Tampilkan postingan dengan label Disparitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Disparitas. Tampilkan semua postingan

11 Februari 2017




“Gue malah pengen nangis kejer kalau nyampe rumah dalam kondisi sangat rapi, bersih, dan istri kecapean.”

Dalam program DISPARITAS (Diskusi Parakdoksal dan Realitas), saya dan Tiwi berkesempatan untuk ngecuis dengan salah seorang blogger asal Bandung yang bernama Andhika Manggala Putra PP. Tulisannya bisa kita simak di andhikamppp.com. Awalnya saya kesulitan betul ketika mencoba menghapalkan alamat blog itu. Baru kemudian saya sadar, jika cara membacanya harus ‘Andhika Em Pe Tiga dot kom’ untuk memudahkan ingatan renta ini.

Diskusi kami bertiga ini sebenarnya sudah terjadi pada 19 Desember tahun lalu. Disebabkan oleh faktor X, J, Q, K, dan As, akhirnya saya dan Tiwi baru bisa membuat tulisan ini pada bulan Februari tahun 2017. Wow! Bukankah ini yang dinamakan duo penunda tulisan paling kaffah di muka bumi ini?

Terlepas dari betapa lamanya tulisan ini dibuat, tentu tidak sebanding dengan seberapa lama Mas Dika (sebutan bagi Andhika Manggala Putra Pulang Pergi) untuk menjalani sebuah kehidupan berumah tangga hingga detik ini. Menurut data intelejen paling aman di dunia, yaitu Facebook, Mas Dika telah tercatat menikah sejak 21 Juni 2014 dengan seorang perempuan bernama Daffa Ikimu Bajoebaroeshop.

Jika kita melihat karakter blognya yang ‘bapak abizz’ itu, saya dan Tiwi tentu tertarik untuk mencari tahu kehidupannya dalam rumah tangga seperti apa. Bar kui tak bubarke. Huahahahaha!

Membahas laki-laki dalam rumah tangga sama saja dengan memancing ketertarikan saya pada hal-hal semacam pembagian kerja. Mengapa hal ini menjadi menarik? Secara pribadi, saya tetap percaya jika dalam relasi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di negara ini masih didominasi oleh kekuasaan laki-laki. Entah sadar atau tidak sadar, masyarakat mayoritas menyetujui bagaimana sistem patriarki ini seolah-olah harus ada. Lalu, apakah Mas Dika dan Bajoebaroeshopnya juga mengalami hal yang demikian?

Eh, kok agak wagu. Selanjutnya saya panggil Mbak Iki saja ya. Daripada mengko ning simpang limo aku disledingtekel karo Mas Dika, lak yo ruwet, tho?

Seperti kutipan dari Mas Dika di awal tulisan ini tadi. Mas Dika merasa tidak enak hati jika rumahnya begitu rapi dan bersih, sementara istrinya tampak lelah. Keringat mengucur deras. Namun kau tetap tabah. Hmm.. 
Peran dalam Rumah Tangga

Tak dapat dipungkiri jika Mas Dika ini adalah suami idaman Mbak Iki. Ketika barangkali ada laki-laki yang menganggap aktivitas bersih-bersih rumah disematkan sebagai tanggungjawab istri saja, Mas Dika justru memilih untuk..meratapi hal yang sudah terlanjur terjadi itu. Telat sitik, Bosku.

Salah satu hal yang saya rekam dalam diskusi kami adalah ketika Mas Dika bercerita tentang pembagian tanggung jawab di rumah tangganya. Mas Dika memberi sebuah pernyataan yang begitu bersahaja, “Ya kalau cinta fungsinya untuk melengkapi, mungkin ini salah satu cara dan aplikasinya.” Saya membayangkan ia mengatakan itu sambil menerawang jauh dari balik jendela.

Pada umumnya masyarakat membagi peran dalam rumah tangga berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Namun, tidak semua bisa dianggap demikian. Sebab, tiap lingkungan tentu memiliki implementasi yang berbeda-beda. Misalkan, perempuan di Bali seringkali terlibat dalam pekerjaan yang bagi orang Jawa dianggap sebagai pekerjaan laki-laki. Di dalam masyarakat Jawa pun, terdapat perbedaan peran perempuan (istri) antara petani pedesaan dengan priyayi. (Bisa dicek di Istiadah, 1999).

Perempuan (istri) dari kalangan petani, umumnya memiliki tugas yang begitu berat. Tak jarang mereka mendapat peran ganda, baik mengurus keperluan rumah, maupun membantu suaminya bekerja di sawah. Sedangkan perempuan (istri) dari golongan priyayi dapat mengandalkan pembantu untuk mengurus keperluan rumah. Mereka juga memiliki pilihan untuk turut mencari nafkah atau tidak. Perempuan (istri) yang tidak bekerja dan tidak pula mengurus kepentingan rumah dapat kita temukan pada rumah tangga ningrat atau mereka yang sedang sakit.

