Tampilkan postingan dengan label Lahir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lahir. Tampilkan semua postingan

24 Mei 2019


Memasak. Siapa sih yang tidak suka aktivitas satu ini?

Ya, pembukaan klise seperti itu mari kita tinggalkan dulu. Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah kenikmatan hidup yang bisa kita peroleh dari makanan bernama agar-agar.

Agar-agar (Agarosa) yang saya ketahui adalah makanan berupa gel yang diolah dari rumput laut atau alga. Memiliki tekstur kenyel-kenyel, mudah lumat di mulut, dan enak bagi segala usia. Makanan ringan satu ini sering muncul di segala kesempatan, baik itu sebagai hidangan buka puasa, hidangan pengajian, hidangan kepada tamu, dan masih banyak lagi.

Agar-agar merupakan makanan yang baik bagi hidup kita. Mengapa demikian? Melalui situs doktersehat.com, saya menemukan beberapa khasiat agar-agar, seperti:

1. Agar-agar adalah skincare yang bener-bener care sama kamu. Sebab, di dalam agar-agar terdapat asam amino alami yang bermanfaat untuk pembentukan sel kulit tubuh dan ada kandungan collagen untuk melawan tanda-tanda penuaan. Agar-agar juga diyakini bisa mengurangi berbagai masalah kulit, salah satunya adalah jerawat.

2. Menu dessert yang ramah buat program diet. Bagi kamu yang sedang khawatir dengan ke-endud-an, jangan khawatir. Sebab, agar-agar yang rendah kalori ini dapat mempertahankan berat badan dan mempelancar pencernaan.

3. Jantung sehat dan halau kolestrol jahat. Makanan yang kaya akan karbohidrat dan vitamin B ini cocok dimakan seusai berolahraga karena membatu meningkatkan sistem imun pada tubuh. Dipercaya, agar-agar mampu melawan kolestrol dan mencegah resiko serangan jantung.

4. Anti botak-botak club! Yak, buat kamu yang cemas dengan masalah rambut, terutama kerontokan. Agar-agar bisa bisa membantu mengatasi itu karena merupakan salah satu sumber asam folat.

Nah, itu dia empat poin kelebihan agar-agar yang bisa bikin kamu ceria. Agar-agar menurut saya, cocok dihidangkan sebagai menu buka puasa. Karena makanan ini mudah lumat di mulut, cepat habis, sekaligus memberi rasa kenyang. Tentu cocok banget buat santap buka puasa agar kita bisa segera melaksanan ibadah maghrib tepat pada waktunya.

Pada masa Ramadan kali ini, saya membuat agar-agar dengan kreasi yang tak biasa. Saya mengandalkan Skippy Peanut Batter sebagai elemen rasa yang utama. Mau tahu bagaimana cara bikinnya? Simak resep berikut ini:

Bahan
- 1 sachet ramuan agar-agar instan
- Roti tawar
- Selai Skippy (saya menggunakan Skippy Peanut Batter yang creamy)
- Gula
- Air

Alat
- Panci
- Cetakan
- Pengaduk

Cara Memasak
- Rebus air
- Tuangkan adonan agar-agar dan gula sesuai firasat kamu
- Aduk-aduk terus hingga pegal, eh, hingga mendidih
- Masukkan selai Skippy Peanut Batter sambil terus mengaduk
- Aduuuukk terus seperti saat kamu kepoin instagram gebetan
- Sambil ngepoin, siapkan potongan roti ke dalam cetakan
- Tuang rebusan ke dalam cetakan setelah selai Skippy berwujud seperti bulir-bulir wijen
- Diamkan hingga agar-agar mengeras
- Agar-agar Kacang ala Skippy siap dihidangkan!

Bahan-bahan sederhana bikin Agar-agar Skippy.

Roti yang dipotong kecil sebagai isian agar-agar.

Menuangkan rebusan ke dalam cetakan.

