Tampilkan postingan dengan label Batin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Batin. Tampilkan semua postingan

30 Oktober 2019


Sebagai warga ibukota, saya selalu berkutat dengan kemacetan dan panas yang menggelora. Apalagi, mobilitas saya didominasi oleh kendaraan roda dua. Hal ini membuat saya harus selalu berhadapan dengan asap knalpot dan terik matahari.

Mungkin memang ini resiko paling basic bagi penduduk di negara beriklim tropis. Sebelum saya merantau pun saya juga kerap mengalami tekanan panas yang tidak berbeda jauh dengan ibukota. Meski Solo cukup gencar melakukan penghijauan kota, lagaknya hal itu belum bisa mengatasi efek rumah kaca yang kian mengamuk seperti sekarang ini.

Nah, pengalaman saya sebagai pengembara jalanan membuat saya harus memutuskan untuk berkonsentrasi pada kesehatan kulit. Bukan hanya itu, saya juga ingin memiliki wajah yang cerah biar istri makin sayang. Hehehe. Maka dari itu dalam tulisan blog saya kali ini akan memberikan beberapa tips merawat kulit wajah ekstra cerah.

Tapi sebelum ke sana, kita juga perlu mengidentifikasi masalah apa saja yang rawan muncul bagi kulit kita di iklim tropis seperti Indonesia. Sejauh yang saya tahu, kulit kita sangat rentan dengan kekusaman, mudah berkeringat, sensitif, dan mudah kering. Kondisi-kondisi seperti itu akan membawa beberapa persoalan pada kulit wajah kita, seperti jerawat, terdapat flek hitam, hingga megalami penuaan dini dengan ciri kulit jadi kendur dan keriput.

Lantas bagaimana cara merawatnya? Apakah harus konsultasi atau perawatan ke tenaga ahli kulit? Ya, mungkin itu bisa jadi solusi. Namun, untuk kelas menengah seperti saya sekarang ini jelas “ongkos” menjadi pertimbangan yang harus dipikirkan berkali-kali. Oleh karena itu, tips berikut ini akan jadi pilihan yang murah bagi kamu yang ingin menjaga agar kulit wajah memancarkan cahaya-cahaya kehidupanmu yang terang itu. Eeeaaaa.

Tips Merawat Kulit Wajah Ekstra Cerah

1. Kenali suhu tubuhmu. 

Ketika badan terasa panas karena kena terpaan sinar matahari seringkali membuat kita tergiur dengan sapuan air yang dingin di kulit. Meski terasa menyegarkan, namun mengguyur kulit yang panas dengan air dingin ternyata bisa merusak kualitas kulit itu sendiri. Kulit kita bisa mengalami shock yang dapat mengubah warna kulit menjadi “gosong”. Jadi sebaiknya, biarkan tubuh kita berteduh sejenak sebelum kita guyur dengan air dingin.

2. Atasi masalah dari dalam tubuh.

Meski kulit merupakan elemen luar pada tubuh kita. Namun jenis makanan atau minuman yang masuk ke tubuh kita juga dapat berpengaruh pada kualitas kulit, lho. Salah satu yang paling sederhana adalah meningkatkan konsumsi air putih. Selain itu kamu juga bisa menambahkan konsumsi buah yang berdampak baik pada kulit seperti delima, pisang, papaya, semangka, dan kiwi.

3. Cuci muka dengan benar. 

Tentu saja cuci muka adalah cara paling basic untuk merawat kulit wajah agar terlihat cerah dan segar. Namun agar hasilnya lebih maksimal kita perlu memperhatikan beberapa detail. Misalnya kita perlu memakai air hangat ketika membasuh muka di awal tahap. Air hangat dipercaya dapat membuka pori-pori wajah terbuka agar kotoran mudah terangkat. Setelah membasuh dengan air hangat, usap mukamu dengan NIVEA MEN Extra White Dark Spot Minimizer Foam ke seluruh permukaan wajah. Saya paling suka NIVEA MEN Extra White ini karena tuntas membersikan noda hitam dan konsisten melawan kulit kusam. Jika sudah, basuh kembali wajahmu dengan air dingin agar pori-pori kembali tertutup sebelum kemasukan kotoran baru.

Cara-cara ini walau sederhana tapi saya bisa rasakan manfaatnya, lho. Tentu saja harus disertai dengan konsistensi yang tinggi. Setidaknya untuk cuci muka sendiri minimal dilakukan sehari dua kali setiap pagi dan malam. Hasil yang saya peroleh berupa kulit bersih dari flek hitam, warna kulit jadi ekstra cerah, hingga kulit terasa lebih sehat dan tidak kering.

Andalanku saat melawan kusam

Peran NIVEA MEN Extra White di sini sangat penting karena kemampuannya yang “ngefek banget” bagi kecerahan wajah saya. Sebab produk ini mengandung Active Vit C, vitamin E, vitamin B, gingseng, ginkgo biloba, dan nutrien lain yang mampu mencerahkan kulit wajah 10x lebih baik daripada vitamin C saja. 

Kamu harus coba juga, deh. Terutama untuk pria-pria bermotor yang setiap hari kenyang dengan polusi urban. Aroma NIVEA MEN Extra White ini juga segar dan terasa sangat elegan, lho. Saya langsung pede ke mana saja, asal ada NIVEA MEN Extra White di dalam tas saya.

Demikian tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaaat buat semua. Terima kasih sudah membaca sampai habis. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya, ya. Salam!

Photo by samer daboul from Pexels

13 September 2019

mengungkapkan perasaan


Mengekspresikan rasa kasih sayang kepada pasangan juga butuh variasi. Masa mau terus-terusan bilang, “I love you” aja? Masih banyak kalimat lain yang bisa kamu pakai untuk mengekspresikan rasa cinta. Mungkin kamu perlu mengutip kata-kata romantis dalam film, lagu, puisi, atau lebih baik lagi kamu buat sendiri.

Seberapa penting kah mengekspresikan rasa kasih sayang? Jelas penting sekali.

Kita tidak bisa meminta orang lain, termasuk pasangan, untuk mengerti isi hati kita jika tidak pernah diekspresikan. Meskipun kita menyayangi seseorang secara tulus, tapi ketulusan itu belum tentu dirasakan oleh orang yang dituju, lho. Maka agar orang yang dituju pun merasa disayangi, sebaiknya kita mau berupaya buat menunjukkan ekspresi cinta tersebut.

Nah, jika kamu bingung mau mulai dari mana, beberapa tips berikut ini sebaiknya kamu simak sampai selesai. Karena siapa tahu, salah satu tipsnya sangat cocok untuk kamu terapkan.

1. Bikin Sesuatu

Setiap orang pasti memiliki kecenderungan menyukai sesuatu, kan? Nah, kamu harus tahu betul apa yang pasanganmu sukai. Lalu luangkan waktumu, mungkin sisihkan uang jajanmu juga, kemudian carilah ide untuk membuat sesuatu yang berkaitan dengan apa yang dia sukai itu.

Membuat sesuatu untuk pasangan dengan keringat sendiri akan memberikan makna yang lebih dalam. Kamu bisa membuat lagu, video, benda kerajinan, gambar, pernak-pernik, dan masih banyak lagi. Terlebih lagi jika kreasimu sesuai dengan hal-hal yang dia sukai. Saya yakin, hubungan kalian akan semakin hangat.

2. Kerjakan Sesuatu

Jika kamu terlalu sibuk sampai-sampai tidak sempat membuat sesuatu untuk pasangan, maka cobalah untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan. Misalnya, ajaklah dia menonton konser dari band favoritnya, atau bawa dia ke tempat yang artistik jika pasanganmu suka hal-hal artsy.

Selain mengajaknya ke tempat-tempat yang bakal ia suka, kamu mungkin juga perlu mengerjakan sesuatu bersama-sama. Misal bikin video bareng, hunting foto bareng lalu bikin buku album kreatif, bahkan seru juga lho kalau mengikuti sebuah workshop bersama sang kekasih.

mengungkapkan perasaan
Thanks to theformfitness from Pexels

3. Beri Sesuatu

Jika kedua tips di atas belum bisa kamu terapkan, ada baiknya kamu mulai dari tips yang paling sederhana ini, yaitu berikan sesuatu kepadanya. Hadiah yang tepat untuk diberikan kepada pasangan tentu saja segala hal yang dia idamkan selama hidupnya. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa memberikan hal lain. Karena bisa jadi benda yang dia inginkan tidak murah atau susah didapatkan.

Nah, kalau budget pas-pasan tapi tetap mau romantis, berikut ini saya rekomendasikan beberapa pilihan kado yang barangkali cocok untuk kekasihmu.

- Tumbler Kopi

Jika pasanganmu seorang pekerja kantoran atau masih duduk di bangku perkuliahan, maka tumbler ada benda yang paling pas buatnya. Karena tumbler mudah dibawa, jadi besar kemungkinan kalau benda ini bakal mengiringi setiap aktivitasnya. Apalagi kalau kamu memberikan tumbler stainless yang bisa tahan panas dan dingin. Wah, dia bisa bawa minuman panas atau dingin ke mana-mana, tuh.

- Notebook

Meski perangkat digital begitu akrab dengan aktivitas manusia, namun kehadiran buku tetap mendominasi, lho. Termasuk buku catatan. Berikan padanya buku untuk menulis segala hal tentang semestanya. Bahkan jika pasanganmu suka dengan aktivitas journaling maka wajib banget kamu beri dia notebook.

- Totebag

Selain menggunakan totebag karena praktis untuk hangout, kamu dan pasangan juga bisa membantu mengurangi sampah plastik di muka bumi ini.

