang diikuti oleh banyak pengguna ponsel pintar.
Hadeh, pemboikotan Traveloka ini memang gerakan salah sasaran yang maha wagu. Jika toh ingin melakukan gerakan boikot-boikot atas apa yang terjadi pada acara itu, semestinya kita fokus pada nama Ananda Sukarlan saja. Kenapa? Sebab, pianis terkenal itu adalah orang pertama yang mengambil tindakan WO. Jadi mari kita gebyarkan gerakan #UninstallPerfectPiano saja.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Bapak Derianto ketika mengetahui produknya sedang di-uninstall ramai-ramai. Bayangkan saja di suatu sore yang mendung dengan belaian angin tipis-tipis tengah Bapak Derianto nikmati bersama secangkir kopi. Matanya terpejam menikmati senandung Teluk Bayur yang beliau request dari stasiun radio terdekat. Saat hendak ngetwit, “Kopi ini enaknya aku minum sekarang atau nanti, ya, Guys?”, beliau malah mendapati trending topic yang menohok sekali.
Jangankan Bapak Derianto, Wakil Komandan Divisi Empat Aliansi Shinobi, Nara Shikamaru pun jika berada pada posisi itu juga bakal kinjat-kinjat tak karuan.
Nah, berkaca dari fenomena menyedihkan ini, kita melihat bagaimana the power of hoax menjadi senjata ampuh untuk melakukan subversi terhadap seseorang atau sesuatu. Saya menduga, lima tahun ke depan profesi prestisius seperti dokter, youtuber, dan host Bigo akan tergantikan dengan profesi-prefesi visioner seperti Creative Hoax, Hoax Freelance, Hoax Analyst, dan Hoax Interface Designer. Satu-satunya profesi yang tidak diperlukan di era post-truth ini adalah Editor Hoax. Ya, hoax tidak butuh editorial.
Hoax terbaik adalah hoax yang ala kadarnya, disajikan tanpa estetika visual dan ditulis dengan menerabas EBI maupun typo. Hoax semacam ini jauh lebih disukai masyarakat karena mudah dipahami, dan tentu saja agak ndagel. Dalam pandangan Lefort, fenomena 'perbudakan sukarela' ini menjadi penting lantaran potensinya membentuk logika ekseklusif dalam masyarakat.
Coba, pernah tidak dirimu percaya dengan informasi dalam grup WhatssApp terkait agenda operasi tilangan atau yang orang Mataram sering menyebutnya, 'mokmen'? Apakah dirimu tergerak untuk menyebarkannya ke grup-grup WhatssApp lain karena merasa informasi itu berguna? Apakah ketika dirimu memutuskan untuk menyebarkan informasi itu terlintas gagasan brilian seperti ini, “Kalau info ini benar, aku telah membantu orang banyak. Tapi kalau hoax, ya nggak apa-apa. Toh nggak ada yang rugi.” Duh, celaka.
Andai saya ini titisan Bapak Anies Baswedan, saya pasti mengatakan, “Saudaraku. Hoax dahsyat bermula dari hoax-hoax kecil yang ditumbuhkembangkan.”
Ibaratnya begini, suatu ketika Pak Agus mendapat kiriman buah satu bagor dari saudaranya. Saking senangnya, Pak Agus memutuskan untuk membagikan buah itu dengan tetangga-tetangganya. Ia mengambil beberapa buah lalu dimasukan ke dalam kantong plastik. Buah itu langsung ia berikan kepada orang-orang.
Pak Agus pulang ke rumah membawa perasaan gembira karena turut berbagi dengan sesama. Sampai di rumah ia melihat istrinya membuang buah-buah yang tersisa ke tempat sampah. Tentu saja Pak Agus kaget setengah modyar.
“Lho, kok buah-buah dari saudaraku ini kamu buang semua, Yu?”
“Bosok kabeh, Mas.”, jawab Patricia kecewa.
Di sini pentingnya meninjau sebelum membagi, Guys.
Jika kehidupan kita terlalu sibuk untuk mencari kebenaran informasi tersebut, yasudah, biarkan saja. Kita tidak mendadak punya tanggung jawab untuk membagi informasi-informasi itu kok. Kecuali kalau grupmu memang hoax center yang punya semboyan, “Sampaikanlah walau satu hoax.” (Lalu hamtiar.com disebut penistaan agama dalam hitungan 1.. 2.. 3..).
Menggiring opini masyarakat, menciptakan logika ekseklusif, dan menanamkan kebenaran-kebenaran palsu adalah tindakan yang tidak sulit dilakukan di era ini. Sebab, sebagian masyakat sudah siap sedia untuk diaktifkan sense of hoax-nya baik sebagai konsumen maupun distributor. Ibarat startup, marketplace untuk produk-produk hoax itu sudah ada.
Saya penasaran sekali, Traveloka kan aplikasi buat traveller, lha para alumni #UninstallTraveloka itu apa memang orang-orang yang doyan piknik? Ini pertanyaan penting. Tolong bantu dijawab, ya. Sebab bagi saya hal ini tidak masuk akal.
Lha kalau doyan piknik kok gampang diapusi?
Menggiring opini masyarakat, menciptakan logika ekseklusif, dan menanamkan kebenaran-kebenaran palsu adalah tindakan yang tidak sulit dilakukan di era ini. Sebab, sebagian masyakat sudah siap sedia untuk diaktifkan sense of hoax-nya baik sebagai konsumen maupun distributor. Ibarat startup, marketplace untuk produk-produk hoax itu sudah ada.
Saya penasaran sekali, Traveloka kan aplikasi buat traveller, lha para alumni #UninstallTraveloka itu apa memang orang-orang yang doyan piknik? Ini pertanyaan penting. Tolong bantu dijawab, ya. Sebab bagi saya hal ini tidak masuk akal.
Lha kalau doyan piknik kok gampang diapusi?
Pict source: pexels.com