Lihat tuh ada bulir-bulirnya. Itu Skippy!
Selama proses pengendapan ini kamu mesti hati-hati sama semut-semut nakal. Kalau mau dimasukkan ke dalam kulkas setidaknya jangan langsung dimasukkan ketika air masih panas-panasnya.

Bagaimana hasilnya?


Agar-Agar Kacang Ala Skippy siap disantap!
Resep sederhana ini bagiku cukup berhasil! Rasa agar-agar benar-benar berpaling jadi kekacang-kacangan. Tekstur padat Skippy sebagai selai jadi hilang begitu saja, melebur dengan agar-agar yang kenyal dan lembut. Jadi gampang melumatnya.

Nah, bagian roti bikin setiap gigitan lebih berasa dan mengenyangkan. Cocok banget sebagai hidangan buka puasa, apalagi buka puasa bareng keluarga atau teman-teman sejawat. Kamu bisa coba resep ini kapan saja karena caranya yang praktis, bahan-bahannya mudah ditemukan, dan tidak butuh skill sekelas Master Chef untuk membuatnya.

Demikian resep Agar-agar Kacang ala Skippy kali ini. Silakan kamu mencobanya jika berkenan. Atau kamu punya resep sederhana nan menarik lainnya? Ceritakan resep kamu di sini, yuk!

Header: Buenosia Carol via pexels.com

9 April 2018


Kita mengenal tiga outwear yang paling populer di Indonesia. Ada jaket, sweater, dan hoodie. Tapi sebelumnya, sejarah outwear itu berawal sejak kapan, sih? Bagi yang penasaran, berikut saya ulas sejarah singkat outwear di dunia. Yuk, simak!
Konon, outwear dipercaya sudah digunakan oleh manusia sejak zaman Paleolitikum. Setelah manusia hanya mengenakan ‘pakaian dalam’ sebagai kebutuhan pokok, ternyata tubuh manusia perlu lebih terlindungi lagi mulai dari gigitan serangga hingga menangkal cuaca yang dingin. Hal ini yang kemudian menginspirasi manusia untuk memanfaatkan kulit dan bulu binatang sebagai outwear.
Baiklah, sekarang kita melewati beberapa abad setelah itu. Sejarah mencatat, para aristokrat pria dan wanita di abad 15 dan 16 menggunakan coat sebagai outwear. Fungsinya pun kemudian mulai banyak berubah.Outwear pada masa itu sudah dimaknai sebagai identitas kelas. Para bangsawan mengenakan outwear yang panjang dan halus. Para saudagar biasa mengenakan outwear yang lebih sederhana. Sementara rakyat jelata tidak mengenakan outwear.
Di sejumlah negara Eropa pada abad 18, outwear seringkali merujuk pada jenis pakaian yang mereka sebut sebagai cape, cloaks, maupun mantel. Jenis pakaian seperti itu hampir dipakai oleh seluruh masyarakat karena memang stoknya tidak selangka dulu. Meski demikian, perbedaan style outwear yang dikenakan tetap mencolok, antara kaum kelas atas dan kelas bawah. Pada masa-masa itu memang identitas kelas begitu kuat, dan fashion menjadi salah satu gerbang utama untuk membedakan kelas-kelas tersebut.
Penulis buku Fashion sebagai Komunikasi – Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender, Malcolm Barnard pernah mengatakan, “Pakaian sering digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status, dan orang kerap membuat penilaian terhadap nilai sosial atau status orang lain berdasarkan apa yang dipakai orang itu.”
Masih dalam buku yang sama kita bisa menemukan istilah ‘penciptaan pameran pribadi’, yaitu pakaian ditafsirkan sebagai cara seseorang untuk menunjukkan ‘dirinya’ kepada publik. Atau kita juga mengenal istilah, “I speak thought my clothes” (aku bicara lewat pakaianku). Sederhananya, seseorang akan dianggap keren jika pakaian yang dikenakannya keren. Seseorang dianggap sangar jika mengenakan celana denim sobek-sobel misalnya. Atau seseorang dianggap pemalu jika mengenakan pakaian yang tertutup dan berbahan halus.
Nah, dalam berpakaian kan ada lapisan-lapisannya, tuh. Ada pakaian dalam, tengah, dan luar. Kita tidak mungkin mengkomunikasikan pakaian dalam sebagai ‘pameran pribadi’ tadi. Lapisan yang paling bisa dicitrakan ya tentu saja pakaian luar atau outwear. Dewasa ini kita mengenal beberapa outwear seperti yang juga sudah saya sebut di muka, ada jaket, sweater, dan hoodie.
Apa sih perbedaan jaket, sweater, dan hoodie? Berikut saya beri ulasan singkatnya.
Jaket adalah pakaian luar yang menutupi bagian badan hingga pinggang atau pinggul, dan kedua tangan. Di bagian depan biasanya terdapat kancing atau resleting yang bisa dibuka dan ditutup yang fungsinya untuk memudahkan pengguna saat memakai atau melepas jaket.
Yang kedua, sweater. Sweater pada dasarnya merupakan pakaian penghangat. Umumnya, outwear jenis ini berbahan rajut yang menutupi badan sampai lengan. Ada dua model yang populer dari sweater, yaitu kardigan dan pullover. Kardigan mempunyai kancing di bagian depan, sementara pullover tidak memilikinya.
Nah, outwear yang menurut saya paling keren adalah hoodie. Kata hoodie berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘hood’ yang memiliki arti berupa tudung (penutup kepala). Maka dari itu ciri khas hoodie adalah adanya tudung dibagian atas. Sementara bagian lainnya ada berbagai variasi. Ada hoodie yang memiliki kantong di sekitar perut, ada juga yang tidak. Ada hoodie yang menggunakan resleting, ada juga yang tidak. Kalau saya sih paling suka hoodie yang tidak beresleting dan memiliki kantong di wilayah perut.
Dari ulasan ini saya harap perbedaan antara jaket, sweater, dan hoodie sebagai outwear bisa diipahami dengan jelas. Meski demikian, tidak ada salahnya juga jika beberapa jenis outwear tersebut disebut agak berbeda. Misalkan yang familiar di masyarakat ada yang menyebut ‘jaket hoodie’, ‘sweater hoodie’, hingga ‘jaket oblong’ pun tak mengapa. Hal yang lumrah jika istilah resmi dan istilah pasar memiliki perbedaan.

