3 November 2017

Remang-Remang Nonton Teater Umang-Umang



Siang itu sang surya teramat membakar, tampaknya ia marah dengan raut wajahku yang dingin tatkala keluar dari Stasiun Cikini. Udara Jakarta memelukku begitu panas. Hingga kerongkongan Soloku terasa begitu haus. Ya, barangkali begitulah contoh ketika Fandy mengawali tulisannya. Wkwk.

Narasi di atas adalah penggambaran dari kejadian yang saya alami pada 19 Agustus 2017. Masih teringat dalam berangkas memori saya ketika sebotol Soya Bean saya tenggak sembari menunggu sang kekasih, Tiwi, di Stasiun Cikini.

Sambil menunggu Tiwi datang, saya akan ceritakan rencana kami melewati malam minggu itu. 


Jadi, kami akan menonton pertunjukan teater yang diadakan di gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM). Pementasan dengan lakon Umang-Umang ini diselenggarakan oleh Bengkel Sastra yang tak lain dan tak bukan adalah teman-temannya Tiwi di UNJ. Syukurlah kami berdua mendapatkan tiket untuk menontonnya karena sepertinya pertunjukan ini begitu diminati banyak orang.

Eits, ternyata tak butuh waktu lama untuk menunggu kemunculan Tiwi di depan saya. Seperti biasa, ia memamerkan cengar-cengir manisnya dahulu sebelum menenggak minuman kemasan yang saya bawa. Tapi ternyata Soya Bean bukanlah minuman yang pas untuk seleranya.

Ketika mendapati fakta bahwa minuman favoritku ternyata bukan favoritnya, kok rasanya aku ingin beli kaos sarimbit yang tulisannya, “Lucky to find her.”

Selepas berbincang sedikit soal Soya Bean, kami memutuskan untuk segera keluar dari stasiun dan mencari makan siang. Tak perlu menunggu waktu lama bagi mata elang saya untuk menangkap tulisan “Sate Padang” di pinggir jalan. Maka jadilah kami berdua makan sate padang dengan setengah porsi untuk masing-masing.

Berbekal sate padang yang memenuhi perut, kami berdua segera saja berjalan menuju TIM dengan sekuat tenaga. Ngos..ngos..ngos.. Sepasang kekasih yang menganaktirikan kegiatan olahraga ini pada akhirnya sampai di TIM meski harus dilalui dengan sempoyongan. 

Untunglah hari masih sore, sementara pementasan teater dimulai pukul 7 malam. Maka jadilah saya dan Tiwi berbincang-bincang dahulu di sepanjang momentum senja di langit Jakarta.

Menyenangkan.

From anythingjakarta.com
Langit semakin menghitam. Gedung Teater Jakarta semakin ramai. Tiwi mulai memperkenalkan saya pada beberapa teman-temannya. Entah ada berapa teman yang Tiwi kenalkan ke saya. Saya tak sempat menghitungnya karena kepala dan hati saya sibuk merekam momentum bahagia yang tertuju pada wanita yang sorenya makan sate padang bersama saya.

Pintu teater dibuka. Para manusia berduyun-duyun memasuki ruangan teater. Sementara dua alien, Ilham dan Tiwi, lebih memilih untuk...ya masuk ke ruang teater juga, lah. Lapo gur meh tengak-tenguk njobo, Tjuk.

Fyuh, akhirnya pantat terbaik kami mendarat di kursi yang ergonomis untuk keperluan nonton. Posisi kami nonton saat itu ada di tribun bawah, pojok kiri atas. Ya, kalau dalam hierarki perbioskopan, posisi bangku di pojok atas adalah area khusus bagi mereka sepasang kekasih yang ingin bersentuhan secara intensif nan agresif. 

Tapi hal itu tidak berlaku bagi kami. Nonton ya nonton. Ena-ena ya ena-ena. Dua mazhab ini berdiri sendiri dan kurang ajar betul kalau dicampuradukan. Ouyeaah.

Maka jadilah kami berdua menyaksikan pementasan teater Umang-Umang dengan khusyuk meski sesekali penonton masbuk mengganggu pandangan.

From wakarsas.com

“Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah menodongku, dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan. Maka kutodonglah kekayaan dan makanan!”
Orasi tersebut menggema ke seluruh ruangan yang menandakan dimulainya pertunjukan teater Umang-Umang. Saya akan mencoba sedikit mengulas cerita Umang-Umang yang saya saksikan ini. Ehm, jadi begini.