- Emoney

Jika di kotamu sudah banyak memakai emoney untuk keperluan transaksi, maka benda satu ini adalah kado yang tepat. Tapi jangan lupa diisi juga saldonya, ya. Hahaha.

mengungkapkan perasaan
Thanks to Elena Buzmakova(borisova) from Pexels
Nah, saya rasa itu saja tips sederhana dari saya untuk membuat hubungan kamu dan pasangan lebih langgeng. Mungkin beberapa tips ini sebenarnya sudah kamu rencanakan, tapi jangan hanya berhenti pada rencana saja. Segera ambil tindakan untuk menunjukkan ekspresi perasaanmu yang sebenarnya kepadanya.

Misalnya pada beberapa pilihan kado yang saya sebutkan di atas, kamu tidak perlu keluar banyak biaya, lho. Coba kamu cek lapak 7 Percent Store di Instagam dan Tokopedia. Ada banyak pilihan kado dengan desain yang bagus, cetakan yang jernih, material berkualitas, dan murah. Bahkan kamu bisa mencetak nama pasanganmu pada produk yang kamu beli juga, lho.

Semoga tulisan ini membantu kamu, kamu, dan kamu yang sedang memikirkan caranya mengungkapkan perasaan kepada orang tersayang. Terima kasih sudah membaca dengan khidmat.


 Thanks to Giftpundits.com from Pexels

26 Juli 2019



Saya pernah mengalami sakit mata yang teramat serius. Saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya tidak ingat berapa usia saya kala itu, tapi saya tidak pernah lupa bagaimana masa-masa itu teramat menyakitkan bagi saya dan teramat menyibukkan bagi ibu saya.

Entah sudah berapa banyak biaya yang dikeluarkan orangtua saya untuk membayar ongkos berobat. Namun, tidak ada hasil yang memuaskan. Penyakit mata ini terjadi tidak hanya dalam hitungan hari. Tapi bulan. Apa yang saya rasakan saat itu?

Dokter bilang, mata saya ini alergi debu. Sehingga setiap keluar rumah saya harus menggunakan kacamata yang tidak ada celah di berbagai sisinya, mirip seperti kaca mata renang. Lalu setiap bangun tidur saya harus membersihkan ‘belek’ yang menggumpal keras di kelopak mata saya. Kelopak mata saya terasa sangat lengket yang membuat saya tidak bisa membuka mata. Untunglah ibu saya setiap pagi menyediakan air anget dan kapas agar saya bisa membersihkan belek-belek itu.

Meski saya tidak keluar rumah sekalipun, mata saya sering terasa panas dan perih. Kalau saya berkaca, saya bisa melihat warna merah muncul di sudut kanan dan kiri mata saya. Kalau ditanya lagi apa yang saya rasakan. Ya rasanya sakit. Kalau ditanya bagaimana perasaan saya. Ya sama. Rasanya sakit. Bahkan saya pernah berpikir kalau saya akan kehilangan penglihatan untuk selamanya.

Sembuh Total?

Klinik kesehatan di dekat rumah saya selalu menjadi langganan tiap anggota keluarga saya sakit. Tapi kali ini, kami harus kecewa. Berbulan-bulan mata saya tidak sembuh. Padahal sekali berobat bisa kena tarif 100-200ribu. Angka yang tidak kecil di masa-masa awal reformasi itu.

Orangtua kemudian mencarikan pengobatan alternatif buat saya. Entah apa namanya, yang jelas pada saat itu saya diberi salep yang harus dioles di mata setiap hari. Pada mulanya saya skeptis. Soalnya sudah berbagai jenis obat tetes mata yang saya pakai tetap tidak mempan. Namun saya tidak punya pilihan lain. Saya harus mencoba salep ini atau mau sakit selamanya.

Beberapa hari saya rutin menggunakan salep tersebut. Awalnya perih banget memang. Tapi lama-lama mata saya terasa lebih enteng dan cerah. Tidak sampai satu bulan, mata saya sembuh. Alhamdulillah. Apakah sembuh total? Hmm… tunggu dulu.

Meski sudah tidak terasa sakit lagi, namun daya penglihatan saya memburuk dengan drastis. Sejak kelas 6 SD, saya sudah tidak bisa lagi melihat dengan jelas objek-objek yang jauh dari mata. Saya rabun jauh. Hingga sekarang.

Sempat Kambuh Lagi?

Source: Insto
Karena waktu itu saya masih belia, saya tidak ingat benar nama penyakit yang saya alami. Hal ini menyulitkan saya untuk memahami keadaan mata saya sebenarnya. Sebab, beberapa kali mata saya sering merasa sepet, pegal, dan perih.

Tentu saja, saya tidak ingin kejadian di masa lalu terulang kembali. Saya harus tahu tentang apa yang terjadi pada mata saya dan bagaimana cara mengatasinya.

Saya terbantu dengan internet untuk mencari tahu hal ini. Jika melihat tanda-tanda yang terjadi seperti mata kering, mata sepet, mata pegel, mata perih, dan mata lelah persis dengan kondisi saya, maka sebenarnya saya mengalami gejala mata kering.

Apakah kamu pernah mengalami gejala mata kering? Mata kering bukan jenis penyakit yang langka. US National Library of Medicine National Institute of Health (NCBI) menyatakan bahwa sekitar 60 juta orang di dunia ini pernah mengalami mata kering. Jadi jangan khawatir. Pasti metode penyembuhannya selalu diperbarui untuk mendapatkan hasil yang paling maksimal.

Setelah mengetahui bahwa saya mengalami gejala mata kering, bukan kambuh, saya segera mencari obatnya. Kali ini tidak perlu keluar banyak biaya seperti yang sudah-sudah. Saya cukup jalan kaki ke minimarket terdekat lalu beli Insto Dry Eyes. Jenis Insto ini secara spesifik mengobati mata kering. Berbeda dengan Insto Reguler yang lebih cocok dipakai untuk mengobati iritasi pada mata.

Obat tetes mata menjadi barang yang wajib saya bawa selain obat masuk angin. Sebab gejala mata kering bisa datang kapan saja. Misalnya ketika kita terlalu sering menatap monitor, terkena AC, atau lupa berkedip. Tapi saya sudah tidak khawatir lagi jika serangan datang. Bye mata kering!

Sebagai pelajaran kita bersama, ya. Kalau mata terasa sepet, pegal, dan perih itu berarti tanda-tanda mata kering. Sebaiknya segera diobati sebelum makin parah nantinya. Saran saya sih pakai insto dry eyes yang bisa diperoleh dengan mudah. Kalau tak kunjung sembu segera berobat ke dokter, ya.


Header: Photo by Sharon McCutcheon from Pexels

9 Januari 2019


Menonton film di bioskop saat ini memang masih menjadi kebutuhan tersier bagi masyarakat kita. Meski demikian, nyatanya bangku bioskop makin penuh dari tahun ke tahun. Entah ini karena masyarakat Indonesia mulai sejahtera, atau justru karena banyak yang butuh lari dari realitas.

Saya akui menonton di bioskop adalah cara terbaik untuk menikmati sajian film. Selain sebagai hiburan, film juga memberi dunia alternatif yang memengaruhi beberapa pandangan saya soal hidup. Oleh sebab itu jika sedang ada rezeki, saya menyempatkan diri untuk menonton film di bioskop. Sementara kalau lagi mlarat, ya saya nonton di Hooq atau memakai layanan underground yang you know what I mean.

Meski nonton film di bioskop adalah cara yang prestisius, tapi nyatanya adab menonton masih tidak diindahkan. Saya sering menemui orang-orang yang kelakuannya sangat mengganggu aktivitas menonton. Jangankan untuk memaklumi, memaafkan mereka pun saya tidak sudi.

Berikut ini saya rangkum 5 kebiasaan tak termaafkan saat nonton film di bioskop. Coba cek, kamu pernah mengalami atau pernah melakukannya.

1. Membawa Anak Kecil

Hanya sedikit film yang diperuntukkan bagi semua usia. Bahkan film-film superhero Marvel pun rata-rata dilabeli sebagai film 13 tahun ke atas. Tapi saya sering melihat ada orangtua yang sengaja membawa anaknya yang masih di bawah 13 tahun bahkan ada yang baru belajar jalan pun ikut nonton!

Sudah ada banyak informasi yang sliweran di timeline saya soal bahayanya membawa anak kecil buat nonton di bioskop. Baik dari kemampuan pendengaran yang bisa cidera sampai psikisnya yang bisa terganggu. Saya rasa sebelum membuat anak, pasutri masa kini perlu mempertimbangkan apakah masih ada gairah nonton di bioskop atau tidak.

Membawa anak kecil ke bioskop selain berbahaya bagi anak tersebut, ada juga hal negatif lain. Yaitu potensi mengganggu penonton lain. Anak kecil yang tidak paham adab menonton seringkali bicara dengan kencang di dalam ruangan teater. Lebih parah lagi kalau sampai menangis kejer atau mondar-mandir tak karuan.

Ingatlah jika menonton film bisa dilakukan di berbagai tempat. Tidak harus bioskop. Jika mau melibatkan anak sebaiknya ya jangan di bioskop. Karena bioskop ini hanya kebutuhan tersier yang kalaupun tidak melakukannya, keluarga kita juga tidak akan tercerai-berai seketika.


2. Berbicara

Baik ngobrol bersama teman atau ngomong sendiri merupakan hal yang mengganggu sekali. Jika memang ada yang perlu sekali dibicarakan dengan teman nonton sebaiknya gunakan cara berbisik dan dekatkan mulutmu ke telinga lawan bicaramu. Paling parah sih kalau ngobrol via telfon. Berisyik!

