11 Januari 2019



Belakangan ini lagi bersemangat mempelajari literasi keuangan, khususnya fintech. Fintech merupakan akronim dari "financial" dan "technology" yang berarti kebutuhan keuangan yang berorientasi pada teknologi.

Perkembangan fintech di Indoensia terbilang berkembang dengan pesat. Saya merasakan sendiri gilatnya di berbagai lini dapat saya rasakan secara langsung. Baiklah, sebut saja dengan pembayaran yang menjadikan semangat "cashless" sebagai handalan. Dulu, kalau bertransaksi secara offline, saya hanya diberi pilihan pembayaran, antara cash atau gesek kartu. Sekarang saya hanya perlu membawa handphone. Proses pembayaran bisa dikerjakan dengan scan code atau tap pin saja. Simpel dan canggih, bukan?

Dan ternyata pengetahuan saya soal fintech masih begitu sempit. Di balik yang saya ketahui, ada banyak startup yang mengembangkan aneka jenis fintech. Jenis-jenis apa saja, tuh? Ada jenis pembayaran, peminjaman, perencanaan keuangan, investasi ritel, pembiayaan, dan riset keuangan. Hal-hal ini saya ketahui saat punya kesempatan untuk hadir di cara Blogger X Fintech Day beberapa hari lalu.

Dalam acara tersebut, hadir beberapa pengembang fintech di Indonesia, seperti KreditCepat, Cashwagon, Aktivaku, Taralite, Uangme, Pinduit, dan Danain. Hampir semuanya memiliki sesi untuk presentasi. Tapi bukan hanya presentasi jualan, mereka lebih banyak menyebarkan literasi keuangan digital yang begitu banyak memberi pemahaman baru pada saya.

Di era sekarang, fintech menjadi kebutuhan yang menurut saya penting. Meski bukan sebagai satu-satunya cara untuk mengelola keuangan, fintech terbukti memberi banyak kemudahan. Apalagi ketika situasi yang terjadi begitu besar merayakan teknologi keuangan ini. Beradaptasi menjadi satu hal yang saya rasa harus segera dilakukan agar tidak disebut ketinggalan zaman.

Selama satu tahun di Jakarta, saya mulai mencoba beberapa produk fintech. Pertama produk pembayaran. Saya mulai terbiasa membeli tiket nonton, makan, bahkan belanja beberapa barang menggunakan aplikasi yang terpasang di gawai. Saat makan di KFC hingga beli tiket nonton di CGV maupun XXI misalnya, saya cenderung memanfaatkan Tcash atau Dana. Begitupun saat order makanan atau jasa transportasi, saya menggunakan Gopay dari aplikasi Gojek.Saat belanja online, beli pulsa, hingga jajan Dum-dum pun saya menggunakan OVO.

Selain sebagai alat pembayaran, saya juga mencoba teknologi ini dalam hal mencari dana pinjaman. Saya pernah memanfaatkan Akulaku dan Kredivo. Selain cari pinjaman saya juga terlibat dalam pemberi pinjaman atau investasi, di bidang ini saya memakai KoinWorks. Sementara itu di kantor saya cukup akrab memanfaatkan crowdfunding untuk mendapatkan asupan dana. Tempat kerja saya menggunakan KitaBisa dan saat ini sedang proses untuk memanfaatkan pelayanan dari Doku.

Banyaknya produk fintech tidak lantas membuat saya pusing. Justru asyik karena ternyata beberapa hal menjadi lebih mudah dan cepat. Apalagi mereka pasti menawarkan berbagai diskon, promo, hingga hadiah-hadiah yang menarik. Saya mengajak kamu, kamu, dan kamu untuk ikut merayakan perkembangan financial technology ini bersama. Saya memang belum ahli, tapi sedikit demi sedkit semakin paham dan saya melihat ada hal yang bisa kita capai bersama jika perkembangan fintech ini juga disambut dengan baik oleh masyarakat.

Untuk memahami lebih jauh soal fintech, sih, saya sarankan untuk mengikuti pertemuan atau kelas khusus fintech. Seperti yang saya ikuti di Blogger X Fintech Day, misalnya. Tapi bisa juga dengan memanfaatkan media sosial misalnya dengan terlibat aktif dalam diskusi keuangan yang selalu menarik diatawarkan oleh Jaouska. Atau bisa juga belajar dengan sederhana melalui situs-situ keuangan seperti Finansialku.com dan masih banyak lagi caranya.