Kisah ini berangkat dari seorang bos preman bernama Waska yang sudah sangat muak dengan penderitaan yang ia alami bersama kawan-kawan jalanannya. Akhirnya, ia membuat sebuah rencana besar untuk menggulingkan kekuasan. Waska dan komplotannya hendak menenggelamkan kekayaan yang selama ini hanya mampu mereka pantau dari kejauhan. Ya, rencana besar itu adalah perampokan akbar.

Akan tetapi, sebelum mereka menjalankan rencana itu, tiba-tiba saja tubuh Waska berhenti bergerak. Ia tidak mati. Ia diam membatu seperti stabilizer camera beli di Tokopedia.

Apa yang menimpa Waska saat itu membuat komplotan perampok, Umang-umang, kebingungan. Meski terdengar mistis karena tiba-tiba Waska membatu, namun di dunia nyata musibah itu ternyata pernah dialami oleh Ibu Sulami, warga Sragen yang tubuhnya membatu selama 23 tahun.

Umang-umang yang banyak nakal sedikit akal itu lantas merujuk kepada dukun sakti untuk mengobati Waska. Melalui dukun Albert, umang-umang mendapatkan resep yang dipercaya jitu menuntaskan fibrodysplasia ossificans alias penyakit membatu.

Resep yang diberikan sangat merepotkan. Yaitu, ekstrak jantung bayi!

Konon, satu jantung bayi akan memberi keabadian selama satu generasi bagi siapa yang meminumnya. Karena keserakahan, dua umang-umang yang bernama Ranggong dan Borok justru mengambil 12 jantung bayi yang mereka gali dari kuburan.

Keduabelas jantung tersebut dibagi rata untuk tiga orang, yaitu Ranggong, Borok, dan tentu saja Waska. Singkat cerita, Waska benar-benar sembuh dari kekakuan yang menjalari tubuhnya. Lebih dari itu, kini ia dan dua kawannya mendapat tiket untuk hidup abadi selama empat generasi.

Akhirnya, rencana besar dijalankan. Perampokan terjadi di mana-mana. Scene ini salah satu yang saya suka, keriuhan aksi para perampok ini benar-benar terasa gilanya. Mau bagaimana lagi, mereka ngerampok, ketawa-tawa, dan saya yang nonton justru ikut senang. Pret-kam sekali itu.

Saya lanjutkan ceritanya, ya. Eh, sebelumnya, saya mau nengok ke arah Tiwi dulu. Sudah kuduga, matanya berbinar-binar lengkap dengan senyum yang melengkung manis. Dalam hati lagi-lagi saya menggumam, “Lucky me.”

Baiklah sekarang mari kita benar-benar lanjutkan kisah Ragnarok lagi. Ragnarok? Iya, akronim dari Ranggong, Waska, dan Borok. Wkwkw.. Humor zaman kapan nih?

Ehem, begini, ketiga manusia abadi itu akhirnya frustasi, puyeng, depresi. Teman-teman seperpremanan mereka sudah pada meninggal, sementara mereka masih hidup. Uniknya, mereka bertiga hidup masih dalam cengkraman kemiskinan!

Ketika Ragnarok-wkwkw- ini dirundung kepiluan atas nasibnya yang hidup abadi, tiba-tiba mereka melihat orang-orang yang mirip sekali dengan kawan umang-umangnya dulu. Tapi sayangnya itu bukanlah seperti yang mereka kira. 

Setelah dikonfirmasi akun UnclickBait, ternyata orang-orang itu adalah cucu dari umang-umang generasi Waska yang mana tidak ada satupun yang mengenali sosok Ragnarok tersebut.

Waska, Ranggong, dan Borok lagi-lagi berduka cita atas hidup mereka. Berkali-kali mencoba untuk bunuh diri pun ternyata tidak bisa. Mereka cuma merasakan sakitnya saja, tapi tak kunjung mati.

Begitulah kurang lebih, kisah sarat makna yang saya nikmati dalam pementasan teater Umang-Umang. Jujur saja, ini adalah teater terbaik yang pernah saya tonton. Dari segi cerita menarik, semua akting lakonnya bagus, kostum, properti, lighting juga tidak kalah bagusnya. Demikian juga dengan aransemen musik yang digaungkan, porsinya pas dan mampu mendukung suasana tiap adegan yang dibutuhkan dalam pementasan ini.

Dari kisah Waska dan kawan-kawannya ini kita diajak untuk melihat bagaimana kemiskinan adalah problematika yang rumit. Dibukanya banyak lapangan pekerjaan dan merebaknya pakar motivasi tidak serta merta mampu menyelamatkan masyarakat dari kemiskinan. Apalagi sumbangan dan subsidi, lha wong hasil jarahan saja tetap tidak sanggup memperkaya mereka.