3. Menyalakan Gadget

Buka lagi tidak beradab, bahkan kebiasaan satu ini terlihat begitu norak. Kita tahu di dalam ruangan teater memang sengaja dibuat gelap. Satu handphone dengan brightness kecil pun akan terlihat dari belakang. Hal itu benar-benar mengganggu fokus nonton.

Padahal durasi film rata-rata 2 jam. Jika menang tidak sanggup off dari HP selama itu, ya sudah tidak usah nonton sejak awal. Jika memang ada hal yang mendesak, sebaiknya keluar ruangan dulu baru akses HP.

Intinya, jangan menyalakan handphone, tab, laptop, apalagi TV. Jangan!

4. Respon Lebay

Merespon apa yang ditayangkan itu memang wajar. Tapi jangan berlebihan juga. Sebab bisa mengganggu penonton lain.

Respon lebay itu bisa berupa nangis meraung-raung, jerit-jerit histeris, maupun ketawa berlebihan kayak ayam Pontianak. Ganggu!

5. Banyak Tingkah

Tidak hanya suara saja yang bisa menggangu. Tingkah laku pun juga bisa membuat penonton lain merasa tidak nyaman. Misal sering mondar-mandir, badan grusak-grusuk, sampai kaki yang menyentuh kursi depan. Satu sentuhan kecil saja akan terasa banget lho. Jadi usahakan menonton dengan tenang.

Mengapa sih menonton di bioskop nggak boleh ini itu?


Jika kamu pernah beranggapan, "Halah gitu doang kok ngerasa keganggu. Lebay amat sih", mungkin kamu perlu belajar lagi soal tenggang rasa.

Nonton di bioskop itu ada banyak orangnya. Bahkan orang-orang yang tidak kita kenali. Saya pernah nabung untuk nonton film yang sangat saya idamkan. Saya sengaja berhemat agar bisa nonton film itu di hari pertama penayangan. Tapi pas nonton saya merasa terganggu dengan tingkah laku penonton lain. Marah, kesal, hasrat ingin memukuli sudah bercampur aduk menjadi satu.

Lagipula, bukankah hukum keseimbangan alam itu ada? Barangsiapa menanam, ia menuai. Jika hari ini kita menggangu orang lain, di lain hari kita pasti diganggu juga entah oleh orang lain atau sesuatu yang lebih buruk.

Nah, itu dia 5 kebiasaan tak termaafkan saat nonton di bioskop. Sebenarnya masih ada banyak lagi yang mengganggu di bioskop seperti merokok, bercinta, malakin popcorn, goreng cireng, benerin rantai motor, banyak lah pokoknya. Kalau menurutmu apa lagi kebiasaan tak termaafkan selama nonton di bioskop?


Image Source: pexels.com

6 Desember 2017


Salah satu kemuakan saya selama dua puluh empat tahun adalah tinggal di kota yang sama melulu. Setiap hari terbangun dalam keadaan jenuh dan malas karena semua terlihat sama. Terlebih, semua itu hampir terasa nyaman dan aman-aman saja.

Beranjak dari titik itulah pada akhirnya saya memutuskan untuk pindah. Dari sekian banyak kota yang bisa saya tinggali, saya memilih Jakarta. Selain kota dengan kesempatan kerja yang banyak meski kompetitor pelamar kerja juga tak kalah banyak, di Jakarta setidaknya saya bisa semakin dekat dengan kekasih saya lengkap dengan keluarganya. Icikiwirr.

Dulu, saya memutuskan untuk berhenti kuliah sehingga saya tidak memiliki ijazah perguruan tinggi. Hal ini memicu keraguan di benak orangtua soal keputusan saya untuk pindah. Andai saja orangtua mengerti dunia kekinian, saya sudah pasti menenangkan keraguan mereka dengan anekdot jahil yang dilontarkan kekasih saya: “Ke Jakarta modal apa? Modal follower!”


Lha mau bagaimana lagi? Dewasa ini lowongan pekerjaan itu kualifikasinya harus memiliki follower sekian-sekian, Dude. Bahkan saya nemu info di Loker.id, ada kualifikasi pelamar yang harus dimiliki itu seperti ini: 

Pria/wanita, usia 18-30 tahun, menarik, kreatif, dan jaman now. 
Bayangkan! Syarat kerja kok JAMAN NOW itu apa anjir?! Udah nggak jelas parameternya apa, masih nggak sesuai EBI pula.

Awal-Awal Kedatangan

Hari pertama sampai Jakarta saya sudah langsung meet up dengan Tiwi, Yoga, dan Aziz. Tiwi adalah kekasih saya. Yoga adalah teman sekolah saya dulu. dan Aziz adalah temannya Tiwi yang baru hari itu juga saya kenal. Pertemuan dengan orang yang berbeda-beda latar belakang selalu menyenangkan bagi saya. Ada saja obrolan-obrolan baru yang seru, kocak, bahkan ora mutu blas yang terjadi di situ.

Esok harinya, saya bergegas mencari kosan. Eh, sebetulnya saya sudah jauh-jauh hari mencari kosan melalui aplikasi Mamikos, sih. Nah, sekalian saja saya bagi tips memilih kosan melalui gawai pintar, ya.

Pertama, akses web Mamikos atau instal aplikasinya di smartphone kita. Di situ kita bisa mencari kos sesuai dengan budget yang kita punya dan lokasi yang kita tuju.

Kedua, cek kos menarik yang kita temukan di Mamikos tadi melalui Google Maps. Biar apa? Ya barangkali ada review atau foto yang lebih menggambarkan situasi kos.

Ketiga, hubungi pengelola kos melalui aplikasi Mamikos tadi.

Keempat, datangi kosnya.

Semudah itu saya dapat kos di daerah Jakarta Pusat. Cukup sekali datang. Tidak perlu door to door. Hasilnya? Saya mendapat kos dengan fasilitas free wifi dan AC. Ruang kosnya sempit memang karena menggunakan konsep sleep box, tapi bagi saya ya cukup. Kasur dan bantalnya empuk dan bersih, lho. Semua fasilitas itu saya dapatkan dengan harga 300.000 per bulan!

Hemat biaya kos. Hemat biaya internet. Bahkan tidak perlu bayar lagi buat air dan listriknya. Yiihaaa~





Setelah saya dapat kos, tempat yang saya tuju berikutnya adalah Perpustakaan Nasional. Sebenarnya perpustakaannya tutup, sih. Tapi yang mau saya datangi di situ adalah acara Tempo Week khususnya sesi bincang blogger bersama Kalis Mardiasih.

Akhirnya, datanglah saya, Tiwi, dan Yoga ke Perpusnas dengan keadaan basah selepas hujan. Untunglah ada bakso di kantin yang bisa mengobati rasa dingin. Saya tertarik buat datang lagi ke Perpusnas karena tempatnya yang nyaman. Lagipula tidak terlalu jauh dari kos. Hmmm..

Hari-hari berikutnya..

Lega rasanya kalau sudah dapat kos. Hari pertama terbangun di kamar kos langsung saya destinasikan rumah Tiwi sebagai target kunjungan saya berikutnya. Ngapain ke rumah Tiwi? Apalagi kalau bukan buat numpang makan gratis. Hahaha. Nggak kok.

Silaturahmi sama mertua. Haseek.

Syukurlah Bapak dan Ibunya Tiwi menyambut dengan hangat. Meski masih agak canggung buat ngobrol banyak hal. Not suprised, sih. Lha wong sama orangtua sendiri saja saya juga canggung. Hahaha.

Sudah terhitung lumayan sering ke rumah Tiwi, sampai-sampai kalau saya tidak datang, orangtuanya Tiwi menanyakan kapan saya berkunjung lagi. Duh, rasa-rasanya kok mau menggantikan Fedi Nuril main film Menantu yang Dirindukan.

Terlepas dari jalan-jalan menyenangkan itu, ada satu yang cukup disayangkan, sih. Kebetulan saja perusahaan yang memanggil saya buat interview kerja ngasih kabar yang kurang enak. Katanya sih, ibu bos yang mau mewawancara tiba-tiba masuk rumah sakit.

Sampai hari ini belum ada kabar lagi kapan jadwal interview berikutnya. Ya, semoga saja beliau lekas sembuh.

Dari waktu ke waktu di tempat perpindahan, saya memantau beberapa hal. Salah satunya adalah ritual subuh. Di rumah saya dulu, Solo, yang namanya waktu subuh itu ya cukup adzan saja. Tapi di sini sebelum adzan subuh sudah ada babe-babe yang ngomong pakai mic masjid begini, “Bapak Ibu yang masih tidur ayo bangun. Banguuun..”

Saya jadi curiga, jangan-jangan kalau bulan puasa warning dari masjid bakal lebih spesifik lagi. Jadi misal babe-babenya bilang gini, “Sudah mau sahur. Ayo banguun. Angetin nasinya. Bikin teh dan siapin sayur. Jangan lupa cek WhatsApp. Banguun. Banguun..” Hadeeh.

Selain itu, ada satu lagi yang saya amati. Yaitu kecenderungan orang-orang yang nanya jalur kereta ke saya. Jadi kalau lagi di stasiun atau malah udah di dalam kereta begitu, ada aja orang yang nanya, “Bang, kereta itu lewat stasiun xxx apa enggak ya?”

Biar beliau tidak degdegan ya tentu saja saya jawab “YA” dengan mantap. Meski di relung hati yang paling dalam sebenarnya saya juga degdegan kalau salah naik kereta. Syukurlah sejauh ini belum pernah salah naik kereta. Baru salah masuk peron sekali. Dan salah jurusan kuliah sekali. Udah itu aja.