Nah, itu saja, sih, cerita singkat saya soal fintech dan hal-hal menarik di dalamnya. Saya telah menjadi bagian dari perkembangan dunia keuangan ini. Kamu?


Image source:
1. Photo by Rawpixel from Pexels.com
2. Photo by Rawpixel from Pexels.com

10 Januari 2019


Dulu semasa SMP dan SMA, saya punya teman bernama Heri. Ia adalah siswa yang sehari-hari kenyang menelan ledekan-ledekan dari teman-teman sekolahnya. Heri sebetulnya siswa yang pintar, terutama untuk pelajaran kimia. Saya yang pernah satu kelas dengannya, sering mengintip pekerjaannya yang terpercaya itu.

Heri diledek tidak jauh dari penampilan fisiknya. Walau ia kurus dan dandanannya sangat rapi. Tapi orang-orang justru terfokus pada giginya yang besar dan tidak rapi. Awalnya, saya terlibat juga dalam merundung Heri. Baru menginjak kelas 2 SMA saya merasa lebih kasihan kepadanya karena perundungan terhadapnya semakin parah saja.

Salah satu hal yang saya cemaskan dari Heri adalah melewatkan masa remaja tanpa kisah asmara yang membara. Dan benar saja, sampai lulus SMA, Heri tidak terlihat memiliki hubungan asmara dengan siapapun. Bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda ke arah itu. Wong Heri itu kalau ngobrol sama perempuan, malamnya langsung kerokan gitu.

Maka dari itu saya penasaran, apakah Heri pernah menginginkan hubungan asmara? Alih-alih berasmara, bagaimana perasaannya melalui masa remaja dengan perundungan yang tak kenal kendor itu?

Di lingkaran sosial ini, Heri berperan sebagai liyan (the Other). Liyan adalah sebutan bagi perseorangan maupun kelompok yang secara terkonstruksi berbeda dari yang lain dan ia/mereka dalam masa pencarian eksistensi (pengakuan atas keberadaan). Sederhananya, liyan ini merupakan orang yang dipandang sebelah mata.

Seperti Simone de Beauvoir yang menyatakan bahwa kaum perempuan adalah liyan karena keberadaannya selalu menjadi objek laki-laki. Sigmund Freud pun punya pendapat jika anak perempuan adalah liyan. Sampai-sampai muncul istilah 'penis envy' dalam psikoseksual Freud yang oleh Jacques Lacan dimaknai sebagai hasrat ingin mengetahui seperti apa rasanya berada dalam suatu kelompok yang lain.

Heri mungkin ingin sekali-kali menjadi siswa populer yang keren dan digandrungi banyak perempuan. Ia juga mungkin saja ingin bisa nongkrong dengan teman-teman yang tidak mengejeknya sedikitpun. Atau bahkan, ia sesekali juga ingin berada di posisi sebagai seorang perundung yang membuat lelucon atas kekurangan orang lain.

Tapi urusan hati siapa yang tahu?

Apa yang dialami Heri dan apa yang saya banyak pertanyakan di atas ternyata terjawab dalam sebuah novel teenlit karya Mega Shofani. Novel bernuansa pink ini berjudul Kilovegram. Sinopsis versi sayanya begini:

Aruna adalah siswa baru di SMA Angkasa yang sering dirundung perihal bentuk tubuhnya yang besar. Walau begitu, ia mempunyai sahabat setia sejak kecil bernama Raka.

Raka terkenal dengan ketampanan dan kesupelan yang membuat Diana (anak pejabat yang merasa dirinya cantik) dimabuk asmara. Oleh sebab Aruna dan Raka terlihat sangat akrab, Diana yang merasa cemburu terus-terusan merundung Aruna, terutama soal ukuran tubuh.

Awalnya, Aruna merasa gembira lantaran Nada, saudarinya dari Tasikmalaya, pindah ke rumah Aruna dan bakal sekolah di tempat yang sama. Sayangnya, sejak kemunculan Nada, hubungan Aruna dan Raka menjadi renggang.

