21 Maret 2016



Sejak Februari kemarin telah rilis sebuah film terbaru karya Joko Anwar, A Copy of My Mind. Layaknya Joko dalam film-film sebelumnya, kali ini ia (tentu) menyajikan karya yang benar-benar keluar dari tema-tema mainstream. ACMM adalah representasi kehidupan anak muda ‘susah’ di tengah Ibukota.

Sepasang kekasih yang tak biasa antara Alek (pembuat teks film bajakan) dan Sari (pekerja facial) yang sangat lugu, intim dan hyper ini sudah tentu tak terpikirkan dalam film Indo pada umumnya. Alek menjadi sosok yang amat dekat dengan kita mengingat sebagian besar dari kita pernah menyaksikan film bajakan dengan teks terjemahan yang jelek. Dan Sari dekat bagi mereka kaum perempuan karna pekerjaannya bersinggungan dengan eksistensi wanita sebagai simbol kecantikan duniawi.

Hubungan intim yang sering dikaitkan dengan film sampah tidak berlaku dalam ACMM. Berbeda dengan film-film Jupe yang kalau ada pakaian seksi dan adengan seks maka film itu terklaim ‘film sampah’ oleh masyarakat. Adengan seks menjadi mise-en-scene yang memang diperlukan dalam film ini. Seks bukan menjadi simbol gaya hidup glamor seperti NM dengan lingerie-nya dalam film....entahlah. Disini seks menjadi satu-satunya kenikmatan bagi mereka yang terhimpit sulitnya hidup dan enggannya mati. Adegan seks yang tidak didramatisir seperti adanya slow motion dan senandung lagu cinta membuat adegan ini lebih bermakna, apa adanya dan dingin.

Selain adegan seks yang tak perlu diwaspadai, adapula sisi religiusitas yang disinggung dalam ACMM. Seperti kumandang adzan subuh yang tidak lagi menjadi simbol panggilan sholat, tapi menjadi alarm gratis bagi Sari. Baginya kumandang adzan adalah saatnya bangun tidur agar bisa buruan antri kamar mandi mengingat ia tinggal di kos-kosan berpenduduk 100 dan berkamarmandi 10. Bagian adegan tersebut mengisyaratkan secara lugas betapa tidak ngefeknya kumandang adzan yang bersahut-sahutan jika manusianya tidak lagi memaknai seperti layaknya maksud adzan itu sendiri. Lebih radikal lagi terdapat scene saat Alek coly lalu serta merta digertak dengan kumandang adzan dari toa mesjid.

Tokoh Alek dan Sari adalah kita. Kita banget! Alek diceritakan tidak memiliki ktp, sim dan handphone, Alek adalah sosok tak beridentitas. Ia tinggal di kos yang ibu kosnya tidak pernah bicara. Alek adalah cerminan kita. Warga negara yang tidak terekam eksistensinya tapi sejatinya ia ‘ada’.

Sedangkan Sari pun demikian. Adalah pekerja yang berangkat pagi pulang sore. Adalah pekerja yang tidak nyaman dengan pekerjaannya tapi tak ada pilihan lain. Pekerja yang tidak mengikuti passion tapi bisa ahli dengan pekerjaannya. Sari adalah simbol ketidakberdayaan yang lari dari hidupnya dengan menonton film, sayangnya film bajakan, sebab Sari adalah kita yang tak mampu membeli eksklusifitas dan harus menikmati layanan kelas bawah yang tentu saja tak memuaskan.

Keadaan tersebut semakin tampak ketika Sari terlibat jauh dengan kasus suap antara pengusaha dan pejabat negara (capres bro). Tak pandang bulu, siapapun orangnya dan bagaimanapun hidupnya, semua yang membahayakan kaum penguasa harus disingkirkan. Begitulah kira-kira nasib Alek dan Sari. Ketika cinta membuat kebosanan mereka hilang kini kematian menunggu di depan pintu kosan.
A Copy of My Mind harus jadi film yang pernah anda tonton, bukan tentang 'bangga film Indonesia' tapi karena memang bagus.
Nilai kehidupan yang paling aku suka dalam film ini adalah saat Alek menasehati Sari untuk jangan memilih film bajakan yang ada tulisan “combo format”, sebab (menurut Alek) combo format adalah film yang sudah berkali-kali di-copy, jadi kualitas gambarnya makin buruk. Demikian juga dengan kita bukan? Kalo terus menerus meng-copy orang lain hingga lupa siapa diri sendiri, lama kelamaan kualitas kita akan memburuk, dan mungkin saja hilang. Kehilangan jati diri, sikap, pemikiran dan kemerdekaan diri.

16 Maret 2016



Bagi saya, menulis adalah sebuah imajinasi masa depan. Saya sering melihat diri saya sendiri menjadi seorang penulis di kehidupan yang akan datang. Namun, akankah hal itu menjadi nyata? Berikut cerita saya:

Saya sudah mengenal dunia baca-membaca sejak kecil. Pada saat mengenyam pendidikan di bangku SD saya selalu membaca komik setiap liburan datang. Saya membaca 2-3 komik perhari, lantaran di seberang rumah saya ada persewaan buku.

Saya memiliki penghasilan dari ‘fitrah’ lebaran, tidak tanggung-tanggung uang yang saya kumpulkan bisa mencapi ratusan ribu rupiah pada masa itu. Jumlah itu sangat cukup bagi saya untuk menyewa komik-komik setiap libur sekolah datang. Saya tidak pernah membelanjakan uang yang saya kumpulkan untuk keperluan lain selain menyewa komik.