Agar lebih jelas, kita bisa melihat pembagian kerja ini menjadi dua peran, yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik adalah pekerjaan/tanggungjawab yang harus dikerjakan di dalam rumah. Seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, menyediakan kebutuhan rumah, dan menemukan koleksi tiket nonton milik anaknya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Risyart Alberth Far Far (Dosen Unpatti Ambon) di Desa Liang (Maluku Tengah), telah berhasil mengilhami saya. Beliau membuat sebuah tabel hasil survey yang ia lakukan terhadap pembagian peran dalam aktivitas domestik di desa tersebut.

"Peran Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga di Desa Liang Kabutapen Maluku Tengah"
oleh Risyart Albert Far Far

Dora : “Apa kamu lihat sesuatu yang mencolok?”

Para hadirin : .......

Dora : “Katakan sekali lagi!”

Para hadirin : ........

Dora : “Katakan bersama-sama. Dua puluh empat. Dua puluh empat.”

Para hadirin : “Sylyt.”

Seperti yang sudah ditunjukkan Dora, angka peran laki-laki dalam pertanggungjawaban domestik paling banyak dilakukan pada pekerjaan memperbaiki bangunan rumah. Sedangkan, angka tertinggi untuk perempuan terletak pada pekerjaan menyetrika. Dan pekerjaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak mendapat perhatian tertinggi pada urusan mengasuh anak.

Saya senyum-senyum sendiri membaca tabel tersebut ketika membandingkannya dengan situasi bapak dan ibu saya. Persis demikian. Hal yang bisa kita ambil pada tabel adalah ketimpangan peran yang jauh. Meski hanya berjibaku di lingkungan rumah dan tidak menghasilkan uang, bukan lantas hal-hal yang dikerjakan seorang istri adalah pekerjaan ringan. Barangkali ringan jika hal tersebut dilihat satu per satu pekerjaan. Akan tetapi, ketika kita melihat semua itu dalam himpunan pekerjaan, tentu ini menjadi sulit. Maka konyol saja jika dewasa ini masih ada lelucon ora lucu macam, “Wong wadon kui mung perlu macak, masak, manak.”

Lalu, bagaimana dengan Mas Dika?

Dengan pongahnya dia bilang, “Gue kadang balas dendam. Istri lengah, gue yang ngurusin.”

MANTAPS!

Oiya, selingan nih. Jika kita kembali mengingat sejarah ketika imperialisme Barat mulai bangkit. Maka kita tentu mengenal semboyan 3G, yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Jadi, hati-hati saja jika saat ini ada laki-laki berjiwa imperialis yang memiliki semboyan Gelar, Gaji, dan Gadis. Di mana sepanjang hidupnya ia habiskan untuk memanjat jabatan, mengeruk uang, dan menganu perempuan, apapun caranya. Boro-boro bantu pekerjaan domestik, barangkali ketika di rumah, laki-laki macam ini malah bertingkah seperti Raja Wang Mang.

Baiklah cukup, kita beranjak saja dari peran domestik. Kali ini kita coba menegok peran publik. Peran publik ini mengacu pada mata pencaharian atau kegiatan yang menjadi sumber rejeki bagi keluarga tersebut. Kembali lagi saya tawarkan tabel hasil survey yang dilakukan Bapak Risyart sebagai berikut:

"Peran Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga di Desa Liang Kabutapen Maluku Tengah"
oleh Risyart Albert Far Far

Pada tabel tersebut kita peroleh satu pola yang menunjukkan salah satu peran istri dalam ranah publik berkaitan dengan menejemen keuangan. Sedangkan pada peran suami tidak terlalu menarik karena angka perbedaannya tidak terpaut jauh dengan perempuan. Termasuk dalam aktivitas ‘tidak sama sekali’ yang hanya selisih satu angka. ‘Tidak sama sekali’ maksudnya adalah peran yang tidak ikut andil dalam aktivitas publik tersebut. Atau sebut saja menganggur.

Memperhatikan kedua peran, domestik dan publik, kita bisa menemukan bagaimana seorang istri tidak sedikit yang memiliki peran ganda. Kalau kata Jung Jawa sih, “Ya nulis, ya ndisen.” Maka segenap perempuan-perempuan rumah tangga ini kurang lebih juga begitu. “Ya mikir madang, ya mikir dagang.”

Sekali lagi, bagaimana dengan Mas Dika?