Nada merupakan perempuan pintar, ramah, sopan, berbakat di seni, berparas cantik, dan langsing. Hanya satu yang Aruna inginkan dari Nada, yaitu kembalinya perhatian Raka. Jadi mulai sekarang Aruna diet!

Body Shaming

Isu ini menjadi dominan di cerita Kilovegram selain lika-liku cintanya. Aruna yang terus diejek soal ukuran tubuh berhasil dibangun dengan baik oleh Mbak Mega Shofani. Mulai dari ejekan dengan nada bercanda seperti Raka atau memang ejekan yang sengaja dilontarkan untuk menjatuhkan mental Aruna seperti yang Diana lakukan.

Walau begitu, ada karakter-karakter yang tidak mengatakan hal-hal keji itu pada Aruna. Ada Nada dan Ibunya Aruna yang senantiasa memberi dukungan bagaimanapun bentuk Aruna. Hal ini yang bagi saya cukup seimbang. Bahkan saya tidak yakin teman saya, Heri, seberuntung Aruna itu.

Dalam mengatasi body shaming tersebut, Aruna digambarkan sebagai sosok yang kuat dan berani melawan. Bahkan saat diejek kakak kelas sekalipun, Aruna mampu membalasnya. Sementara teman saya, Heri, hanya terdiam lesu dalam pelukan malaikat.

Barangkali Mbak Mega ingin menyampaikan kepada para liyan di dunia nyata agar berani melawan, minimal tidak berkecil hati. Dalam kisah ini, ketegaran Aruna menghadapi perundungan tidak membosankan. Seperti keterlibatannya mengikuti ajang fashion show sebagai model untuk membuktikan kalau dia tak bisa dipandang sebelah mata lagi.

Apa yang dialami oleh Aruna barangkali merupakan pengalaman empiris Mbak Mega. Kami dulu bersekolah di tempat yang sama, saya kelas satu sementara Mbak Mega kelas tiga. Meski waktu itu belum kenal, tapi saya tahu Mbak Mega dikaruniai tubuh yang besar. Maklum, tahu orangnya tapi tidak tahu namanya. Untung ada Facebook.

Oh.. Raka. Oh.. Baka.
Karakter bernama Raka dalam kisah ini merupakan karakter yang paling kurang matang menurut saya. Sosoknya sebagai kakak kelas terlihat sangat tipis mengingat karakter lain yang jadi juniornya justru berpikir dan bersikap lebih dewasa. Memang sih laki-laki remaja di SMA saya dulu banyak yang kekanak-kanakan, termasuk saya. Tapi kekanakannya Raka terlalu kontras jika dibandingkan dengan popularitasnya yang menawan itu.

Kalau biasanya kita mengenal sebutan Drama Queen yang notabene adalah perempuan (tidak bermaksud seksis, tapi yang dimaksud queen itu memang perempuan, kan?). Di Kilovegram, justru Raka lah yang menjadi orang yang doyan ngedrama. Karakternya yang menyebalkan itu bikin saya kurang menerima keputusan Aruna yang mencintainya. 

Saya malah merasa Aruna lebih cocok berhubungan dengan Valen (kakak Diana). Sebab, Valen memiliki latar belakang yang lebih rapuh dari Raka. Kerapuhan itu bisa membaur dengan kerapuhan Aruna sehingga jika bersama, mereka bisa jadi pasangan yang saling menguatkan.

Keputusan Fatal

Selain karakter Raka yang kurang matang, salah satu yang menurut saya disayangkan adalah keputusan Mbak Mega untuk menggunakan lokasi di Jakarta.

Saya memang baru beberapa bulan di Jakarta. Jika mau membandingkan Jakarta dan Solo, ternyata ada banyak perbedaan yang saya temukan. Bahkan, dari hal sederhana seperti di Solo ada makanan namanya arem-arem. Sementara di Jakarta, setidaknya di wilayah saya tinggal, menyebutnya lontong isi. Meski wujudnya sama, tapi istilah yang digunakan berlainan. Maka ketika Raka mengejek Runa dengan sebutan arem-arem, bagi saya diksi itu terasa kurang pas.