Kebiasaan saya membaca komik masih terbawa hingga SMP. Sayangnya, saya sudah jera menunggu komik-komik baru yang tak kunjung disediakan persewaan komik langganan saya. Sebab, hampir ratusan komik sudah saya baca di persewaan itu. Modal nekat, di hari minggu saya menaiki bus kota menuju toko buku Gramedia yang berjarak 30 menit dari rumah. Turun dari bus pun saya masih harus berjalan kaki 15-20 menit untuk sampai ke lokasi. Itu saya lakukan sendirian hampir di setiap minggunya. Untuk apa? Tentu saja memuaskan hasrat saya membaca komik.

Beranjak dewasa bacaan saya beralih dari komik ke novel. Kekaguman saya terhadap novel mungkin berawal dari novel yang sangat mainstream, yaitu Harry Potter. Awalnya saya ragu, apakah saya betah membaca buku setebal itu. Namun begitu saya memulai, saya tidak bisa berhenti. Belakangan saya tahu, ini candu!

Menginjak usia SMA, saya menjadikan Gramedia sebagai tempat pelepas penat yang paling ampuh. Kehidupan SMA saya terbilang sangat sibuk lantaran saya hampir mengikuti semua kegiatan organisasi sekolah, bahkan beberapa diantaranya menempati posisi yang ‘sok’ penting. Maka saat jenuh datang, saya selalu lari ke Gramedia. Apalagi sejak saya bisa dan diperbolehkan membawa motor sendiri, dolan ke toko buku adalah hutan wisata yang sangat menyenangkan bagi saya.

Saya tidak punya cukup uang untuk membeli sebuah buku. Alhasil, saya hanya membacanya dari sampel buku yang disediakan oleh pihak toko buku. Entah itu sampulnya yang buka petugas atau tangan-tangan jahil para pengunjung. Tapi hingga saat ini, saya belum pernah membuka sampul tanpa ijin di toko buku, bahkan jarang memintanya pada petugas.

Memasuki perguruan tinggi, dosis candu saya terhadap buku semakin menggila. Aroma Gramedia, sengatan AC-nya dan tumpukan-tumpukan buku membuat adrenalin saya memuncak. Saya selalu gemas dengan buku-buku. Tak henti-hentinya tangan saya nggremeti mereka. Bahkan saya sering berdiri mengamati rak-rak buku di satu titik selama bermenit-menit. Di tempat itulah saya merasa jadi diri saya sendiri.

Bahan bacaan saya semakin beraneka ragam. Mulai novel-novel ringan hingga karya-karya sastra yang susah dicerna. Mata saya juga mulai terbuka dengan buku-buku psikologi populer yang sempat menggiurkan. Namun, belakangan saya mulai menyukai membaca buku-buku sejarah, kebudayaan, filsafat dan sejenisnya.

Semakin banyak membaca, saya semakin sadar akan kebodohan. Saya semakin mawas diri sebelum berpendapat atau sebelum menyalahkan argumentasi orang lain. Saya semakin banyak diam ketika terlibat dalam obrolan serius. Sebab saya tahu, banyak ilmu yang belum saya kuasai. Banyak membaca membuat mata saya terbuka, tapi mulut tertutup.

Kini, saya membaca hampir berbagai jenis buku. Tidak ada buku yang tidak saya sukai. Sayangnya, saya harus ingat pada realitas. Saya tidak bisa menghasilkan uang hanya dengan membaca buku, setidaknya untuk saat ini.

Maka yang muncul dibenak saya akan sebuah pekerjaan atau karir adalah tentang menjadi seorang penulis. Saya ingin menulis apa yang ingin saya baca. Banyak ide-ide muncul dengan gemilang. Bahkan saya bisa menulis buku saya dalam imajinasi selama berhari-hari. Tapi tidak di dunia nyata.

Dalam imajinasi, saya menciptakan karakter, membuat plot, menyusun cerita, meletakkan konflik, meledakkan emosi hingga menamatkan cerita. Bahkan pernah beberapa kali saya membuat cerita sedih, saya sendiri sampai menitikkan air mata, padahal saya belum mulai menulisnya. Yang paling parah adalah cerita-cerita superhero. Selama berhari-hari saya cuma menatap tembok kamar dan mengimajinasikan cerita dari awal hingga akhir. Hingga menyusun sejarah tiap karakter sampai detail kostum semua bersorak riang di ruang otak saya.

Kesulitan saya adalah merubah gambar-gambar dalam otak menjadi susunan bahasa yang tangguh diatas kertas. Saya selalu berharap memiliki mentor, memiliki ruang dan waktu yang sangat mendukung apa yang ingin saya lakukan. Meski saya sadar, saya terlalu manja.

Saya tidak pernah benar-benar memulai menulis. Saya mencoba nge-blog untuk melatih dan merangsang sense of write saya, sepertinya tidak terlalu memberi kemajuan yang signifikan. Saya mulai kecewa. Larut dalam keterpurukan yang dalam. “Love what you do, do what you love” ternyata tak mudah. Ah benar saja, tak ada hal besar yang mudah diraih.

Lalu saya kembali pada candu saya yang lama, yaitu membaca. Saya semakin giat membaca dan tergila-gila membeli buku-buku. Semakin banyak membaca, saya merasa semakin dekat sekaligus jauh dengan cita-cita saya menjadi penulis. Belakangan saya berpikir, mungkin menjadi penulis hanyalah obsesi. Ambisius menjadi penghalang bagi saya untuk benar-benar menjadi penulis. Tanpa disadari, saya tidak menulis dengan rasa suka. Saya menulis dengan beban yang begitu berat.

Saat tulisan ini saya tulis, sudah berapa banyak ide-ide yang berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Saat ini saya sedang asyik-asyiknya membaca buku-buku, hingga lupa tidak pernah lagi nge-blog. Hasrat saya untuk menjadi penulis tak sebesar dulu, meski harapan itu masih ada, sepertinya.