Belakangan ini jaket hoodie marak juga digunakan oleh wanita. Uniknya, ternyata perpaduan antara hijab dan hoodie bisa menghasilkan kombinasi yang bagus. Jika kamu adalah pembaca yang mengaku wanita tapi belum pernah mengenakan jaket hoodie sebagai pilihan untuk berbusana, cobalah sesekali untuk mengeksplorasi diri dengan memakainya.
Saya rasa berbagai kepribadian pengguna, mulai dari yang introvert hingga ekstrovert sekalipun, jaket hoodie tetap bisa merepresentasikan karakter-karakter tersebut. Apalagi dewasa ini sudah terdapat banyak variasi hoodie yang bisa dipilih dan dipadupadankan dengan busana lain sehingga bisa menghasilkan penampilan yang apik.
Selain nikmat secara estetika visual, jaket hoodie juga memberi kenyamanan bagi tubuh pengguna karena bahannya yang kebanyakan lembut dan hangat. Ukuran jaket hoodie pun mayoritas longgar atau klombor. Sehingga tak jarang, jaket hoodie juga dikenakan seseorang saat olah raga, khususnya jogging. Ukuran yang longgar memudahkan pengguna untuk bergerak dan tidak mengalami sesak pada dada.
Jadi tidak perlu ragu lagi untuk mengenakan jaket hoodie sebagai pilihan berpakaianmu hari ini. Yuk, kita ngehoodie!

Image Source: pexels.com

22 Maret 2018


Di usia saya yang ke-25 ini, saya diberi ganjaran berupa sakit gigi yang dahsyat. Tak tanggung-tanggung, gigi kiri dan kanan kulihat saja, banyak pohon cemara. Woy! Malah nyanyi. Nggak, gini, maksudnya gigi saya sekarang mengalami perlubangan di sebelah kiri dan kanan. Gitu.