Kadang saya suka memuji diri sendiri untuk hal-hal sepele. Misalnya berhasil menemukan tempat makan murah meski dengan cara yang cukup vulgar. Ketika saya hendak makan di warteg, saya pantau dulu level keramahan penjual melalui gerak-geriknya. Jika dirasa beliau cukup ramah, maka saya berani saja pesen makan begini, “Bu, makan di sini.”

Ibunya ngambil nasi, lalu tanya, “Pakai apa?”

Ya kujawab saja, “Apa aja deh yang murah.”

Alhasil, nasi + tempe orek + 1 krupuk pun sudah cukup jadi bekal makan buat satu hari penuh. Lagipula di warteg, teh tawar gratis. Hemat.

Saya orang yang mungkin terlalu perhitungan walaupun tidak menguasai pelajaran matematika. Jadi gini, jika di bawah 12 jam dari waktu saya makan itu ternyata saya sudah lapar lagi. Saya mencoba meninabobokan perut dengan sugesti begini, “Tadi makan di warteg porsinya dua setengah kali makan normal di Solo. Secara statistik harusnya aku tidak lapar di waktu sekarang. Oke, jadi anggap saja lapar ini fatamorgana semata. Bye bye perut halu.”

Nah begitu wkwk.

Nanti kalau jatuh sakit gimana? Saya jarang jatuh sakit kalau puasa, tuh. Bahkan konon, manusia bisa hidup selama tiga minggu tanpa makan, loh. Tapi ada sayaratnya, yaitu tidak melihat makanan apapun selama tiga minggu itu tadi. Hahaha. Nggak akan saya praktekkan juga, sih.

Baiklah, sepertinya cukup ini saja yang mau saya ceritakan. Doakan semoga sehat dan lekas dapat kerjaan, ya. Terima kasih sudah mampir. Sampai jumpa di kegetiran berikutnya.



Image source: pexels.com

12 September 2017


Tahun 2012 adalah awal saya mencoba bersenang-senang dengan blog. Kesenangan ini diwadahi oleh komunitas Kancut Keblenger yang kala itu ramai sekali. Bagaimana tidak? Dulu, di grup facebook Kancut Keblenger selalu penuh dengan list blogwalking, belasan atau bahkan puluhan per harinya. Artinya, setiap hari selalu saja ada konten baru yang siap untuk dinikmati.

Pada masa itu, konten yang disajikan kebanyakan adalah soal kedirian. Entah itu mencurahkan isi hati, menceritakan pengalaman hidupnya, atau menuangkan gagasan yang menjejali isi otaknya.

Genre pun bervariasi. Kebanyakan, sih, komedi. Tapi ada juga yang sendu, nyastra, haha-hihi-hore, bijak, mesum, dan yang lempeng-lempeng saja juga ada. Lebih seru lagi kalau bertemu dengan blog yang artsy. Biasanya yang tipe begini menyediakan label artwok yang isinya karya-karya dia, baik itu doodle, zentangle, sketsa, atau karya-karya digital yang banyak macamnya.

Berkunjung ke blog atau yang sering disebut blogwalking menjadi ajang bertamu yang menyenangkan. Bagaimana tidak? Dengan blogwalking kita bisa membaca bagian dari hidup orang lain, bisa melihat hasil pengkaryaannya, bahkan bisa menyimak pencapaian yang ia peroleh. Benar-benar seperti bertamu ke rumah kawan dekat.

Tapi itu dulu.

Sekarang keadaan sudah agak berbeda. Ada sesuatu yang menggoncangkan dunia blog. Paling tidak di lingkaran saya.



Sebelumnya, saya sempat vakum dari dunia perblogeran hampir satu tahun. Berhenti pada April 2015 lalu kembali pada Maret 2016. Alasan kevakuman tersebut bukan karena jenuh atau apa. Tapi demi alasan yang maha mulia, yaitu mau fokus k-u-l-i-a-h. Hahaha. Sampai sekarang saya masih merasa geli. Bagaimana tidak? Gaya-gayaan fokus kuliah, lha wong pada akhirnya drop out juga. Bajindul tenan.

Saya kembali ngeblog bertepatan dengan selesainya masa KKN yang saya tempuh di pelosok Pati. Ceritanya, setelah KKN selesai, saya merasa begitu asing dengan kampus. Teman-teman seangkatan sudah pada lulus dan yang beda angkatan punya dunia sendiri-sendiri. Akhirnya, saya menghabiskan banyak waktu di perpustakaan sendirian. Di situlah kemudian saya main blog lagi.

Sayangnya, beberapa kawan bloger yang dulu pernah jadi langganan saya buat bercengkrama pada saat itu sudah tidak aktif lagi blognya.

List blog di grup Kancut Keblenger pun dibuat jadi sistem periodik. Misal, periode pertama dibuka dari tanggal 1 sampai 7. Periode kedua tanggal 8 sampai 15. Jadi sudah tidak per hari lagi. Pikirku saat itu, “Gila, selesu ini, kah?”

Beruntunglah pada saat itu saya terselamatkan oleh bloger ndladuk asal Banjarmasin, Jung Jawa. Sebenarnya sudah kenal lama sejak berada di Kancut Keblenger, tapi perkenalan itu hanya sebatas chat facebook yang tidak seberapa.

Menghadapi kecemasan saya yang merasa perblogeran teramat sepi, lantas Jung memperkenalkan karyanya yang bernama Katanium kepada saya. Dan benar saja, melalui Katanium itulah saya mendapati beberapa blog untuk dikunjungi. Saya juga kembali bersemangat untuk menulis dan berniat menggulingkan tahta leaderboard. Meski tidak bisa.

Aktivitas ngeblog saat itu kembali menyenangkan. Saya menulis apa yang saya mau. Dan saya membaca tulisan orang sebagaimana yang mereka mau.

Tidak cukup dengan itu, saya lantas bergabung dengan grup WhatsApp Pojok WB (Warung Blogger) melalui tawaran dari bloger om-om, Andika Manggala, di grup facebook Warung Blogger. Dan dari situlah daftar blogwalking saya semakin banyak.

Saya ingat betul dua artikel yang awal sekali saya kunjungi di Pojok WB adalah tulisan bertema kopi yang ditulis oleh Tiwi dan Fandy. Dua-duanya sama-sama menyukai buku dan sastra. Untunglah, dari kedua itu cuma satu yang menyukai saya. Tentu saja bukan Fandy.

Waktu terus berjalan sampai Jung mengajak saya untuk mengikuti acara yang mengundang para bloger di Solo. Alhasil, jadilah saya dimasukkan ke dalam grup #BloggerSolo sampai hari ini.

Setelah meredupnya Katanium, dunia perblogeran saya seperti mengerucut pada Warung Blogger dan #BloggerSolo. Melalui kedua komunitas inilah saya berselancar maya. Kadang juga blogwalking ke beberapa grup bloger yang ada di Facebook, sih. Tapi tidak banyak.

Semakin ke sini, semakin ke sini, dan terus ke sini, saya kok merasa ada yang kurang greget.

Usut punya usut, ternyata keresahan itu saya dapatkan tatkala mendapati tulisan-tulisan sponsorship yang kurang ciamik penyajiannya. Maksudnya bagaimana? Tulisan yang disponsori oleh brand atau instansi tertentu tidak semua terasa menyenangkan ketika saya membacanya, gitu, lho. Woo kampret, cuma diwalik-walik thok istilahe.

Duh, bagaimana ya. Coba simak kisah di bawah ini, deh.



Suatu ketika sepasang kekasih, Plato dan Platy, membicarakan hal serius mengenai tulisan pariwara di dalam blog. (Bold: Plato, Reguler: Platy)

“Kamu tuh tega ya sama aku!”

“Ha? Aku kenapa?” 

“Kamu udah berubah. Kamu nggak kayak yang aku kenal dulu!”

Sayang, kita harus realistis. Di era sekarang kita dituntut untuk..”

“Menggadaikan kreativitas? Itu mau kamu bilang, ha? Sudah mahal-mahal jajan di Mecdie cuma buat cari wifi biar bisa baca tulisan terbaru kamu. TAPI APA? Isinya iklan, iklan, iklan melulu. Emangnya aku peduli apa sama asuransi dan obat bisul? Aku datang ke blogmu karena aku peduli sama kamu, bukan sama iklan!”

“Tapi kebetulan aku emang bisulan, Sayang.”

“Terus? Kamu obati pakai salep yang kamu iklankan itu?”

“Ee.. Nggak juga, sih. Mahal.”

“Tuh kan!”

“Iya dengar dulu penjelasan aku. Gini, aku butuh pemasukan. Aku suka menulis di blog. Jadi apa aku salah jika menulis di blog buat dapat pemasukan?”

“Sampai situ kamu tidak salah. Sekarang aku tanya, gimana caramu nulis iklan?”

“Ya gampang aja. Tinggal nulis soal produk yang diinginkan klien secara spesifik. Kadang dari mereka sudah ada yang memberi materinya, jadi aku tinggal nyalin saja. Yang penting tiap syarat dari klien aku penuhi, lah.”


“Jadi sekarang kamu menulis buat klien? Bukan buat pembacamu yang sesungguhnya?”

“Ya tentu buat pembaca juga, dong. Tapi kan aku juga harus memenuhi syarat dari klien. Soalnya sudah ada kontrak.”

“Bukan itu poinnya. Yang kumaksud itu, ketika kamu menulis untuk klien dengan cara yang sama seperti kamu ngerjain soal ujian agar dinilai bagus oleh guru, saat itulah kumerasa kamu tersesat.”