Kurang jelinya Mbak Mega menangkap perbedaan itu yang beberapa kali membuat saya meragukan lokasi cerita yang berlatar di Jakarta. Seperti merokok di kantin. Di sekolah saya dulu memang merokok di kantin menjadi sesuatu yang mungkin terjadi. Tapi menurut pengakuan Tiwi yang merasakan bersekolah di Jakarta, merokok di kantin menjadi sesuatu yang muskil.

Sebetulnya masih ada beberapa poin yang kurang tepat sebagaimana contoh-contoh di atas. Tapi secara keseluruhan, Kilovegram tetap bisa dinikmati sampai selesai. Keputusan yang fatal tadi bukan membuat kita untuk tidak membaca atau membumi hanguskan buku Kilovegram. Jelas tidak. Koreksi yang saya sebutkan merupakan pengharapan saya agar Mbak Mega senantiasa membuat cerita-cerita yang lebih nikmat di kemudian hari.

Bukankah sefatal-fatalnya keputusan penulis adalah keputusan memboikot Gramedia tapi bukunya tetap di jual penuh di sana? Eh, itu siapa, ya? Wahaha.

Ringan Tapi Tidak Ringkih

Sebagai teenlit, Kilovegram tentu saja merupakan bacaan yang ringan bagi kawula muda. Meski kurang jelas cerita ini berlatar tahun berapa (ada sedikit kerancuan yang membuat saya kebingungan menaksir realitas masanya), tapi jika disajikan kepada remaja saat ini saya rasa masih cocok-cocok saja.

Saya suka dengan isu body shaming yang diangkat. Sudah males rasanya sama tokoh utama yang hampir sempurna, kehadiran Aruna dalam kisah ini memberi sudut pandang yang menarik. Pada akhirnya, rasa penasaran saya terhadap Heri seperti yang sudah saya sebut di awal, lumayan terjawab melalui karakter Aruna.

Menghadirkan liyan sebagai pusat cerita adalah hal menarik untuk diikuti. Setiap keputusan yang Aruna ambil, mulai dari urusan diet hingga asmara, menjadi momen sakral yang dinanti. Kilovegram membuka mata kita terhadap liyan yang semestinya kita rangkul, bukan malah dirundung.

Orang-orang yang barangkali merasa dirinya unggul, ubermensch, melihat liyan sebagai suatu kecacatan sosial. Kehadirannya dipinggirkan, dinomorduakan, bahkan tanpa rasa bersalah memperlakukan liyan dengan tidak wajar. Lewat kisah Aruna inilah kita menyadari bahwa Hitler dan Rahwana senantiasa tinggal di hati kita, kadang keluar dari mulut dengan perkataan yang keji. Hingga membuat hati seseorang terluka, bahkan hancur lebur.

Aruna adalah apa yang disebut Nietzsche sebagai amor fati ego fatum: "cinta terhadap takdir, karena aku adalah takdir." Aruna telah berdamai dengan keadaannya. Lambat laun, keadaan berdamai juga kepada Aruna.


Akhir kata, bacalah.


Image source: (1) Pixabay via Pexels.com (2) Dokumen Pribadi

9 Januari 2019


Menonton film di bioskop saat ini memang masih menjadi kebutuhan tersier bagi masyarakat kita. Meski demikian, nyatanya bangku bioskop makin penuh dari tahun ke tahun. Entah ini karena masyarakat Indonesia mulai sejahtera, atau justru karena banyak yang butuh lari dari realitas.

Saya akui menonton di bioskop adalah cara terbaik untuk menikmati sajian film. Selain sebagai hiburan, film juga memberi dunia alternatif yang memengaruhi beberapa pandangan saya soal hidup. Oleh sebab itu jika sedang ada rezeki, saya menyempatkan diri untuk menonton film di bioskop. Sementara kalau lagi mlarat, ya saya nonton di Hooq atau memakai layanan underground yang you know what I mean.

Meski nonton film di bioskop adalah cara yang prestisius, tapi nyatanya adab menonton masih tidak diindahkan. Saya sering menemui orang-orang yang kelakuannya sangat mengganggu aktivitas menonton. Jangankan untuk memaklumi, memaafkan mereka pun saya tidak sudi.