“Istri gue kerja. Di luar sana dia udah cukup capek. Eh, sangat malah. Di rumah, ia harus istirahat. Kalaupun dia tidak bisa istirahat di rumah, ya gue tidak boleh istirahat.”

Belum sempat saya bilang ‘tidak’ ketika mbak kasir Indomart menanyakan kartu member, Mas Dika sudah melanjutkan kalimatnya.

“Makanya profil di blog gue ‘lelaki yang menulis ketika anak istrinya sudah tidur’ itu karena gue tidak boleh punya aktivitas pribadi pas mereka masih terjaga.”

Selebihnya Mas Dika mengutarakan bagaimana ia tetap menjalankan hobinya meski harus bekerja di luar dan di dalam rumah. Mas Dika menyatakan dengan tegas bahwa hobi tidak memiliki kewajiban untuk dikerjakan setiap hari. Sikap yang diambil Mas Dika ini tidak ia akui sebagai sebuah pengorbanan. Yang sedang ia lakukan adalah terjun bebas dalam efektivitas waktu untuk mengerjakan hal-hal yang lebih prioritas.

Sementara itu, saya masih menemukan ada suami-suami yang ngeyel dengan hobinya. Seolah ketika ia sedang berhobi maka istri dan anaknya tidak boleh mengganggu, harus memaklumi, dan menunggu sampai selesai.

Lantas saja Mas Dika bercerita tentang masa lalunya dulu. Usut punya usut, ternyata pada awal pernikahan, ia termasuk tipe laki-laki seperti penggambaran di atas. Ia menyebut dirinya sebagai ‘anak bola parah’. Awalnya saya kira itu sebutan untuk anak-anak yang hobi mengumpulkan bola-bola sobek. Sayangnya bukan begitu. Ternyata yang dimaksud Mas Dika adalah orang yang memiliki jiwa militansi terhadap olahraga sepak bola. Maka tak heran ketika tim favoritnya, Nankatsu, sedang bertanding, ia pasti nonbar.
“Gue militan bola. Tapi militansi itu bakal tertinggal sama tanggung jawab yang lebih penting. Ya, sekali lagi prioritaslah. Kadang ngerasa kebangetan sama temen-temen bola yang aktif nonbar tengah malam. Sendirian. Ini gue jadi sok suci banget, deh.”
Penutup kalimat Mas Dika barusan membuat saya tersenyum sambil menaikkan alis sebelah kanan. “Baru nyadar, Mas?”

Belum sampai pengakuan dosanya dimaklumi Awkarin, ia sudah kembali bilang, “Ya alasannya, tidak mungkin gue keluar tengah malam, sedangkan istri sendirian di rumah.”

YAK KUMAT MENEH! TAPI MANTAP!

“Ganti ah. Jangan bola,” pintanya.

Baiklah karena saya dan Tiwi juga tidak memiliki jiwa militansi terhadap bola. Maka kami berdua lekas saja memikirkan arah pembicaraan baru. Tidak lebih dari satu menit berselang, Mas Dika kembali berulah.

“Eh, gue mau sombong, boleh?”

Tiwi menjawab, “Boleh. Bebas, Om. Hahaha.”

Mas Dika mulai menyingkap tabir surya, meletakkan kabut, lalu membenahi posisi duduknya di atas kemarau untuk bercerita. “Cewek-cewek ngegosip itu lazim, kan ya? Termasuk ngomongin suaminya ke teman-temannya. Bini gue juga. Tapi dengan gosip itu, di kantor bini, gue disebut suami idaman.” 
OKE! BEBAS!

Militansi Laki-laki Perlu Disesuaikan

Relasi antara jiwa militan dan keluarga juga pernah menjadi isu dalam film Ordinary World. Film yang rilis sejak Oktober 2016 lalu mengangkat cerita tentang seorang mantan vokalis band beraliran punk yang mulai membangun sebuah keluarga. Vokalis ternama, Billie ‘Joe’ Amstrong, mendapat peran utama sebagai Perry. Tentu berperan menjadi anak punk tidak sulit bagi pentolan Green Day ini. Tapi bagaimana sebagai suami dan bapak?

Source: impawards.com
Jika mengutip istilahnya Mas Dika, Perry ini juga layak disebut sebagai ‘anak punk parah’. Bedanya, Mas Dika memuja tim kesayangannya. Sedangkan Perry menjadi sosok yang dipuja dan disayang oleh para fansnya. Hal ini ternyata meresahkan Perry pada ulang tahunnya yang keempat puluh. Perry merasa kehidupannya berkeluarga terlalu sibuk. Ia juga mengalami kesulitan saat bekerja. Alih-alih dapat kado, di hari ulang tahunnya itu Perry malah dipecat dari toko yang dikelola adiknya sendiri. Kapokmu kapan?!