“Maksudnya?”

“Kamu ingat ketika kita masih SD terus bikin makalah tentang relativitas waktu, teori kuantum, atau postmodernisme? Saat itu kita nggak tahu dengan apa yang kita tulis. Kita tinggal salin dari apa yang sudah ada di google. Demi apa dan siapa? Pengabdian terhadap dunia akademis kita? Nggak. Kita kerjakan seperti itu demi dapat nilai 100 dari guru. You get my point?

“Maksudmu cara menulisku cuma agar dibaca sama klien saja, begitu? Aku nggak merasa gitu, kok. Aku sudah mengemasnya pakai bahasaku sendiri.”

“Ya, setidaknya kamu pakai bahasamu sendiri. Yang lain kadang ada yang lebih parah. Tapi mengganti gaya bahasa saja menurutku tidak cukup. Gini, kamu sering risih nggak kalau pas nonton TV tiba-tiba dijeda iklan? Atau pas kamu lagi masyuk nulis tiba-tiba disamperin sales rokok?”

“Risih, sih.”

“Nah, jadi kamu bisa bayangin gimana perasaanku saat sengaja datang ke blogmu dan ternyata isinya iklan semua?”

“Bener juga, sih. Terus aku harus gimana? Stop nerima job?

“Nggak sepolos itu juga. Coba kamu lihat di sinetron-sinetron sekarang, banyak iklan yang masuk di dalam cerita. Seperti ada adegan ngobrol di teras, lalu datang PRT yang bawa kopi. Nah, produk kopi itu dijelaskan sama PRT ke juragan dan tamu di dalam cerita itu. Kalau adegan ini terlalu lama pasti mengganggu. Tapi kalau cuma sekelebat saja, sih, tidak. Kurasa porsinya di sinetron-sinetron itu sudah pas.”

Ooh.. Kayak softselling gitu, ya? Tapi itu kan di TV. Kalau tulisan di blog?”

“Nah, itu silakan kreativitas kamu yang bicara. Kalalu tips dari aku, coba kamu masukkan sisi personalmu ke tulisan itu. Baik itu apa yang kamu alami, pikirkan, atau rasakan. Mestinya, kuatnya sisi personal itulah yang menjadi pembeda dari iklan di media-media lain. Kepersonalan itulah spiritnya bloger.”

“Apa nggak ribet itu?”

“Kalau tujuanmu nulis buat klien ya itu ribet. Tapi kalau buat pembaca lain, ya, menurutku itu perlu. Bahkan menurutku, kalau kita bikin review film misalnya. Kita jangan sampai menggunakan cara me-review-nya Muvila, BookMyShow, apalagi Cinema 21. Ya masak, sih, kita paparkan spesifiksi film layaknya media lain di blog pribadi kita? Kita perlu masukkan subjektivitas yang lebih karena setiap orang punya cara pandang menariknya masing-masing.”

“Dan membaca keunikan cara pandang tiap orang itulah yang menarik dari membaca blog.”

“Nah! You get my point. Sekarang coba kamu nulis iklanmu pakai gaya baru.”

“Oke! Etapi bisulku gimana?”

Ra urusan, Su!


Menjadikan blog pribadi sebagai pundi-pundi rezeki tentu tidaklah salah. Karena memang blog adalah aset yang kita miliki. Setiap bloger memang punya kuasa atas blog yang ia kelola sendiri. Tapi bukan berarti kita bisa semena-mena. Pembaca adalah patokan terhadap apa yang kita kelola. Untuk itulah kita membuat konten, bukan?

Ibarat arsitek, ia tidak mendesain gedung seenaknya sendiri, asal jadi, lalu dapat bayaran. Tidak. Ia memikirkan kenyaman dan keamanan tiap orang yang akan tinggal di gedung itu. Ia jadikan kebutuhan orang-orang itu sebagai alasan dan tujuan untuk merancang setiap sudut gedung bikinannya.

Saya salut dengan teman-teman bloger yang dengan apik menyajikan tulisan iklan, job review, campaign, atau yang sekadar meletakkan backlink ke sponsor. Saya pun masih belajar dalam hal ini. Kritik, saran, cacian, dengan senang hati saya terima.

Asal jangan no mention di twitter. Jarang buka.

So, punya pendapat soal topik ini? Silakan berbagi gagasanmu di kolom komentar atau melalui postingan blogmu. Mari kita diskusikan demi variasi blog yang haqiqi!


Image source: pexels.com

24 Mei 2017


Saya sebenarnya yakin jika plesetan judul di atas tidak masuk sama sekali. Memangnya itu plesetan dari apa, Bro? Dari judul film Ketika Cinta Bertasbih. Jaaauuhhh!

Baiklah, saya mulai tulisan ini melalui kata-kata bijak dari Jawa, “Witing tresno jalaran soko kulino.” Sebuah kutipan legendaris yang mengklaim bahwa jatuh cinta itu datang lantaran kebiasaan. Jadi yang biasa ngobrol bareng, biasa jalan bareng, dan biasa-biasa lain itu dianggap sebagai kunci untuk merasakan dirimu sedang jatuh cinta.

Eits, maaf saja. Kalau saya kok lebih cocoknya jika kutipan bijak itu sedikit digelincirkan menjadi, “Witing tresno jalaran soko ra nyongko.” (Cinta datang karena ketidaksangkaan).

Ya mau bagaimana lagi? Kalau diibaratkan film sih sudah seperti momentumnya Jack dan Rose di film Titanic itu, lho. Dari sekian banyak tempat yang sudah dikunjungi, sekian banyak orang yang pernah ditemui, dan sekian banyak situasi yang pernah dilalui, tidak menyangka saja jika Jack berjodoh dengan orang yang baru ia kenal di kapal Titanic.

Pun dengan saya.

Dari ribuan teman Facebook, ratusan follower Twitter serta Instagram, kok ya bisa-bisanya jadian sama blogger perempuan, Pertiwi Yuliana, yang Twitternya saja belum sampai sebulan saya follow. Itu pun setelah lebih jauh melangkah baru sadar kalau belum saling follow Instagram. Ya kalau sudah begini kan harus ngeplay ulang lagunya Netral. 



Cinta memang gila.

Nggak kenal permisi.

Bila disengatnya.

Say no to kompromi.

Secara geografis saya jelas tidak menyangka bakal mendapat kepingan puzzle terpenting itu di Jakarta. Lha gimana lagi? Dari lahir sampai sempoyongan kuliah belasan semester juga tinggalnya di Solo saja. Kalau bukan karna revolusi digital, paling saat ini saya masih belagak tegar dengan mengaku sebagai jomblo militan.

Iqro’: Konspirasi Alam Semesta

Seingat saya, pertama kali membaca tulisan Tiwi itu ya melalui Katanium. Tulisannya yang berjudul Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri langsung menarik diri saya untuk membacanya. Lha gimana lagi? Tulisan itu beredar di Katanium pada 9 Agustus 2016, sedangkan dua puluh hari sebelumnya saya baru saja menerbitkan tulisan bertajuk Curahan Hati Seorang Pertapa Skripsi.

Kurang jodoh apa lagi, tuh?

Ehm.

Kadang untuk memantapkan hubungan, kita perlu memakai cocoklogi juga, Bro. Misal kalau kamu sama gebetan lagi makan di warung tenda. Nyeletuk aja gini, “Eh, samaan. Kita jodoh, ya?” Meski dia mungkin saja jawab, “Apaan, sih, Mas. Aku makan mie ayam, kamu makan bakso. Beda.”

Jangan gentar, bro. Cocoklogi itu sebuah kecantikan berpikir. Maka wajar saja jika kamu menjawab, “Mie ayammu diwadahin cawan miwon. Baksoku diwadahin cawan miwon juga. Jodoh kita ini.”

“Miwon, miwon, dengkulmu miwon. Gini lho, Mas. Yang namanya Jack dan Rose itu saja memadu kasihnya di kapal Titanic. Hla mosok cinta kita bersemi di bawah naungan mangkok miwon?”

SS dari tulisan Tiwi: Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri. Awal saling sapa.
Konon, setelah kami memutuskan untuk saling kenal lebih jauh, tercetus sebuah pengakuan dari Tiwi yang katanya langsung suka begitu ia membaca tulisan saya. Hal ini membuktikan kalau..kalau..kalau dulu dia tidak blog walking balik, kampret.

Singkat cerita, kami jadi sering berdiskusi tentang tulisan. Tiwi banyak membantu saya dalam memperbaiki ejaan yang masih semrawut seperti nasib kuliah saya waktu itu. Ia juga kerap memberi ide atau perspektif lain agar tulisan saya lebih kaya.

Lalu pada suatu ketika, saya mendatangi sebuah acara diskusi film yang diadakan oleh Jogja Asian Film Festival (JAFF) di Taman Budaya Yogyakarta. Pada saat itu saya mengikuti sesi nonton bareng dan diskusi film bersama dengan Djenar Maesa Ayu yang juga merupakan penulis idolanya Tiwi.

Siapa sangka, setelah saya menulis hasil diskusi itu di blog, Tiwi berbalik membuat saya iri habis-habisan. Ia mendatangi sebuah acara bertajuk Diskusi Rape Culture & Women’s Sexual Consent Issue dengan pematik berupa nonton bareng film India berjudul Pink.

Maka jadilah kami berdua saling menulis tentang isu krusial yang berkaitan dengan perempuan. Gimana? Jodoh, nggak?

Iqro’ jilid 2: Nay (2015): Belajar Membaca Perempuan

Iqro’ jilid 3: Pink: Gaung yang Termarjinalkan

Cocoklogi teruuus..