Berikut ini saya rangkum 5 kebiasaan tak termaafkan saat nonton film di bioskop. Coba cek, kamu pernah mengalami atau pernah melakukannya.

1. Membawa Anak Kecil

Hanya sedikit film yang diperuntukkan bagi semua usia. Bahkan film-film superhero Marvel pun rata-rata dilabeli sebagai film 13 tahun ke atas. Tapi saya sering melihat ada orangtua yang sengaja membawa anaknya yang masih di bawah 13 tahun bahkan ada yang baru belajar jalan pun ikut nonton!

Sudah ada banyak informasi yang sliweran di timeline saya soal bahayanya membawa anak kecil buat nonton di bioskop. Baik dari kemampuan pendengaran yang bisa cidera sampai psikisnya yang bisa terganggu. Saya rasa sebelum membuat anak, pasutri masa kini perlu mempertimbangkan apakah masih ada gairah nonton di bioskop atau tidak.

Membawa anak kecil ke bioskop selain berbahaya bagi anak tersebut, ada juga hal negatif lain. Yaitu potensi mengganggu penonton lain. Anak kecil yang tidak paham adab menonton seringkali bicara dengan kencang di dalam ruangan teater. Lebih parah lagi kalau sampai menangis kejer atau mondar-mandir tak karuan.

Ingatlah jika menonton film bisa dilakukan di berbagai tempat. Tidak harus bioskop. Jika mau melibatkan anak sebaiknya ya jangan di bioskop. Karena bioskop ini hanya kebutuhan tersier yang kalaupun tidak melakukannya, keluarga kita juga tidak akan tercerai-berai seketika.


2. Berbicara

Baik ngobrol bersama teman atau ngomong sendiri merupakan hal yang mengganggu sekali. Jika memang ada yang perlu sekali dibicarakan dengan teman nonton sebaiknya gunakan cara berbisik dan dekatkan mulutmu ke telinga lawan bicaramu. Paling parah sih kalau ngobrol via telfon. Berisyik!

3. Menyalakan Gadget

Buka lagi tidak beradab, bahkan kebiasaan satu ini terlihat begitu norak. Kita tahu di dalam ruangan teater memang sengaja dibuat gelap. Satu handphone dengan brightness kecil pun akan terlihat dari belakang. Hal itu benar-benar mengganggu fokus nonton.

Padahal durasi film rata-rata 2 jam. Jika menang tidak sanggup off dari HP selama itu, ya sudah tidak usah nonton sejak awal. Jika memang ada hal yang mendesak, sebaiknya keluar ruangan dulu baru akses HP.

Intinya, jangan menyalakan handphone, tab, laptop, apalagi TV. Jangan!

4. Respon Lebay

Merespon apa yang ditayangkan itu memang wajar. Tapi jangan berlebihan juga. Sebab bisa mengganggu penonton lain.

Respon lebay itu bisa berupa nangis meraung-raung, jerit-jerit histeris, maupun ketawa berlebihan kayak ayam Pontianak. Ganggu!

5. Banyak Tingkah

Tidak hanya suara saja yang bisa menggangu. Tingkah laku pun juga bisa membuat penonton lain merasa tidak nyaman. Misal sering mondar-mandir, badan grusak-grusuk, sampai kaki yang menyentuh kursi depan. Satu sentuhan kecil saja akan terasa banget lho. Jadi usahakan menonton dengan tenang.

Mengapa sih menonton di bioskop nggak boleh ini itu?


Jika kamu pernah beranggapan, "Halah gitu doang kok ngerasa keganggu. Lebay amat sih", mungkin kamu perlu belajar lagi soal tenggang rasa.

Nonton di bioskop itu ada banyak orangnya. Bahkan orang-orang yang tidak kita kenali. Saya pernah nabung untuk nonton film yang sangat saya idamkan. Saya sengaja berhemat agar bisa nonton film itu di hari pertama penayangan. Tapi pas nonton saya merasa terganggu dengan tingkah laku penonton lain. Marah, kesal, hasrat ingin memukuli sudah bercampur aduk menjadi satu.

Lagipula, bukankah hukum keseimbangan alam itu ada? Barangsiapa menanam, ia menuai. Jika hari ini kita menggangu orang lain, di lain hari kita pasti diganggu juga entah oleh orang lain atau sesuatu yang lebih buruk.