Pada hari itu bisa dibilang Perry benar-benar melupakan keluarganya. Eh, tapi ia memang pelupa. Namun melupakan kewajiban untuk menyambut kunjungan mertua di rumahnya tentu sebuah bencana. Bahkan ia juga lupa jika anaknya harus tampil dalam ajang festival berbakat di sekolah. Geramnya lagi, gitar baru yang hendak diberikan kepada anaknya itu malah ia hancurkan berkepang-kepang saat ia ajojing diacara ulang tahun yang ia bikin bersama kawan-kawan punk lamanya.

Jika Mas Dika langsung memposisikan diri sebagai seorang suami ketika pertalian cinta sudah dihalalkan, Perry justru masih kesulitan dengan habit barunya itu. Perry seolah tidak ikhlas menjalani kehidupannya berumah tangga. Eits, ia tidak membenci keluarganya, lho. Ia begitu sayang. Hanya saja hype di atas panggung begitu mendarah daging hingga ia benar-benar rindu.

Ada satu percakapan yang menarik antara Perry dan istrinya ketika mereka usai bertengkar gara-gara kelakuan Perry yang sak udele dewe itu.

Skrinsyut dari film bajakan.
Karen : “Kamu tahu apa yang membuatku takut? Kita adalah orangtua. Kita.”

Perry : “Ya. Itu sangat aneh, bukan?”

Karen : “Untuk seluruh hidup mereka, kita akan menjadi ibu dan ayah bagi mereka. Dan ketika mereka pergi ke perguruan tinggi, lalu berpikir tentang rumah. Mereka akan berpikir tentang kita. Ketika nantinya mereka memiliki anak, maka kita menjadi kakek-nenek yang bijaksana. Tapi kebenarannya adalah, kita tidak bijaksana.

Perry : ...(gur prengas-prenges thok, bajiret.)

Karen : “Kita hanya orang yang bertemu di kereta bawah tanah.”

Setelah itu Perry berusaha menguatkan Karen yang baginya telah menjadi ibu luar biasa, sementara ia sangat payah. Seperti Mas Dika juga si Karen ini. Karen menolak dikatakan ibu yang luar biasa. Ia mengaku jika dirinya selama ini hanya sedang menambal ketidakberesan dalam keluarga. Ia hanya berakting seolah-olah bertanggungjawab atas segalanya agar anak-anak merasa tenang. Hal ini yang kemudian menyentuh sukma Perry. Ternyata di balik kerumitan Perry untuk mencari kebahagiaan yang tertinggal di masa lalu, terdapat istri yang berjuang membangun rumah tangga demi masa depan.

Bagi yang berpikir jika menikah adalah relationship goal semata, mungkin gambaran tokoh Perry ini bisa menjadi cerminan. Maka diperlukan sosok Dika-dika Manggala yang lain. Seseorang yang secara sukarela memindahkan kebahagiaan pribadi menjadi kebahagiaan bersama. Yaitu bahagia yang dicari, disusun, dan dinikmati bersama-sama.

Baiklah, saya kira segini saja yang bisa saya rangkum dalam Disparitas kali ini. Sebagian lainnya ditulis oleh Tiwi. Secara garis besar ada dua hal yang ingin saya garis bawahi. Yaitu perihal pembagian peran kerja dan sikap antara hobi dan keluarga. Di sini menurut saya, Mas Dika sudah berhasil menggambarkan dengan kesahajaan berlapis congkak tentang caranya menjadi suami idaman.

Memang bagaimana caranya?

Bukankah sudah jelas? Untuk menjadi suami idaman yang digosipkan istrinya sendiri, maka para bujang itu harus mencari istri seperti Mbak Iki terlebih dahulu. Eh, iya bener begitu, apa bukan?

Saya salut dengan keluarga Mas Dika. Mereka bisa membangkitkan rasa optimis berkeluarga bagi orang-orang yang merasa apatis dengan jalinan pernikahan. Saya harap jika suatu saat terjadi masalah menimpa mereka, Mas Dika dan Mbak Iki dapat segera menyelesaikannya dengan bijak. Jika ada yang sakit, semoga lekas sembuh. Dan karena dua tahun yang lalu saya belum kenal mereka, maka saat ini saya ucapkan selamat atas pernikahan dan kehadiran momongannya. Tetaplah bersahaja dan congkak demi kemaslahatan umat.

Keluarga yang menginspirasi dengan lenggang-lenggong hidung yang sama, njir!
Wes ah bubar-bubar. Bubar kabeh. Wes gek ndang bali kandange dewe-dewe. Sing meh rabi yo ndang rabi. Sing meh nglangut yo ben nglangut sik. Rasah kakehan huru-hara. Gek ndang mulih.

Header: pexels.com/