Berangkat dari tulisan-tulisan itu, kemudian kami membuat sebuah kolaborasi menulis yang bernama Disparitas (Diskusi Paradoksal dan Realitas). Sayangnya, sampai hari ini baru satu sesi yang berhasil kami selesaiakan. Yaitu, sewaktu membahas peran suami dalam rumah tangga bersama Mas Dika (andhikamppp.com). 



Pengalaman menulis Disparitas bagi saya sebuah momentum ngeblog yang paling menyenangkan. Dalam Disparitas, kami bertiga berdiskusi semalaman. Hasil dari diskusi itu lantas saya dan Tiwi diskusikan lagi berdua. Setelah melalui dua kali diskusi, kami berdua menulis untuk blog masing-masing dan satu guest blog di blognya Mas Dika.

Iqro’ jilid 4: Disparitas dan Isi Kepala Suami Idaman

Nggak mau setengah-setengah, dalam proses menulis hasil diskusi, kami berdua masih melakukan riset dengan membuka beberapa buku sebagai acuan. Selain itu, karena saya sukanya film, wajar saja jika saya menggunakan film untuk menganalogikan topik yang dibahas. Waktu itu saya memakai film yang dibintangi vokalis Green Day, Ordinary World.

Proses menulis satu artikel Disparitas ini memakan waktu yang cukup lama. Lha gimana lagi? Sudah diskusi dua kali, membaca setumpuk literasi, masih ditambah nonton film pula. Itu juga ketika tulisan selesai masih kami tukarkan satu sama lain buat dikoreksi. Sungguh kebelaguan dalam menulis satu artikel yang seasu-asunya, kan?


Kok sampai segitunya?

Dari dulu saya selalu menganggap bahwa ngeblog adalah cara saya belajar nulis. Tidak beda jauh, Tiwi juga menyukai blog karena di sana ia banyak belajar. Maka bagi kami, menulis itu bukan mengajari. Menulis itu sendiri adalah belajar. Sebab dengan menulis, kami lebih banyak terpacu untuk belajar banyak.

Meski tidak muncul di page one jika mau mencari tulisan kami dengan kata kuci “disparitas”, tapi kami merasa senang telah menyelesaikan satu duet menulis. Lho kok tidak muncul di halaman pertama Google? KALAH SAMA KBBI.WEB.ID, CUK!

Harapan kami, program Disparitas bisa terus konsisten. Syukur-syukur bisa jadi satu majalah sendiri. Eaaa. Coba siapa yang tertarik dengan Disparitas versi e-book angkat tangan. Yuhuuu.


Iqro’ jilid 5: Andhika Manggala dan Proses Menghargai Perempuan

Iqro’ jilid 6: Dika Manggala, Militansi Laki-laki, dan Peran dalam Rumah Tangga

Namanya juga bertemu dari blog, sayang-sayangannya juga lewat perblogan gini jadinya. Coba kalau dulu bertemunya lewat Bigo. Bikin kolaborasinya di JAVHD kita.

Baiklah, itu saja kisah sederhana yang bisa saya ceritakan. Intinya, kalau ditanya, “Apa moment ngeblog terbaikmu?” Ya saya jawab, “Sayang-sayangan.” 


Kompetisi Ulang Tahun Warung Blogger ke-6
“Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun ke-6 tahun Warung Blogger

18 Februari 2017


Perkenalan saya dengan kota Solo berawal dari hal embuh yang pernah saya lakukan tatkala pakaian sekolah masih tersimbolkan dengan seragam putih-biru. Kala itu, teman saya yang bernama Nega mengajak mencari buku panduan game Seal. Memang, saat saya SMP dulu suka sekali dengan Seal Online meski levelnya stuck dibelasan saja. Sementara Nega sudah jauh lebih pro. Kegandrungan itulah yang membuat kami terpacu untuk meluncur dari Kartasura ke Solo dengan kayuhan sepeda. Jar kendhel!

Kami mencari di beberapa lokasi, seperti warnet Yahoo!, Solo Grand Mall, Gramedia, dan tempat-tempat lain yang saya lupa namanya. Jujur saja, saat itu masih ada rasa was-was jika saya tidak bisa pulang. Sebab, kota Solo masing sangat asing bagi saya.

Kekhawatiran saya berbuah lega ketika sekujur tubuh ini tiba di rumah. Lalu apa kami mendapat buku panduan tersebut? Tidak! Tidak ada di mana-mana. Justru saya malah membawa oleh-oleh berupa luka karena sempat terjungkal di jalan. Tapi nek dipikir-pikir pancen kemlinthi tenan. Ngonthel sepeda dari Kartasura sampai Solo. Tur durung adus sisan. Joss bloko-bloko!

Selang beberapa semester setelahnya, saya kembali dolan ngetan bersama kawan saya yang lain. Kali ini kepentingannya adalah untuk nonton di bioskop. Sopoyono, saat itu kami yang masih belia ini diburu oleh polisi lalu lintas. Alasannya sudah jelas. Saya tidak memakai helm dan dari perawakan terlihat kami adalah bocah-bocah tak berizin. Alhasil, diseretlah kami ke pos polisi.

Setelah ditanya macam-macam, diketahuilah bahwa teman saya ini memiliki bapak seorang polisi juga. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Pak Polisi untuk menjatuhkan denda kepada kami. Maka terjadilah perdebatan sengit soal harga yang mana kala itu saya cuma ndomblong saja. Singkat cerita, kami menyerah pada nominal 170.000 rupiah. YA! SATUS PITUNG PULUH EWU! Azu!

Lah kok mau-maunya? Lha mana kutau harga semestinya berapa, Bosku? Kuwi jik SMP. Otakku masih berkutat dengan nama-nama kerajaan di Indonesia. Jingseng!

Terlepas dari pengalaman nyelekit itu, saat kelas tiga SMP saya memiliki hobi main ke Solo sendirian. Yuhuu. Jadi ceritanya, setiap hari minggu saya pergi ke Gramedia dengan naik bus. Memang tidak langsung turun tepat di depan toko buku ternama itu. Sebab, tepat di depannya ada jalan searah yang harus dipatuhi. Alhasil, saya dari Kartasura turun di perempatan Gendengan atau kadang kelupaan mblabas sitihik sampai Lapangan Kota Barat.

Dari turun bus itulah saya memutuskan untuk jalan kaki hingga sampai di Gramedia. Pulangnya pun sama saja. Tingkah laku ini lumayan rutin saya lakukan setiap minggu, namun berakhir hingga awal-awal saya masuk SMA. Eits, jangan kira saya ke Gramedia buat beli buku. Ya cuma baca sampelnya dong, Bos. Cah irit og.

Begitulah kira-kira perkenalan saya dengan kota Solo semasa SMP. Sedang pengalaman saya ke Solo saat duduk di bangku SMA terhitung lebih sering tapi tidak rutin. Sebut saja misalnya kunjungan saya ke acara pensi, acara pameran komputer, acara lomba, serta mencari sponsor untuk acara ulang tahun sekolah.

Ada pula saat saya terlibat dengan komunitas menulis, eh tapi cuma datang pada satu kali rapat dan workshop. Niat hati ingin aktif benar, tapi keadaan kurang merestui. Sebab lokasi kumpul lebih jauh daripada tempat saya mbolos. Ya, tempat mbolos saya tak lain dan tak bukan adalah Balkon SGM, tempat main billyard. Jago billyard? Babar blas! 

Oiya, tak luput dalam catatan juga jika saya pernah ngedate sama mbak-mbak kampus di Bakso Kadipiro. Ini lebih belagu daripada mbolos main billyard. Paginya saya baru banget punya SIM. Malamnya sok-sokan dinner. Pun masih harus nyasar dulu ketika dapat anceran kosnya belakang STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia), yang ternyata namanya sudah ganti jadi ISI (Institut Seni Indonesia).

Satu keentahan lagi antara saya dan Solo adalah saat terlibat acara HUT RI di THR Sriwedari. Saat itu saya dimintai bantuan untuh mengisi jumlah anggota Paskibra SMA yang kosong. Ya, Paskibra! Tubuh kurus kecil ini nyempil dalam barisan yang gagah-gagah itu. Dalam acara itu tugas saya ya cuma jalan berderap saja ketika dibutuhkan. Saya hampir seutuhnya lupa dengan acaranya seperti apa, sebab saya sibuk membetulkan celana pinjaman yang longgarnya minta ampyang.

Entahnya lagi, pulang dari acara itu sebagian dari kami memilih untuk mampir mall dengan tetap mengenakan seragram putih Paskibra. Hal yang kami lakukan di mall sungguh heroik sejati. Kami masuk ke dalam lift dari lantai atas. Berjajar rapi mengelilingi sisi lift dengan badan tegap dan muka serius. Barangkali sudah lima kali lift terbuka di beberapa lantai tapi kami tak gentar. Kami menolak untuk ke luar lift. Heroiknya di mana? Jangan salah sangka, kami secara sukarela membantu memencet tombol bagi pengunjung, lho.

Tentu saja biar praktis, kami pencet semua tombol. Mbois tenan po ra?

Selepas dari SMA saya kuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta yang jarak tempuhnya memakan waktu setidaknya setengah jam dengan naik motor. Bisa dibilang untuk pergi kuliah saya harus melewati keseluruhan Kota Solo. Sebab kampus saya letaknya jauh di timur berbatasan dengan Karanganyar. Maka kenyang sudah pengalaman saya melewati jalanan Solo.