Nah, itu dia 5 kebiasaan tak termaafkan saat nonton di bioskop. Sebenarnya masih ada banyak lagi yang mengganggu di bioskop seperti merokok, bercinta, malakin popcorn, goreng cireng, benerin rantai motor, banyak lah pokoknya. Kalau menurutmu apa lagi kebiasaan tak termaafkan selama nonton di bioskop?


Image Source: pexels.com

7 Januari 2019


Menurut saya, film Pengabdi Setan besutan Joko Anwar ini adalah film yang sangat bagus, tapi bukan film horor yang terlalu seram.

Kedua hal tersebut perlu dibedakan, sebab saya risih dengan beberapa komentar yang mengatakan film ini tidak bagus hanya karena kurang seram. Well, tiap orang tentu bebas menilai sebuah film. Tapi hambok ya agak nganu dikit gitu, lho.

Sebelum membicarakan filmnya, saya ingin curhat sebentar. Begini, saya berangkat menonton film ini sendirian. Bukan karena jomblo. Justru dari beberapa kilometer di sebrang sana kekasih saya juga sedang menonton film Pengabdi Setan, tapi versi pertamanya (1979) dan rencananya kami akan saling mendiskusikan itu. Namun, terlepas dari itu, ada satu hal menyebalkan yang harus saya rasakan di dalam bioskop. Apalagi kalau bukan celetukan berisik di kanan dan di kiri.

Bukan. Bukan orang spoiler. Ada yang lebih parah dari itu, yaitu tipe penonton yang kebanyakan maido dan sambat. Dua istilah Jawa ini kalau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perilaku menyangkal dan mengeluh.

Biar lebih jelasnya gini, ketika ada scene di mana Rini (Tara Basro) berjalan ke kamar ibunya setelah terbangun dari mimpi buruk, dua perempuan di samping saya bilang gini, “Kuwi yo ngopo tho ndadak marani barang. Nek aku ngono tak tinggal turu neh.” Dalam bahasa Indonesia berarti, “Itu ngapain sih malah mendatangi segala. Kalau aku gitu mending kutidur lagi aja.” Dalam batinku tentu saja menyeruak ucapan-ucapan terpuji macam, “Asui, namanya juga film. Kalau serem dikit tidur, serem dikit tidur, mana jadi cerita. Bajindul tenan.”

Dan celotehan-celotehan seperti itu berdenging sampai film selesai. Tipe penonton maido dan sambat ini ketika memutuskan untuk nonton film, apa yang mereka harapkan, ya? Bayangin aja, tiap ada yang ‘nggak semestinya’ selalu saja diprotes. Ada foto seram di ujung lorong, protes. Ada anak kecil pergi pipis malem-malem sendirian, protes. Bahkan, para tokoh yang tidur di kamar masing-masing juga diprotes! Luar biasa memang. Masak mereka bilang, “Udah tahu ada penampakan-penampakan, mbokya nggak tidur sendiri-sendiri, gitu.” Ada juga yang bilang, “Itu istrinya lagi sakit malah ditinggal tidur di ruang tamu. Mbokya ditemenin, biar kalau ada apa-apa nggak usah repot-repot manggil pakai lonceng.”

Aku ingin sekali teriak, “Woy! Kalau ceritanya kayak yang lu omongin. Ngapain lu nonton. Ngelamun aja sono!” Tapi sayang, aku lebih milih diem biar nggak ganggu penonton lain. Sebuwah prinsip!


Sekelumit Tentang Pengabdi Setan

Saya yakin sudah banyak sinopsis yang bertebaran, review yang bergelimpangan, dan spoiler yang bergelayutan di mana-mana. Namun, saya akan tetap menuliskan sedikit cerita dalam film ini di sini.
Film ini sebenarnya bermula saat rambut Ibu mulai rontok. Toni, anak kedua dari Ibu ini, memang senantiasa menyisir rambut Ibunya yang sedang sakit setiap malam. Ketika mendapati rambut Ibu mulai rontok, ia menjanjikan sebuah obat anti rontok kepada Ibunya. Tapi sayang, usia Ibu tidak lama. Ibu meninggal dunia dan dikebumikan di pekuburan yang tidak jauh dari rumahnya. Dalam peraduannya Ibu tidak bisa tenang. Ibu kembali ke rumahnya sebagai setan, dan ia meminta untuk disisirin lagi rambutnya. Mampukah Ibu mengatasi rambut rontoknya? Penasaran? Tonton filmnya.
Ah, nggak. Bercanda. Hwehehe.

