16 Februari 2018


Menjadi perantau di Jakarta. Meski baru tiga bulan, namun sudah banyak hal menarik yang saya alami di kota besar ini. Mulai dari pengalaman indah, susah, bahkan absurditas yang random seperti mendatangi event di Grand Indonesia dengan bawa uang hanya 700 rupiah.

Pada tanggal 11 Februari, saya dan Tiwi mendapat kesempatan untuk bertemu sastrawan ulung, Eyang Budi Darma dan Mas Seno Gumira di Galeri Indonesia Kaya. Pertemuan itu tentu saja bukan dalam rangka kopdar atau prosesi COD, melainkan untuk sama-sama terlibat dalam acara bincang sastra dengan tema Menjadi Manusia dengan Sastra.

Beberapa jam sebelum acara dimulai, saya dan Tiwi telah sepakat untuk melakukan perjalanan menuju Galeri Indonesia (GI) menggunakan Transjakarta saja. Kenapa? Soalnya kalau Transtuju itu saluran televisi, tidak bisa ditunggangi. Eh, bisa ding. Ditunggangi kepentingan politis. Eaa.

Sebenarnya kami bisa saja menempuh perjalanan menggunakan motor yang memungkinkan tiba di lokasi lebih cepat. Tapi pilihan itu kami urungkan. Sebab kami masih trauma dengan biaya parkir. Lha mau bagaimana lagi? Parkir di Taman Ismail Marzuki saja kena tarif 14.000, gimana kalau di GI? Bisa-bisa harus jual akun instagram dulu baru bisa bayar parkir, huh.

Pada titik ini saya jadi rindu dengan tarif parkir di The Park Supermall Solo Baru. Meski namanya panjang, mall-nya besar, tapi tarif parkirnya cuma seribu rupiah saja, lho. Saking murahya, kalau sedang tidak ada uang pas, dibela-belain ngamen dulu satu menit di depan Mall juga bisa itu.

Yah, jadi begitulah alasan saya dan Tiwi lebih memilih naik Transjakarta daripada motor. Eh, taunya pas sampai di GI malah Transjakartanya ikut parkir. Terus saya yang bayar. Empat belas ribu pula. Masak, sih? Ya, nggaklah matane. Hidup kok absurdnya kelewataan kayak kartun Nickelodeon.

Singkat cerita, kami tiba di GI sekitar pukul satu siang. Sementara acara dimulai pukul tiga sore. Maka jadilah kami memanfaatkan waktu tersebut dengan...nyasar. Ya begitulah. Tersesat di mall adalah bentuk perlawanan bagi kaum proletar. Perlawanan uopoooo.

Sebenarnya perut kami berharap sesuap makanan, tapi dompet tidak mengabulkan itu. Bagaimana tidak? Dompet saya cuma terisi 200 rupiah setelah koin 500 rupiah sudah raib karna saya pakai untuk menambahi ongkos naik angkot. Untunglah Tiwi bawa 50.000. Lalu jajan di GI? Yo oralah!

Jadilah saat itu saya duduk-duduk pilu di depan butik lingerie bersama Tiwi. Bukannya sedang pilih-pilih lingerie, tapi memang sudut yang kami tempati ini jarang dilalui orang. Kami membicarakan banyak hal. Salah satunya adalah sebuah pertanyaan , “Orang-orang ini ke sini bawa uang berapa, ya?”

Dulu, ketika saya masih di Solo, jalan-jalan ke mall bukan lagi sesuatu yang teramat lux. Biasa saja. Saya bisa makan steak dan minum teh botol sosro yang harganya lebih murah daripada tarif parkir di Taman Ismail Marzuki. Saya bisa beli es teh saja seharga tiga ribuan yang cup-nya tetap dibawa ke mana-mana meski isinya sudah habis.

Kalau dalam film, mall di Solo dan Jakarta sudah seperti film Upside Down. Berbeda meski sama-sama mall. Yaaiyalaah. Ngono wae kok nggumun

Saya tidak bisa membayangkan berapa uang yang dihabiskan untuk satu kali jalan di GI. Apalagi yang membawa serta seluruh anggota keluarga. Satu juta? Dua juta? Lebih atau kurang?

Lalu muncul pertanyaan, “Orang-orang kaya ini sudah sebahagia apa, ya?”

Tiwi mulai menatap saya dengan curiga. Mungkin dia was-was jikalau saya beralih profesi jadi Robin Hood seketika itu juga. Lalu tatapannya berjalan ke rambut saya yang gondrong. Dari pipi kenyalnya yang mulai bersua dengan senyum, saya mendengar suara, “Halah mbel. Boro-boro Robin Hood. Bentukanmu malah mirip Jack Sparrow, Bos.”