Ada celah kecil yang berkaitan antara kemiskinan dan korupsi. Keduanya sama-sama bisa diciptakan dari sistem. Karena sistem, seseorang mau tidak mau bisa jadi korupsi. Karena sistem pula, seseorang terima tidak terima bisa dimiskinkan.

Malam semakin larut. Pementasan apik itu sudah selesai. Saya dan Tiwi harus segera pulang sebelum kehabisan kereta. Sayang sekali kami berdua belum sempat mengabadikan momen itu dalam wujud foto. Cahaya ruang yang remang-remang tidak bagus jika ditangkap dengan fitur kamera pada gawai kami. Huh, jika saja saya memiliki kamera mirrorless terbaik pasti akun instagram saya akan dipenuhi foto-foto pamer untuk merayakan malam itu.

Tapi ya sudahlah. Meski tak berfoto, kami sudah merasa puas dengan malam minggu itu. Lha mau bagaimana lagi? Sebagai pelaku LDR yang kaffah tentu saja ritus malam minggu bareng kekasih adalah titik capai yang mesti dilakoni, tho.

Syukurlah kami berdua bisa mendarat di kasur masing-masing setelah itu. Tiwi di rumahnya, dan saya numpang di kos-kosan teman. Kami sempat bericikiwir dulu melalui text sebelum masing-masing mata terpejam.

Umang-Umang dengan semua yang saya saksikan masih membayangi pikiran. Ah, barangkali memori itu bisa diputar kembali di alam mimpi. Saya memutuskan untuk tidur, mengunci kenangan malam itu beserta rapalan doa agar ada malam-malam menyenangkan lain yang bisa saya lalui bersama Tiwi.


*
Terima kasih atas undangannya buat nonton Umang-Umang, Sayang. Saya akan balas kamu dengan pementasan lain yang tidak kalah serunya.

31 komentar:

  1. Lucky to find you too, Ncyt!

    Terima kasih juga sudah datang dan menemani aku nonton teman-teman. Terima kasih juga rangkaian wisata artsy kemarin. Ditunggu yang lainnya! Hal yang menyenangkan jadi makin menyenangkan ketika ada kamu di dalamnya. Eaaaaa~

    Dah romantis belum, nih? Wkwkwk icikiwir!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Icikiwir! Hahahaha. Sudah, romantis mulu kamu, sampai aku kelimpungan menyembunyikan muka tersipu.

      Hapus
  2. Terima kasih juga sudah menuliskan aktivitas kalian yang nonton bareng walaupun saya sendiri ndak ikut nonton. Ndak diajakin sih ya...


    CUK "Baiklah sekarang mari kita benar-benar lanjutkan kisah Ragnarok lagi. Ragnarok? Iya, akronim dari Ranggong, Waska, dan Borok. Wkwkw.. Humor zaman kapan nih?"

    IKU HUMOR MACAM PRIBUMI MANA?!

    Fyi Ham, sedikit nganu.. stabilizzer kuwi kudune z e siji. Ora stabilizzer, tapi stabilizer. Bener po ra sih? #KemudianMasalah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Guyon akroniman adalah spiritnya dagelan. Jangan remehkan itu, wahai anak tua.

      Bener kowe. Wes tak koreksi. Thankies!

      Hapus
  3. bengkel sastra UNJ emang keren banget ya apalaggi dibawah bimbingan bunda Helvy. Dulu mereka pernah pentas di Aceh juga. aku pernah jadi pemeran pembantu waktu itu.

    BalasHapus
  4. Lhaa ini tumben-tumbenan "TJUK" nya hanya 1 kali dalam tulisan Hamtiar.
    Aku sempet takut...apa penulisnya sedang sakit...??
    Ternyata iya.
    Sakit cinta.

    ((eaaa...eeaa...lalu akunya baper))
    Bikin novel giih...kalian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata kebrutalan kata-kataku masih terekam di memorimu, ya, Mbak. Duh, padahal sudah dikit-dikit mlipir dari kebiasaan nulis kazar. Wkwkw. AMINN

      Hapus
  5. Seru banget cerita malam minggu dua sejodoh ini :D..