Saking bosannya lewat jalan yang sudah saya hafal, ternyata muncul keisengan untuk memasrahkan laju motor kepada takdir. Jadi, ketika saya hendak mengunjungi suatu tempat, saya tidak lekas mengambil rute terdekat. Saya justru melupakan rutenya. Kalau ingin belok ya belok, kalau mau lurus ya lurus. Sewenang-wenang saja. Eloknya, sejauh ini saya selalu sampai pada tujuan tanpa rasa bosan di jalan.

Ngomong-ngomong soal jalanan, di Kota Solo ini fitur jalur searahnya sudah sampai tahap overdosis. Bahkan di lokasi-lokasi yang bagi saya cukup menggemaskan. Saking parnonya dengan jalan searah, saat melintas di jalan perkampungan pun selalu saya cari ada tanda jalan searah atau tidak. Maka benar saja jika dulu sempat terjadi demo penolakan jalan searah oleh warga Laweyan, sampai para demonstran ini menggelah sholat hajad di Jalan Dr. Radjiman.

Saya tak sanggup menuliskan semua detail pengalaman saya dengan Kota Solo saat mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Sudah barang tentu ada banyak sekali. Namun, dari sekian banyak itu tentu yang sering saya lakukan adalah memenuhi hasrat hiburan. Salah satunya kecanduan saya dengan bioskop.

Nonton film di bioskop seorang diri sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi saya. Saking sendirinya, saya pernah nonton Transcendence di XXI Solo Square pada pukul dua belas siang seorang diri. Seorang diri dalam arti sesungguhnya. Ya. Satu bioskop cuma saya yang nonton film itu. Seperetinya operator bioskop mengira bakal ada yang beli tiket Transcendence di belakang saya. E, ternyata hanya saya yang beli toket film Johny Deep.

Kegirangan nonton film di bioskop semakin gencar saat Hartono Mall menerapkan harga 10.000 rupiah sebagai biaya tiket untuk Platinum Cineplex. Itupun sudah bonus Big Cola mini. Tapi, lambat laun Platinum Cineplex merubah kebijakan harga. Dari yang semula 10.000 jadi naik 15.000, lalu 20.000, dan sekarang sudah menyentuh angka 25.000 sama dengan harga tiket XXI. Bedanya, Platinum Cineplex masih memberi bonus yang berupa pop corn. Ya. Akhirnya Platinum Cineplex sudah sadar jika bonus soft drink tidak meningkatkan pembelian pop corn. Tapi bonus pop corn bisa meningkatkan pembelian soft drink yang mahal. Bukan, begitu? 
Source: theparksolo.com
Di sebelah Hartono Mall pun juga sama saja murahnya. Saat launch The Park Mall, bioskop XXI merayu para pengunjung dengan tiket nonton sebesar 15.000. Harga ini tetap konsisten selama beberapa bulan. Maka wajar saja jika saya sering nonton di sana. Secara kualitas memang lebih baik dari Platinum Cineplex, sih. Ah, nggedebus kamu, Ham. Hla wong kamu pilih The Park itu karena cuci matanya lebih bening, ya tho? Buktinya, kamu sering ke sana tapi cuma sekali doang makan.

Djancik! Gimana gak kapok? Siomay, mie ramen, dan dua minum saja totalnya tujuh puluh ribu! Dinggo ngeprint makalah filsafat lak yo nganti rampung sak semester jik jujul, Ndes.

Di samping foya-foya tak bernutrisi itu, saya juga mengagumi warung tenda di pinggir jalan. Warung-warung ini banyak yang baru buka tatkala sore telah tiba. Kuliner malam adalah salah satu hal yang eman-eman dilewatkan jika bertandang ke Solo. Mulai dari angkringan atau hik, warung bakso dan mie ayam, sate ayam, nasi liwet, nasi goreng, hingga susu segar asli Boyolali juga layak dijadikan tempat untuk mengisi perut.

Hik tetap menjadi andalan saya ketika kantong menipis atau saat sedang ingin menepi saja. Sebab di hik itu saya bisa terlibat obrolan ringan dengan orang-orang yang ada di situ meski tidak saling kenal. Mencoba macam-macam hik berbanding lurus dengan kebiasaan saya mencoba beraneka macam karakter. Kadang di hik wilayah Manahan saya bisa diam saja dari datang sampai pulang. Sedang di hik seputaran Laweyan saya bisa begitu supel. Sesuai mood saja.

Eh, tapi tenan lho. Obrolan-obrolan di hik itu kadang asu-asu bingit. Mulai dari yang serius yaitu komentar soal pembangunan Kota Solo, hingga masalah yang lebih serius lagi seperti kebimbangan untuk menyatakan cinta. Maka dari itu, syarat sahnya bakul hik itu ada tiga. Paham takaran gula, bisa membedakan mana nasi bandeng dan nasi oseng, serta menguasai psikoanalisis. Itu saja.

Source: qraved.co
Sampai dengan detik ini saya puas dengan Kota Solo. Meski sempat jenuh dan timbul keinginan untuk hengkang, namun saya kira Solo sudah cukup sukses menimang saya senyaman ini. Tulisan kali ini saya dedikasikan untuk ulang tahun Kota Solo ke-272. Semoga makin nyaman, damai, kocak dan bisa meningkatkan produktivitas para pelaku kreatif. 
Header source: chic-id.com

26 Januari 2017


Banyak orang yang sewenang-wenang mengkultuskan hari ulang tahunnya sebagai hari yang sangat penting dan spesial. Padahal saat itu terjadi, semesta tidak lantas berdendang dengan nyanyian Happy Birthday to You gubahan Robert Coleman itu. Daun yang gugur pun tidak juga melompat-lompat kegirangan menyambut hari pengulangan tanggal lahir. Bahkan rumput tetap menari-nari entah kita mau ulang tahun atau tidak, lebih jelasnya coba tanya pada Ebit G Ade yang bergoyang. Jadi, tidak usah kepedean, semesta tetap beroperasi seperti biasa.

Dulu saya pernah merayakan hari ulang tahun ketika SD. Saat itu saya memberi wafer coklat bergambar Superman kepada teman-teman satu kelas. Mereka lantas menyalami saya sambil melontarkan ucapan selamat. Seperti itu saja. Sebiasa itu saja.

Baik SMP maupun SMA saya tergolong orang yang beruntung. Saya belum pernah mengalami pelemparan air, tepung, telur dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bahan-bahan martabak asin. Lho emang martabak asin pakai air? Hla yo dinggo ngombe sing dodol tho, Ndes. Hambok kiro ning ngarep kompor sewengi ngono kui ora ngelak opo piye?

Saya tak pernah mengerti apa yang menyenangkan dari perayaan ulang tahun macam itu. Hal yang menurut saya sedang terjadi adalah praktek bullying yang diiyakan massal. Ini sudah seperti film The Purge yang setiap satu tahun sekali diberlakukan sistem bebas membunuh di Amerika. Dalam The Purge kita diperlihatkan bagaimana manusia sejatinya memiliki naluri buas untuk melukai orang lain. Hanya saja selama ini hukum meredam tindakan itu.

Hal itu tidak beda jauh dengan perayaan ulang tahun dan tepung-tepung yang bertaburan lalala yeyeye itu, bukan? Pada hari-hari selain hari ulang tahun (atau beberapa orang menyebutnya hari biasa) sudah barang tentu menjadi masalah jika kita secara impulsif melempari teman kita dengan air dan tepung. Akan tetapi, pada hari ulang tahun, hal yang demikian seolah diperbolehkan, diwajarkan, dan lebih parahnya; diwariskan.

Jika melihat ribuan tahun yang lalu, bangsa Mesir Kuno dikisahkan selalu merayakan ulang tahun Fir’aun dengan lantunan puja-puji-peju dan memberi sesembahan berupa apa saja yang dimiliki oleh warga. Andai saja bangsa Mesir Kuno tahu jika pada abad 21 di Indonesia sudah menerapkan sistem siksa tepung, saya kira mereka akan turut melakukannya kepada Fir’aun dengan penuh suka cita. Minimal lempar Spinx, sambil nyanyi, “Suzuki Spinx.. Kau auraku..”

Menelusuri budaya perayaan ulang tahun membawa saya pada ribuan tahun silam. Selain di Mesir, hal demikian juga terjadi pada bangsa Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani mengenalkan tradisi pemakaian simbol lilin dalam acara ulang tahun. Lilin ini diletakkan di atas kue berbentuk bulan sebagai sesembahan kepada Dewi Artemis. Sedangkan di Romawi Kuno, perayaan ulang tahun awalnya hanya berlaku bagi raja dan dewa. Hingga kemudian masyarakat ‘biasa’ turut merayakannya dengan cara berkumpul bersama saudara dan teman serta mulai mempopulerkan tradisi bagi kado. Pada masa itu, kado yang diberikan berupa tepung terigu, minyak zaitun, madu dan keju.

Saya curiga saja, barangkali masyarakat kekinian membuang-buang tepung dan telur itu sebagai wujud olok-olok terhadap tradisi kado-kadoan di zaman Romawi Kuno. Tak disangka, ternyata masyarakat milenial lebih memilih tradisi pagannya Yunani. Terbukti budaya tiup lilin sambil membaca doa masih jadi metode default dalam merayakan ulang tahun di masa sekarang.