Alhasil, saya mengalami kesulitan saat mengunyah makanan. Untuk sementara ini saya hanya makan makanan yang mudah hancur di mulut atau ya paling aman sih minum-minum saja.

Saat sarapan misalnya, saya cukup menyiapkan roti dan susu. Roti tersebut saya celupkan ke dalam susu dulu, baru saya lahap. Tentu saja agar roti segera hancur begitu masuk mulut. Sehingga saya tak perlu banyak mengunyah. Cara makan seperti ini cukup berhasil menghindari linu di gigi.

Cukup menyiksa sebetulnya karena banyak makanan yang pada akhirnya saya hindari. Bukan karena alergi. Cuma karena tidak mau mengunyah terlalu intim. Itu saja.

Lalu saya jadi mikir, gimana ya saya bisa kenyang, sehat, dan happy dengan masalah makan ini?

Minum jus adalah salah satu solusi yang menurut saya tepat. Jus tentu saja mengandung aneka khasiat yang dibawa dari buah-buahan. Tapi ada dua hal yang kurang dari jus. Level kekenyangannya tipis. Duh, kan tidak enak ya kalau perut keroncongan terus.

Satu lagi kekurangan jus adalah kurang happy saat meminumnya. Kalau jus buah sih okelah ya, enak. Lha kalau jus sayur? Meski menyehatkan, tetapi lidah saya sering meronta melawan rasa pahitnya.

Duh, terus apa dong yang bisa tinggal diminum dengan khasiat menyehatkan, mengenyangkan, dan membahagiakan saat meminumnya?

Aha, saya pun tahu solusinya. Re.Juve!


Apa itu Re.Juve?

Re.Juve adalah minuman menyehatkan yang berbahan dasar alami dari buah dan sayur dengan komposisi yang tepat untuk memberi rasa kenyang serta senang saat meminumnya.

Re.Juve merupakan minuman alami yang berani meniadakan sugar di dalamnya. Rasa manis yang ditimbulkan diambil dari buah-buahan yang memang sudah manis dari penciptaannya. Dengan kombinasi yang menarik, baik buah maupun sayur, Re.Juve bisa disebut sebagai terobosan minuman sehat yang mengenyangkan sekaligus menyenangkan.

Tahu tidak kenapa dari tadi saya bilang Re.Juve ini 'menyenangkan'? Sebab, saya kalau minum minuman berkhasiat seperti jamu misalnya, baru satu tenggak saja sudah bikin badan saya goyang-goyang tak karuan. Minum jamu brotowali misalnya. Baru icip satu sendok saja saya sudah lari terbirit-birit tuh sampai nubruk Genghis Khan di perempatan Pinang Ranti. Oposeh?! Wkwkw.

Ya, begitu. Konon kalau mau yang sehat-sehat itu harus tahan sama yang pahit-pahit dulu. Eits, tapi mitos itu tidak berlaku bagi Re.Juve. Sebab Re.Juve rasanya enak! Sehingga minum pun jadi terasa nikmatnya.

Memangnya Re.Juve itu punya rasa apa saja, sih?

Banyak!


Ini juga salah satu menariknya Re.Juve. Ada banyak varian rasa yang ditawarkan. Jadi kita bisa pilih mana saja yang diinginkan. Ibarat butik, Re.Juve juga menyediakan mini collection-nya. Ada Re.Juve Classic Line, terdiri dari empat macam kemasan: i. Glow, u. Glow, Beat That Green Glory, dan Asian Green.

Lalu ada juga Re.Juve Signature Line, terdiri dari We. Glow, Super Green, Red Rocket, dan Citrus Green. Selanjutnya ada Re.Juve Organic Line yang terdiri dari Organic Dazzling Kale, Organic Blazing Kale, dan Organic Red Radiance. Lalu masih ada lagi varian yang namanya Re.Juve Nut Mikk, berupa Violet Almond Milk, Green Almond Milk, Chocolate Mighty, Chocolate High, Avoccino High, dan Avocacao High.