    Sejatinya diri ini iri pada kalian yang bisa malam mingguan bebas tanpa beban.. kapan saya bisa keluar malam mingguan dengan tambatan hati


    Tolong Baim ya Allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika doamu terkabul, yang ditolong ya Baim, Mas. Bukan sampeyan. Wwkwkwkw

      Hapus
  6. lucu ya namanya

    "Teater uamang-umang"

    aku malah jadi ngebayangin umang-umang ke sedang keliaran di pinggir pantai lho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa juga di pinggir pantai tau-tau. Bahahak

      Hapus
  7. Sayang enggak ada foto pementasannya yah. Aku suka nonton teater, pernah main jg jaman sekolah. Rata2 komedi sih

    Kalau yg ceritanya serius pernah juga dan salut dg pemain krn teater itu harus total gak kaya sinetron

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaiyalah, nggak kayak sinetron. Wahaha. Iya nih sayang sekali tidak ada fotonya. Perlu jajan dulu di Tokoped.

      Hapus
  8. aku tadi bingung, Tiwi ini ada beneran nggak sih? =) eh ternyata ada yang komen paling atas sendiri. cieh so sweet banget. saya 1 kalo nonton teater di TIM, besutan anak UI kalo pas itu, seru sih, keren lah bisa pentas di TIM dan mmg banyak peminatnya

    BalasHapus
  9. Sayang sekali tadi mampir ke tiwi ternyata masalahnya karena kurang cahaya jadi gak bisa ambil gambar yah. Padahal penasaran adegannya. Oh yah berarti hamtiar temen seangkatan tiwi yah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, kok gini, ya. Aku bukan temen seangkatan Tiwi, Mas. Emang barbel apa? Angkat-angkat. #Oposeeeh hahaha

      Hapus
  10. Wah ..pertunjukan teaternya menarik ya..ceritanya bagus. menceritakan orang-orang yang ingin hidup abadi dan masalah kemiskinan. Masalah yang paling banyak terjadi dan dialami oleh anak bangsa ini.

    BalasHapus
  11. teater umang umang lucu namanya yaaah unik gtu.. remang remang pula hmmm wkwk.

    bericikiwir itu kek manaaa cobaaa wkwkw bahasa anak zaman kapan nih bericikiwir? 😝

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang kenapa kalau remang-remang, Nda? Wwkkww

      Hapus
  12. UwaaaAaaa untung yang kubaca tulisannya kak tiwi dulu, terus ke blog kak ilham, ngerasain ceritanya berlanjut tipis2
    Ihiiir


    Padahal kalo dua mahzabnya digabungin kan sueruuuu 😁😁


    Kudoian untuk disegerakan deh pengabulan doa / pesan singkat yang terakhir

    BalasHapus
  13. Ah iya. Menonton teater di TIM emang beda banget rasanya ya. Soundnya ngena. Jadi bisa mengayati deh. Teater umang-umang pula.

    Uwoo apalagi mas Ilham nontonya bareng tambatan hati. Ihirrr.

    BalasHapus
  14. Kalian berdua couple yang sangat cocok sekali ya. Romantisnya juga beda, nonton teater. Semoga LDR nya langgeng ya. Ikut seneng baca tulisan kalian berdua.

    BalasHapus
  15. Duh ikut senang liat kebahagiaan sepasang kekasih yg LDR lalu ketemuan trus jalan bareng dgn aktifitas menyenangkan.jd keingat masa lalu hahaha
    Btw.. Nonton teater itu asyik..
    Sy jg penikmat seni
    Sy suka teater dan kagum dgn pemainnya yg mampu tampil live dgn baik

    BalasHapus
  16. Pesan moral dari pertunjukan teater umang-umang ini memang luar biasa. Setuju banget karena sebenarnya untuk mengatasi kemiskinan, bisa dimulai dengan memperkaya mentalnya dulu. Kalau udah bermental kaya, disana pasti ada karakter untuk selalu berusaha dan kerja keras. Tapi kalau mentalnya miskin, biasanya ambil jalan pintas yang salah.

    BalasHapus
  17. Fandhy ada di mana pun kayanya wkwkwk. Kapan ke jakarta lagi? Pengen liat kmu sama tiwi icikiwir hahahah

    BalasHapus
  18. Gak pernah main teater..., Minat mungkin ada sedikit..tapi kurang tersalurkan namanya juga di daerah... Untuk ngembangin bakat susah...

    BalasHapus
  19. Begitulah Fandhy dengan ciri khasnya. :))

    Saya yang tinggal di Jakarta malah nggak pernah nonton teater di TIM. Tiap ke sana malah kopdar sama bloger regional Jabodetabek. Wqwq.

    Makan jantung bayi, tega amat. Jadi inget sempet ada berita bayi yang dijadiin sup. :')

    BalasHapus