Artemis
Pada masa tersebut kue dan lilin memang menjadi simbol rembulannya Dewi Artemis. Namun simbolisasi itu berubah ketika kue-kue ini mengalami pemugaran pada abad 18. Pada tahun terjadinya revolusi industri itulah kue-kue disajikan dalam bentuk yang lebih mewah dan artistik. Hal ini bermula dari keresahan orang-orang borjuis yang tidak ingin tampil setara dengan masyarakat miskin. Sementara roti sudah menjadi makanan yang sangat biasa dimakan oleh masyarakat luas apapun stratanya. Kemudian orang-orang borjuis membuat kue mewah untuk menegaskan kembali batas miskin dan kaya. Tapi seiring berjalannya waktu, resep kue mewah menyebar luas ke masyarakat dan bahan-bahan pembuatnya dapat mereka raih dengan mudah. Seiring terjadinya globalisasi, jadilah tradisi kue-kue ini menyebar hampir ke seluruh dunia.

Dari sejarah ulang tahun tersebut, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan sederhana. Yaitu, jika anda percaya bumi ini tidak datar, maka lekas saja ubahlah desain kue ulang tahun anda menjadi bentuk yang sebagaimana mestinya. Di atas sudah disebutkan, jika orang Yunani membuat kue menyerupai bulan sebagai wujud persembahan pada Dewi Artemis. Desain kue ulang tahun saat ini masih berkiblat pada perspektif visual orang Yunani terhadap bentuk bulan pada masanya.

Barangkali saat ini orang-orang pagan dan penganut paham bumi datar masih sering ngikik-ngikik jika melihat ada temannya yang sehari-hari mengutuk sesat paham mereka, tapi pas ulang tahun bertekuk lutut pada tradisi yang ia kutuk sendiri.

Meski, ya, memang pada masa kini kue-kue ulang tahun sudah tidak dimaknai sebagai simbol tertentu. Yang penting tampilan artistik buat difoto, murah buat dibeli, dan enak buat dimakan. Etapi, toh cara menikmatinya dengan meperin krimnya ke muka orang yang ulang tahun dan kepada para hadirin yang berada dalam radius dua meter dari letak kue itu berada. Sampai pada tahap ini, ternyata orang-orang milenial juga mengolok-olok Dewi Artemis. Hmm.. Benar-benar.

Sudah saya ceritakan di atas jika saya tidak pernah mengalami penganiayaan saat ulang tahun. Tapi semua berubah. Saat saya terjebak ulang tahun dalam program KKN.

Mengutip lagu “Sayang” yang saya dengar dari legenda hiphop koplo, NDX A.K.A, ada lirik yang berbunyi: “Hari demi hari. Uwis tak lewati. Yen pancen dalane. Kudu kuwat ati.” Nah, jadi saya sudah melewati ulang tahun demi ulang tahun dengan damai, sejahtera, sentosa, tanpa kurang suatu harga diri apapun. Lalu, seperti Hiroshima-Nagasaki pada tahun 1945, saat pagi di rumah singgah KKN itu tubuh saya dibombardir tepung demi tepung. Kalau sudah begini, ya saya cuma bisa qonaah saja.

Sebelum tragedi itu berlangsung, saya sempat menjahili teman-teman saya terlebih dahulu. Jadi, saya sudah tahu jika teman-teman KKN menyadari hari ulang tahun saya. Demi menjaga keamaman dan ketertiban diri saya sendiri, saat memasuki tanggal 25 Januari, saya sengaja menahan kantuk sebagai antisipasi jika terjadi hal-hal tak diinginkan pada pukul 00.00 WIB. Saya berhasil terjaga hingga pukul 1 pagi. Sementara teman-teman saya sudah (pura-pura) tidur (tapi kebablasan jadi tidur beneran).

Saat situasi terasa aman, saya mengobrak-abrik dapur mencari tepung dan telur. Harapannya agar kedua bahan masak martabak itu bisa saya sembunyikan. Jadi saya mau menyembunyikan apa yang disembunyikan teman-teman saya. Sungguh daur hidup ketersembunyian yang fana sekali.

Sayangnya, saya tidak menemukan kedua komponen rajam itu. Pikir saya, mereka tidak sempat membeli karena memang akses ke pasar cukup sulit, harus naik turun bukit dulu. Dengan berserah pada mata yang benar-benar ngantuk, akhirnya saya memutuskan untuk tidur.

“Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun..”, nyanyian itu sayup-sayup terdengar dari balik kesadaran saya. Ketika saya membuka mata, saya dapati teman-teman saya berkumpul sambil membawa kue (berbentuk bulan datar) lengkap dengan lilin-lilin di atasnya. Senandung ulang tahun yang bergema itu semakin saya dengar kok saya jadi makin ingin tidur lagi. Bagaimana tidak? Pukul dua pagi saya bangun dan langsung mendengar paduan suara tersumbang yang pernah saya dengar. Bayangkan saja saat kamu baru bangun tidur, belum gosok gigi, bahkan belum sadar benar. Lalu suara yang kamu keluarkan pasti parau-parau mambu gitu, kan? Nha, yaudah, itu yang saya dengar dari sembilan mulut yang menyanyikan lagu ulang tahun. Sudah parau, liriknya gak kompak pula anjir.

Sekalinya saya ulang tahun ada yang menyanyikan lagu kok ya yang nyanyi lemes-lemes mblawus gini. Hmm.. Benar-benar. Akhirnya, malam itu saya tutup dengan makan sedikit kue dan banyak meperin krim.
 
Karena malamnya tidak nemu letak tepung dan telur, saya pikir perayaan ulang tahun saya ya cuma kue tahajud itu saja. Disebut kue tahajud karena kami berpesta kue di sepertiga malam terakhir. Artinya, ulang tahun saya juga turut disaksikan malaikat yang turun ke bumi. Sungguh surgawi sekali diriku.

Ternyata anggapanku salah. Sekitar pukul sembilan pagi seusai sarapan, tiba-tiba saja ada mas-mas mbois harapan bangsa yang menggrujugku dengan ulenan tepung. Selama beberapa menit saya harus melakukan sedikit gerakan perlawanan yang disebut ‘get ji get beh’, yang artinya ‘reget siji reget kabeh’.

Kemudian sadar, saya tak punya cadangan sempak kering. Fak.

cdn.shopify.com
Saya sangat bersyukur tahun ini tidak perlu merasakan simulasi lempar jumroh itu lagi. Bahkan tidak banyak orang yang tahu. Kekasih saya pun mengucapkannya dengan begitu biasa. Yeah, she knows me so deep.
 
Saya ingat betul hari ulang tahun saya ini bertepatan dengan hari lahir teman saya. Ya, lahir bareng. Namanya Anang Riswanta, nama bapaknya Siswanta. Sungguh nama marga yang benar-benar tergelincir. Konon, bapaknya sangat sayang pada anak sulungnya yang lahir dalam keadaan typo itu.

Menurut birthday reminder di Facebook, ada beberapa orang yang ulang tahunnya barengan sama saya. Ketika saya lihat pada tahun-tahun sebelumnya sih, hanya ada dua orang yang saya kenali; Anang Riswanta dan Genrifinadi Pamungkas. Namun tahun ini kok ada satu orang dalam list tersebut yang mutual friends-nya Haris. Pikir saya, “Wah, ada yang gak beres, nih.”

Segera saja saya buka akun tersebut pakai UC Mini Browser. Nama depannya sih tidak asing di lingkarannya Haris, tapi Husnan Bilqish? Siapa? Setelah saya buka laman profilnya, suasana tiba-tiba hening selama tiga detik. "Ohh.. Penghuni khayangan yang lagi magang." Lalu saya segera close browser. Saya letakkan hape saya di atas meja dengan hati-hati. Kemudian menggumam sambil menghela kentut, “Hmm.. Haris. Benar-benar.”

Setiap orang tentu bebas memaknai hari ulang tahunnya masing-masing. Ada yang menyukai keramaian, adapula yang menggemari sepi. Ada yang ingin mendapat ucapan selamat, adapula yang ingin bingit mendapat ucapan selamat. Seperti aplikasi News & Weather itu, lho. Bebas mau dioperasikan atau dibiarkan. Tapi yang jelas aplikasi itu tidak bisa di-unistall. Cen asu tenan.

Bicara tentang perkara ‘usia’ di dalam lingkaran saya tergolong unik. Banyak orang yang senang sekali ketika dirinya dianggap masih umur belasan. Padahal sebenarnya sudah menginjak usia puluhan tahun. Usut punya usut, ternyata orang-orang ini rindu tampil prima dengan kulit yang masih cerah dan kencang. Kebutuhan fisik untuk tampil menawan seolah hanya dimilikinya saat masih remaja. Apa benar paramaternya begitu?

Membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan keindahan tubuh dalam kerangka standarisasi mainstream sebisa mungkin saya hindari. Kenapa? Fana bhet anjir.

Saya malah tersinggung jika ada yang bilang saya masih seperti anak sekolah. Lha di usia itu saya masih goblok-gobloknya sebagai manusia je. Mau bangga atau tersipu malu kok ya ora etis rumangsaku.

“Sik kosik. Emang ono sing tego nuduh kowe awet enom, Ham?”

“Mbuh!”
YAPPARI!
Baiklah, segitu saja kiranya yang ingin saya utarakan. Jika mengutip Sujiwo Tejo, beliau pernah bilang, “Tulisan saya dibaca untuk dilupakan”. Kira-kira begitu juga apa yang saya tulis ini. Seperti pertunjukan wayang, yang semula (layar) kosong. Kemudian tiba-tiba datang orang yang sok-sokan ngasih tahu dan sok-sokan bercerita. Hingga menuju akhir pelan-pelan akan balik kosong lagi. Jadi rasakan saja sensasinya. Tidak usah dipikirkan.

Maksudnya, tulisan ini tuh..gak guna anjir! Hahahaha.

Terima kasih sudah menyimak ego saya. Salam.
#BioTwitterku
Penikmat Umur
Pengarang Uzur
Penjaring Ubur-ubur

Source header post: Banksy