Nah, ada lagi nih varian paling baru yang launching di bulan Maret ini, namanya Re.Juve Golden Line.

Disebut 'golden' karena memang warna yang muncul dominan kuning atau orange keemasan. Ada empat rasa dalam varian jenis Golden ini, yaitu:

Glowing Golden
Kandungan di dalamnya berupa wortel, apel, nanas, dan kunyit.

Golden Almond

Kandungan di dalamnya berupa almond, kunyit, gula kacang organik, air, dan sejumput garam laut.

Tropic Golden

Kandungan di dalamnya berupa wortel, jeruk, nanas, dan kunyit.

Citrus Golden
Nanas, jeruk limun, dan kunyit.

Nah, itu dia empat rasa yang ditawarkan dalam Re.Juve edisi Golden Line. Jika kamu menyadari, selalu ada kunyit di tiap rasa itu. Waduh, jus kunyit emangnya enak?

Hahaha. Siapa sih yang tidak kepiyer-piyer (bahasa sansekerta wkwk) saat mengonsumsi kunyit? Memang kalau kunyit dilahap begitu saja rasanya meledak-ledak di lidah. Tapi Re.Juve berhasil menemukan formula yang tepat untuk menghasilkan kunyit yang uenak tenan.

Saya sudah mencicipi semua rasa Golden Line di atas. Rasanya benar-benar nikmat, apalagi jika disajikan saat masih dingin. Segar sekali seperti menatap pujaan hati sehabis mandi.


Di antara keempat rasa itu, saya paling suka dengan Golden Almond. Rasanya seperti beras kencur yang fushion dengan kuah kolak di bulan Ramadhan. Di antara yang lain, Golden Almond merupakan jenis yang rasa asemnya tipis sekali. Sehingga bagi pecinta manis seperti saya ini mudah dibuat ketagihan.

Syukurlah sekarang sudah ada Re.Juve, sakit gigi tidak lagi menghalangi saya untuk bisa kenyang dan sehat. Terlebih lagi saya tetap bisa happy saat mengonsumsinya. Mantap!

Jadi gimana? Penasaran apa tidak? Yuk, cobain Re.Juve! Kamu bisa temukan gerainya di berbagai mall di Jakarta. Atau kalau mau pesan antar pun bisa, kok. Hubungi saja ke nomor di bawah ini. Yuk, Nge-Juve!


16 Februari 2018


Menjadi perantau di Jakarta. Meski baru tiga bulan, namun sudah banyak hal menarik yang saya alami di kota besar ini. Mulai dari pengalaman indah, susah, bahkan absurditas yang random seperti mendatangi event di Grand Indonesia dengan bawa uang hanya 700 rupiah.

Pada tanggal 11 Februari, saya dan Tiwi mendapat kesempatan untuk bertemu sastrawan ulung, Eyang Budi Darma dan Mas Seno Gumira di Galeri Indonesia Kaya. Pertemuan itu tentu saja bukan dalam rangka kopdar atau prosesi COD, melainkan untuk sama-sama terlibat dalam acara bincang sastra dengan tema Menjadi Manusia dengan Sastra.

Beberapa jam sebelum acara dimulai, saya dan Tiwi telah sepakat untuk melakukan perjalanan menuju Galeri Indonesia (GI) menggunakan Transjakarta saja. Kenapa? Soalnya kalau Transtuju itu saluran televisi, tidak bisa ditunggangi. Eh, bisa ding. Ditunggangi kepentingan politis. Eaa.

Sebenarnya kami bisa saja menempuh perjalanan menggunakan motor yang memungkinkan tiba di lokasi lebih cepat. Tapi pilihan itu kami urungkan. Sebab kami masih trauma dengan biaya parkir. Lha mau bagaimana lagi? Parkir di Taman Ismail Marzuki saja kena tarif 14.000, gimana kalau di GI? Bisa-bisa harus jual akun instagram dulu baru bisa bayar parkir, huh.

