5 November 2016

A Dangerous Method (2011): Seucrit Tentang Psikoanalisa



Dunia psikologi selalu menjadi hal yang menarik bagi saya. Maka wajar jika film A Dangerous Method menjadi film yang membuat saya jatuh cinta kegirangan. Film besutan David Cronenberg ini berani mengangkat kisah pergumulan Carl G. Jung, Sabina Spielrein dan Sigmund Freud dalam layar lebar. Rilis tahun 2011, film yang membicarakan tentang psikoanalisa ini mendapat score 6,5/10 versi IMDB.

A Dangerous Method merupakan film biopic yang berangkat dari semesta Carl G. Jung (Michael Fassbender) yang penuh intrik tentang psikologi, cinta dan seks. Jung adalah seorang dokter jiwa yang menganut psikonalaisa dalam upayanya menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan kejiwaan. Salah satu pasien yang harus ia tangani adalah Sabrina Spielrein (Keira Knightley).

Sabrina memiliki gangguan kejiwaan yang serius. Sebelum Sigmud Freud (Viggo Mortensen) mencetuskan pengobatan kejiwaan dengan psikoanalisa, dunia kedokteran masih mempercayai jika gangguan psikis disebabkan oleh syaraf otak yang tidak semestinya. Untuk itu, biasanya mereka melakukan pengobatan dengan cara setrum otak. Berbeda dengan praktek brutal tersebut, psikoanalisa mengobati pasien dengan cara berbincang-bincang.

Melalui perbincangan tersebut, Jung berhasil mengulik masa lalu Sabrina. Diketahui sejak umur empat tahun, Sabrina mengalami tekanan fisik dan emosional yang disebabkan oleh ayah sadisnya. Dipukul, dicambuk, ditelanjangi dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan trauma berat bagi Sabrina. Pada akhirnya, Sabrina dewasa diketahui memiliki orientasi seks yang tergolong abnormal, yaitu masokis.

Salah satu teori psikoanalisa yang ditawarkan Freud adalah ranah kajian yang bermain-main dengan alam ketidaksadaran (unconscious). Freud percaya jika setiap manusia memiliki alam bawah sadar yang merupakan dorongan-dorongan yang timbul pada masa kanak-kanak, di mana oleh suatu hal terpaksa ditekan sehingga tidak muncul dalam kesadaran. Pada kasus Sabrina kita tahu jika masa kecilnya mengalami pergolakan fisik dan mental yang begitu kuat. Hal ini ternyata berdampak besar baginya di masa dewasa. Di mana ia memiliki rangsangan seksual dengan cara menyakiti diri sendiri.

Salah satu scene menarik adalah saat mantel yang Sabrina kenakan jatuh dari pundaknya. Jung mengambil mantel itu dari tanah lalu membersihkannya dengan cara memukul-mukul mantel dengan tongkat. Sabrina yang melihat itu langsung panik. Ia mendadak memutuskan untuk pulang. Benar saja, ternyata apa yang dilakukan Jung telah membuat Sabrina sange. Lantas Sabrina menuntasnya gairah seksnya itu dengan masturbasi. Saya yakin, Sabrina dulu waktu sekolah di SDN Bulu Kanthil 1 pasti lari terbirit-birit kalau ada teman sekelasnya yang belagak main perkusi pakai meja.

Masokis sendiri adalah dorongan untuk mempersakiti diri sendiri yang sifatnya patologis. Asal kata ini didapati dari nama seorang penyair roman Austria, L. Von Sacher Masoch. Di mana ia sering menciptakan tokoh yang suka menyakiti diri sendiri. Untung saja Kanjeng Dimas Taat Pribadi itu bukan penyair. Bisa-bisa ia bikin tokoh yang mendapat dorongan seks saat melihat peristiwa penggandaan uang. Tiap jam enam pagi pasti si tokoh pergi ke warung sebelah buat tukar uang seribu jadi dua keping lima ratusan. Sampai rumah langsung onani. Mantap!

Terlepas dari penggandaan uang yang aneh itu, masokis ini pada umunya dibagi menjadi dua kecenderungan. Ada masokis moril, yaitu dorongan yang dimuati unsur-unsur rasa bersalah dan dosa besar, terutama ditujukan pada kekasih atau relasi terdekatnya. Dan satunya lagi ada masokis erotis, yaitu dorongan untuk bersedia menderita kesakitan hebat demi cinta. Dalam A Dangerous Method, Sabrina lebih besar mengarah ke masokis erotis. Maka jangan kaget jika kita nantinya akan melihat si manis Keira Knightley dicambukin pantatnya.