Ternyata saya mendapat mukjizat untuk bisa membaca bahasa pipi. Ya, ini pasti mukjizat.

Perbincangan siang itu berlalu begitu saja. Di antara berbagai pertayaan antologis yang saya lontarkan, Tiwi kemudian mengajukan pertanyaan yang sangat-sangat bajindul logisnya. “Di sini ada kayak Carefour gitu nggak, ya?” Syem. Usai sudah cuap-cuap kami yang belagak melawan hedonistik itu.

Kami kehausan. Ingin sekali rasanya menenggak Sprite. Atau Big Cola pun tak apa karna harganya yang lebih miring. Sayangnya, semua itu hanya fatamorgana belaka. Satu-satunya yang berhasil memabukkan adalah aroma Pop Corn yang krenyesnya tak terjangkau saldo PayPal kami.

Sial, tak ada soda hari ini.

Via satuharapan.com

Waktu mulai mendekati pukul tiga sore. Saya dan Tiwi bergandengan menuju Grand Indonesia Kaya. Suasana begitu ramai. Bukan karena banyak penikmat sastra yang berkumpul di situ, tapi karena di CGV tengah berlangsung meet and greet film Eiffel I’m in Love 2. Muda-mudi memenuhi selasar CGV. Sementara GIK terletak di sebelah CGV. Fak, susah sekali menerabas kerumunan itu.

Setelah tergencet ke kanan ke kiri, akhirnya kami berhasil sampai di mulut pintu GIK. Kami segera registrasi ulang setelah sebelumnya sudah mendaftar online. Karena acara belum mulai, kami memutuskan untuk menunggu sembari bermain games virtual yang ada di GIK.

Kami main game Balapan Egrang. Game ini mirip dengan Subway Suffer, tapi karakter yang dimainkan naik egrang. Saking jagonya, kami mendapat nilai 100. Yeaaaayy. Lalu cek high score. Nilai tertinggi 38.000-an kalau tidak salah ingat. “Fak,” batin kami kompak.

Setelah itu saya bermain alat musik virtual. Sementara Tiwi memilih untuk duduk-duduk saja. Saya memainkan kecapi, angklung, bonang, dan satunya lupa. Yang jelas, alat musik apapun yang saya mainkan, lagunya tetap ‘Gundul-Gundul Pacul’. Lha wong ya cuma itu saja yang saya bisa. Eh, tidak. Sebenarnya mau membawakan Symphony No. 35 in D major K. 385, tapi sungkan sama Mozart. Takut kualat.

Setelah saya puas bermain solo concert itu, saya segera duduk di samping Tiwi. Tidak terlalu banyak yang kami perbincangkan karena mata saya mulai menangkap sesuatu. Debu. Ya. Saya sedikit kelilipan.

Sepasang kekasih yang duduk di samping kami mulai beranjak dari tempat duduknya. Mereka menghampiri satpam, entah menanyakan apa. Lalu satpam itu menunjuk ke suatu tempat. Sepasang kekasih itu lantas berjalan terburu-buru. Seketika itu pula saya bangun dari sofa empuk. Saya mencolek Tiwi seraya bilang,“Ayo, masuk sekarang.”

Tiwi yang sudah pernah ke GIK sebelumnya langsung memandu saya menuju pintu masuk ruang auditorium. Semua orang masih sibuk dengan urusannya masing-masing, menunggu. Lalu begitu kami sampai di depan pintu, bapak satpam langsung memberi aba-aba, “Buat dua baris antrian.” Semua orang yang berada di situ langsung sigap membentuk barisan. Saya dan Tiwi tiba-tiba sudah masuk dalam barisan depan, meski bukan yang terdepan.

Saya bersyukur. Coba kalau saya dapat barisan paling depan. Pasti para pengantri sudah saya beri komando untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Duh, naluri imam susah disembunyikan.

Kami mulai melangkah ke dalam setelah Eyang Budi Darma dan Mas Seno masuk duluan. Beruntung mendapat barisan depan. Saya dan Tiwi bisa memiih tempat duduk semaunya. Akhirnya, kami menempati kursi paling atas. Bukan mau mesum, tapi agar bisa bersandar dan kepala kami aman dari kaki orang. Lha matane, talk show kok mesum iki piye ceritane?

Acara dimulai dengan peforming art dari Klub Teater Khatulistiwa yang sangat bagus. Sampai saya merinding, lho. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sambutan dari penerbit Noura.