Adegan yang saya sebut-sebut di atas memang ada. Tapi bukan itu inti filmnya. Dalam mempromosikan film ini, di mana-mana Joko Anwar cuma mengatakan kalau film ini tentang keluarga yang ditinggal mati oleh sosok Ibu. Lalu Ibu itu kembali ke rumah untuk menjemput anak-anaknya. Pertanyaan yang terbesit tentu saja bukan, “Apakah Ibu ini berhasil menjemput anak-anaknya? “ atau, “Apakah anak-anaknya akan selamat?” Tidak. Tentu tidak demikian. Pertanyaan yang tepat dari sinopsis singkat itu adalah, “Mengapa?”

Mengapa Ibu itu menjemput anak-anaknya? Mengapa Ibu meninggal dengan cara tak wajar? Pertanyaan-pertanyaan itu yang secara apik dijawab pelan-pelan dalam film Pengabdi Setan ini. Dan tentu saja sebagai garda depan perjokoanwaran, kita harus memaklumi dengan senyum manis ketika twist demi twist dimainkan.

Alasan Mengapa Film Pengabdi Setan Tidak Terlalu Menakutkan

Saya sendiri menilai film ini sangat bagus. Mulai dari cerita, acting para pemainnya, sinematografi, dan mise-en scene yang begitu estetik bagi saya. Namun, jika ditagih soal ketakutannya, sih, mohon maaf. Tidak terlalu menakutkan.

Lho kok bisa?

1. Kurang Kaget

Kalau kata kekasih saya, “Setannya udah ancang-ancang dulu sebelum keluar.” Hahaha. Sepanjang film memang saya berharap ada penampakan dan teror yang membabi buta tiap menitnya. Hal ini ternyata malah mengurangi kenikmatan menonton karena saya sudah terlalu siap untuk kaget. Berbeda sekali dengan pengalaman saya menonton film Get Out yang saya pikir itu adalah film drama percintaan, ternyata thriller. Teleq ucink!

2. Kurang Tersiksa

Entah saya yang agak psiko atau apa, tapi memang saya kurang merasa ngeri karena tokoh-tokoh yang ada di dalam film itu tidak ada yang lecet-lecet, patah tulang, kesleo, babak belur, atau ngucur-ngucur darah sekalipun (ada sih, tapi langsung meninggal). 


Jujur saja, saat adegan di mana tangan Rini ditarik ke luar jendela itu saya berharap tangannya terluka karena gigitan atau cakaran. Tapi ya mau bagaimana lagi, sejak awal film memang sudah ada penengasannya dalam dialog, “Orang mati itu tidak bisa melukai kita. Yang bisa itu perampok, pencuri..” Lagipula, kenapa sih Ian diceritakan bawa-bawa pisau segala kalau nggak dipakai buat nujes-nujes? Huhhah. Gemes.

3. Kurang Lama

Adegan dikejar-kejar mayat hidup sebanyak itu menurutku kurang lama dan kurang dekat mengepungnya. Kejauhan anjir ngepung rumahnya. Malah pada baris kayak mau senam sehat pagi-pagi di CFD. Jadi pas saya baru mulai deg-degan gitu, taraaaa, penyelamat datang. Lah, rurang lamaaa.

4. Kurang Terpencar

Porsi di mana anggota keluarga itu terpencar menurut saya kurang banyak. Ya, bagi saya sih salah satu kehororan itu adalah saat kita sedang sendiri. Jadi mengombinasikan kesendirian dan teror bisa jadi kengerian yang bertambah. Setidaknya lebih bikin deg-degan daripada ramai-ramai. Tapi sayang, empat orang yang diteror itu melewati kejaran demi kejaran dengan berpelukan bersama. Hal ini membuat saya percaya bahwa Bapak dari keluarga tersebut pasti bernama Tinky Winky.