Sabrina dan Jung yang semula hanya sebatas pasien dan dokter pada akhirnya baper juga. Di sini kita bisa menyempurnakan pepatah jawa, ‘witing tresna jalaran saka kulina, kulina mecuti’. Jung yang sudah berkeluarga ternyata bisa goyah. Ia mendapat pengaruh dari seorang psikoanalis bermasalah bernama Otto Gross (Vincent Cassel). Gross adalah orang yang tidak mempercayai mitos-mitos monogami. Baginya, dorongan seks tidak akan pernah selesai meskipun seseorang telah menikah. Maka ia memilih keluar dari jeratan monogami dan melepaskan diri terhadap seks bebas.
"Cambuk aku pakai kesempurnaan cintamu, Mas". (Source: wall.alphacoders)
Pemikiran itu berhasil membuka gerbang kejatuhcintaan Jung terhadap Sabrina. Berhubungan seks jelas mereka lakukan. Di samping itu, bromance yang terjadi antara Jung dan Freud juga tak kalah menarik. Di mana lagi kita bisa melihat dua tokoh besar nan penting itu berbincang seru. Saya yakin nama Freud tak asing lagi karena memang pemikiran-pemikirannya sering dipakai di banyak bidang kajian. Mulai dari psikologi itu sendiri hingga merembet ke sosiologi, antropologi, seni, sastra, dan lain sebagainya. Sedangkan Jung ini paling tidak kita sudah familiar dengan teori pembagian karakter manusia menjadi tiga golongan. Yaitu introvert, ekstrovert dan ambivert.

Sabrina Spielrein yang awalnya memiliki gangguan psikis ini pada akhirnya berhasil disembuhkan. Lebih dari itu, ia malah menjadi ahli psikoanalisa sebagaimana Freud dan Jung. Salah satu keunikan yang dimiliki Sabrina adalah sudut pandangnya tentang psikologi seks yang pernah ia alami sebagai ‘orang gila’. Dalam teorinya, Sabrina berpendapat jika dorongan seks sesungguhnya adalah ego. Di mana untuk mencapai sebuah kepuasan seks, kedua belah pihak harus bersama-sama memenangkan ego.

Sayangnya dalam rezim patriarki kita dihadapkan pada sebuah stigma di mana laki-laki lah yang memiliki kuasa atas seks. Kepuasaan laki-laki dianggap sebagai parameter keberhasilan seks. Seolah laki-laki memiliki pengetahuan dan cara melakukan seks yang lebih baik daripada perempuan. Hal ini tentu meresahkan kaum perempuan. Sebab dalam melakukan hubungan seks akhirnya terjadi ketimpangan. Laki-laki selalu mengambil peran dominan. Padahal perempuan juga boleh mengambil posisi itu. Laki-laki terus-terusan berupaya menuntaskan genjotannya hingga peju-peju meyeruak keluar. Sampai lupa, apakah pasangannya merasakan sakit atau justru belum orgas tapi si batang udah dicabut.

Lagi-lagi psikoanalisa berhasil membuka gerbang pengetahuan ini. Saya ingat bagaimana sejak kecil selalu diajarkan bahwa laki-laki itu selalu lebih, lebih dan lebih daripada perempuan. Baik yang diajarkan dan dibiasakan oleh keluarga atau lingkungan sekolah. Imbasnya, laki-laki maupun perempuan terjebak dalam hegemoni patriarki yang tak pernah selesai. 
Duo pakdhe psikoanalis idaman ibu-ibu arisan Kencana Bakti. (Source: wall.alphacoders)
A Dangerous Method boleh jadi memiliki judul yang terkesan ngeri. Namun, dalam eksekusinya justru kita akan disuguhkan perbincangan berbobot yang mengagumkan. Bisa jadi untuk yang lebih suka film aksi dan horor akan bosan menonton film ini. Sepanjang durasi kita hanya akan disuguhkan tiga orang itu ngobrol-ngobrol. Aktor dan aktris yang bermain dalam film ini memiliki peforma yang luar biasa. Bahkan Viggo Mortensen menurut saya berhasil memberi kesan egois, idealis, cerdas dan berkelas dalam sosok Sigmund Freud. Keira Knightley pun tampil bagus saat menjadi orang gila, bahkan rela memperlihatkan es krim imutnya kepada penonton. Demikian pula dengan Michael Fassbender yang turut sukses menarik perhatian penonton ke dalam semesta Carl G. Jung sebagai poin of view dalam film ini.

Menurut saya A Dangerous Method menjadi penting dan perlu ditonton. Seperti kamu yang tiba-tiba menjadi penting dan perlu dicintai. Meski jika dikejar apa alasan untuk mencintai itu sudah pasti tidak berhasil ditemukan. Sebab semesta bermain dengan cara-cara abnormal. Freud pun sudah tentu kesulitan untuk menafsirkan guratan-guratan angan kita yang tidak pernah selesai. Atau Sabrina dan Jung yang memilih menggerutu iri di balik asyiknya sengatan cambuk yang meronakan pantat ginuk-ginuk.