Sebelum masuk acara inti, kami disuguhi video pendek Tribute to Iwan Simatupang dan Tribute to Bondan Winarno. Begitu dangkalnya pengetahuan saya, baru di tahun 2018 saya tahu jika Pak Bondan adalah sastrawan jauh sebelum acara TV maknyusnya.  Malu aku malu pada semur merah.

Acara bincang-bincang sastra “Menjadi Manusia dengan Sastra” pun akhirnya dimulai. Eyang Budi Darma dan Mas Seno memberi banyak pandangan-pandangan yang menarik. Saya kagum dengan keduanya.  Mas Seno memiliki pemikiran yang simple tapi jenius. Sedangkan Eyang Budi Darma selalu bisa memaparkan data-data dengan jeli, hal ini memperlihatkan betapa luas cakrawala ilmu beliau.

Jadi, apa sih maksudnya Menjadi Manusia dengan Sastra?

Pertanyaan ini barangkali memang tidak berguna bagi masa depan kosakata Vicky Prasetyo, tapi ternyata satu pertanyaan ini bisa diperbincangan selama dua jam  di GIK waktu itu. Mengutip dari penulis buku Orang-orang Bloomington, bahwa sastrawan itu unik. Dahulu, jika Colombus tidak pernah ada, benua Amerika pada akhirnya juga akan tetap ditemukan entah oleh siapa. Thomas Alfa Edison jika tidak menjadi penemu listrik, pasti ada orang lain yang mengganti posisinya.

Tapi hal ini tidak berlaku bagi sastrawan.

Jika tidak ada Pram, Jejak Langkah tidak akan pernah ada. Jika tidak ada Seno Gumira Ajidarma, Dunia Sukab tidak akan pernah ada. Jika tidak ada Ika Natassa, quotes Critical Eleven juga tidak akan pernah ada.

Meskipun fiksi, cerita-cerita sastra bukan hanya sebatas angin lalu. Di dalam karya pasti terdapat nilai-nilai yang bisa digunakan untuk memikirkan tentang manusia. Baik, jahat, bahagia, tragedi, kekacauan, ketidakjelasan, pembuangan, kesendirian, hasrat, naluri, dan masih banyak lagi hal-hal yang dekat dengan kita ada di dalam sebuah karya sastra. Dan itu bisa membuat kita lebih mengenal kehidupan sebagai manusia.

Oleh sebab itu, sastra sebenarnya sangat dekat dengan kita meski tak jarang buku-buku sastra dijauhi. Menurut Mas Seno, sejak manusia mulai bisa berbicara, sejak saat itu ia mengenal sastra. Sebab, proses belajar bicara saat masih balita itu sama dengan proses memahami karya sastra.

Via pexels.com
Jadi konyol saja kalau sampai hari ini secara terang-terangan menolak membaca buku-buku sastra. Meski mengaku susah mengerti maksud buku tesebut, sebenarnya sikap itu hanya alibi kemalasan berpikir saja.

Acara bincang-bincang sastra ini semakin lama semakin seru dan lucu. Para peserta yang terlibat berlomba-lomba mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Meski demikian acara tetap harus mencapai puncaknya. Acara ditutup dengan sajian pementasan dari Klub Teater Khatulistiwa. Dan sekali lagi, semua yang ada di dalam ruangan GIK bertepuk tangan meriah menandakan acara bincang-bincang sastra telah selesai.

Eits, sebelum pulang ya tentu saja ada sesi tanda tangan buku dan foto bersama tho ya. Tapi saya dan Tiwi tidak membawa buku-buku mereka. Alhasil, kami cuma mengambil satu buah foto bersama Seno Gumira Ajidarma...yang ngeblur.

Melewati pintu keluar, saya dan Tiwi memutuskan untuk makan malam dahulu. Di GIK? Ya, nggaklah! Gila apa. Kami makan di pinggir jalan, dekat halte Tosari. Inginnya sih, makan bubur ayam. Tapi sudah tidak tersedia. Akhirnya kami makan nasi goreng sepiring berdua. Biar romantis? Biar irit, Cuk.

Malam itu hujan mengguyur deras. Kami berdua berteduh di halte, memandangi air yang jatuh sembari membicarakan berbagai hal. Sebelum malam semakin larut, kami memutuskan untuk pulang. Di atas bumi Jakarta yang basah, Transjakarta membantu kami memberi keteduhan hingga sampai di rumah.

Kami pulang.


Header: pexels.com