Keempat hal yang saya sebutkan di atas bukanlah poin-poin kesalahan dalam film ini. Tidak. Film Pengabdi Setan tidak salah. Saya hanya mengutarakan apa yang ada di imajinasi saya terhadap film ini. Setidaknya, saya menuliskannya di sini. Tidak diceletukkan ketika nonton di bioskop macam penonton maido dan sambat. Duhdek, pengen rasane tak klakson lambemu.

Salah satu hal yang aku suka dari Pengabdi Setan ini adalah sosok setan-setan yang terjangkau. Menurut saya setan yang transparan, bisa tembus benda, dan melayang-layang bukanlah sosok setan yang menyeramkan. Tapi justru setan yang bisa jalan, turun tangga, buka pintu, dan juga bisa tahiyat akhir itu lebih horor karena terkesan lebih kuat begitu.

Sederhananya begini, setan transparan itu imejnya seperti terbuat dari partikel cahaya dan udara. Saya pribadi belum pernah terluka karena cahaya dan udara. Jadi saya kurang ada gambaran bagaimana rasanya kalau setan transparan melukai saya. Tapi setan yang berwujud padat itu lebih membuat saya percaya bahwa ia bisa melukai saya. Karena tentu saya pernah tergores, tercakar, tergigit, terpukul oleh benda-benda padat.

Nah, di film Pengabdi Setan sebenarnya berpotensi besar menawarkan teror yang bikin ngilu. Tapi ternyata Joko Anwar terlalu baik untuk tidak melukai para tokohnya secara fisik. Ya, sebut saja Pengabdi Setan ini adalah film horor yang baik. Mungkin memang Joko Anwar cuma mau membawa horornya saja, tidak melibatkan thriller atau slasher untuk menguatkan bumbu-bumbu teror.


Film: Pengabdi Setan // Tahun: 2017 // Rate IMDB: 8,4 // Genre: Horor Baik

Sebelum saya akhiri tulisan ini, sekali lagi saya ingin menghimbau kepada para penonton film-film Indonesia untuk tidak memprotes film di dalam bioskop. Mungkin memang ada hal-hal lebay atau terlalu ‘nggak mungkin’ yang terjadi di dalam film. Itu wajar. Memang harus begitu ceritanya biar tidak monoton. Jadi jangan bandingkan pengalaman hidup kita dengan apa yang terjadi di dalam film.

Uniknya, hal ini seringkali tidak terjadi untuk film-film luar. Karena mungkin penonton percaya begitu saja dengan apa yang disajikan dalam film gara-gara ia tidak memiliki pengetahuan nyata terhadap situasi sosial di luar negeri sana. Sementara kalau di Indonesia tidak begitu. Pernah saya menonton film pendek di YouTube dari MBCM yang berjudul Taksi. Saat saya membaca komentarnya, ada yang bilang, “Goblok. Kok nggak pesen grab aja sih?” Laaahhh..!

Untuk itulah mungkin alasan kenapa setiap film yang Joko Anwar bikin selalu saja latar (setting) ceritanya itu tidak diberitahukan. Mulai dari Kala, Modus Anomali, Pintu Terlarang, A Copy of My Mind, dan Pengabdi Setan ini tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa semesta yang ada di film itu adalah Indonesia. Syutingnya sih, iya, di Indonesia. Tapi latar yang dibangun dalam film itu, tuh, bukan Indonesia. Coba, pernah ada nama kota atau kampung yang disebut di dalam film-filmnya Joko Anwar apa tidak? Setahu saya, tidak ada. Di film Kala pun ada dialog yang cuma bilang, “Saya mau pindah ke tenggara.”

Begitulah, jangan ribut kalau nonton film di bioskop, ya. Karena yang boleh ribut itu cuma mertuamu sing mbok tinggal mlayu.

Sekian dulu tulisan review saya kali ini. Ada banyak sekali spoiler karena memang tulisan ini saya tujukan kepada kamu-kamu yang sudah menonton filmnya. Sehingga kita bisa diskusikan ini bersama. Kalau kata Tiwi, “Review itu ya pasti spoiler. Kalau tidak spoiler namanya resensi.”


All image source: bintang.com