Tarakdungdes.


Intinya A Dangerous Method ini film yang bagus. Sebaiknya disaksikan dengan kecermatan yang tajam agar tidak bingung. Selamat menikmati filmnya. Makasih sudah menyimak. Cheers.

16 komentar:

  1. KOK AKU MAU NJERIT-NJERIT YA BACA INI DARI AWAL SAMPE AKHIR? HAHAHA
    Jadi ingat kuliah teori sastra. Di sanalah pertama kali aku tau dan jatuh hati pada Freud dengan teori psikoanalisisnya. Cerita yang membuka tulisan ini pun sempat disinggung oleh dosenku saat menjelaskan. Duhlah, mau nonton banget ini rasanya. Butuh jalan-jalan, butuh wifi....
    Eiya, es krim imut? Hem, kok jadi ingat postingan Yoga, ya? -____-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serem njir, sampai jerit-jerit. Tapi hambok ya sebaiknya dikirim via vn dengan hasil yudisium yang terjulur!

      *stiker halahnya dian*

      Lha emang yang dimaksud es krim di situ ya itunya Yoga. Wuahaahha

      Hapus
  2. "...belagak main perkusi pakai meja" Anjing kalimat paling tai ini. Hahaha.

    Kalau di ranah sosiologi, nama Carl Jung justru lebih populer dibanding freud. Teori Integrasi dan Kebersamaan-nya masuk akal banget. Eh kisah cinta reny ayudita & ilham termasuk masokis gak? Jawab yah.

    Oiya, saya masih bingung nih sama definisi masokis moril di atas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. PASTI ELU PERNAH KAN ??!!

      Yaiyalah masuk akal, tak juotoss lho. Hmm.. masokis sih enggak. Cuman masok dikit plus kiss.

      Namanya juga 'seucrit' wahahahaha

      Hapus
  3. (((ES KRIM IMUT)))

    Duh. Ketawa ngakak aku. =))

    BalasHapus
  4. Film yang lumayan berat dan perlu analitis yang ekslusif agar menghasilkan cernaan yang spekulatif.
    Oiya, benar juga di rezim patriarki kita sering dihadapkan dngan stigma parameter kepuasan ena2 selalu dititik beratkan pada laki2. Sbenarnya ini menguntungkan kita. Jadi gk usah dipermasalahkan. Selagi itu wenaak tenan yaa panten oyee (ini artinya apasih)

    Oiya, film ini film biopik ya ham? brarti smua yg ada di film itu bneran trjadi dong? wah, gmana ya nasibnya jung dan istrinya itu klo kdapatan berhbungan kek gtu sama si sabrina.

    Pesan moral film ini mngajarkan pada kita bahwa, jika ingin bermain perkusi baiknya kita hati2 dan melihat keadaan dulu. Jngan smpai disekeliling pemain perkusi ada pengidap masokis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, aku sih tidak setuju, Mas Reiy. Meski laki-laki diutungkan, bukan lantas aku pilih menikmati sambil cekikikan. Karna hidup tidak melulu soal untung dan rugi ;)

      Iya, aseli. Mau tau kelanjutannya? Sering-sering nonton incest investigasi.

      ITU BUKAN PESAN MORAL FILMNYA! TAPI REVIEWNYA! BIJINGEK

      Hapus
  5. BIANGJINGAAAAAAK. REVIEW-MU ITU LHO, HAM. PEJU-PEJU MENYERUAK. ANJEEEER.

    Ternyata ada yang lebih dulu mengangkat soal masokis ya daripada Fifty Shades of Grey. Yaitu film ini. Dan ya, aku juga selalu tertarik sama bahasan psikologi. Malah lebih tertarik kalau disajikan lewat film. Apalagi kalau filmnya ada nampilin es krim im.... LOH KOK JADI GINI, BOS?

    Dan ya, aku senyam-senyum sih pas baca kalimat masokis moril. Yha. Yha. Yha. Kayaknya aku ini masokis moril deh :'D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, Fifty Shades of Grey itu bukan barang baru. Karna yang baru itu cukup batrei remot tv. Selain itu, fana.

      N G A K U - N G A K U

      Hapus
  6. ampun ya allah.
    tontonan ilham :(
    ampuni ilham ya allah...

    BalasHapus
  7. masokis apaan sik? wkwk. serem yak bawa-bawa pantat :o

    BalasHapus
    Balasan
    1. Merasa senang atau terpuaskan jika mengalami luka-luka. :o

      Hapus