Pada titik ini saya jadi rindu dengan tarif parkir di The Park Supermall Solo Baru. Meski namanya panjang, mall-nya besar, tapi tarif parkirnya cuma seribu rupiah saja, lho. Saking murahya, kalau sedang tidak ada uang pas, dibela-belain ngamen dulu satu menit di depan Mall juga bisa itu.

Yah, jadi begitulah alasan saya dan Tiwi lebih memilih naik Transjakarta daripada motor. Eh, taunya pas sampai di GI malah Transjakartanya ikut parkir. Terus saya yang bayar. Empat belas ribu pula. Masak, sih? Ya, nggaklah matane. Hidup kok absurdnya kelewataan kayak kartun Nickelodeon.

Singkat cerita, kami tiba di GI sekitar pukul satu siang. Sementara acara dimulai pukul tiga sore. Maka jadilah kami memanfaatkan waktu tersebut dengan...nyasar. Ya begitulah. Tersesat di mall adalah bentuk perlawanan bagi kaum proletar. Perlawanan uopoooo.

Sebenarnya perut kami berharap sesuap makanan, tapi dompet tidak mengabulkan itu. Bagaimana tidak? Dompet saya cuma terisi 200 rupiah setelah koin 500 rupiah sudah raib karna saya pakai untuk menambahi ongkos naik angkot. Untunglah Tiwi bawa 50.000. Lalu jajan di GI? Yo oralah!

Jadilah saat itu saya duduk-duduk pilu di depan butik lingerie bersama Tiwi. Bukannya sedang pilih-pilih lingerie, tapi memang sudut yang kami tempati ini jarang dilalui orang. Kami membicarakan banyak hal. Salah satunya adalah sebuah pertanyaan , “Orang-orang ini ke sini bawa uang berapa, ya?”

Dulu, ketika saya masih di Solo, jalan-jalan ke mall bukan lagi sesuatu yang teramat lux. Biasa saja. Saya bisa makan steak dan minum teh botol sosro yang harganya lebih murah daripada tarif parkir di Taman Ismail Marzuki. Saya bisa beli es teh saja seharga tiga ribuan yang cup-nya tetap dibawa ke mana-mana meski isinya sudah habis.

Kalau dalam film, mall di Solo dan Jakarta sudah seperti film Upside Down. Berbeda meski sama-sama mall. Yaaiyalaah. Ngono wae kok nggumun

Saya tidak bisa membayangkan berapa uang yang dihabiskan untuk satu kali jalan di GI. Apalagi yang membawa serta seluruh anggota keluarga. Satu juta? Dua juta? Lebih atau kurang?

Lalu muncul pertanyaan, “Orang-orang kaya ini sudah sebahagia apa, ya?”

Tiwi mulai menatap saya dengan curiga. Mungkin dia was-was jikalau saya beralih profesi jadi Robin Hood seketika itu juga. Lalu tatapannya berjalan ke rambut saya yang gondrong. Dari pipi kenyalnya yang mulai bersua dengan senyum, saya mendengar suara, “Halah mbel. Boro-boro Robin Hood. Bentukanmu malah mirip Jack Sparrow, Bos.”

Ternyata saya mendapat mukjizat untuk bisa membaca bahasa pipi. Ya, ini pasti mukjizat.

Perbincangan siang itu berlalu begitu saja. Di antara berbagai pertayaan antologis yang saya lontarkan, Tiwi kemudian mengajukan pertanyaan yang sangat-sangat bajindul logisnya. “Di sini ada kayak Carefour gitu nggak, ya?” Syem. Usai sudah cuap-cuap kami yang belagak melawan hedonistik itu.

Kami kehausan. Ingin sekali rasanya menenggak Sprite. Atau Big Cola pun tak apa karna harganya yang lebih miring. Sayangnya, semua itu hanya fatamorgana belaka. Satu-satunya yang berhasil memabukkan adalah aroma Pop Corn yang krenyesnya tak terjangkau saldo PayPal kami.

Sial, tak ada soda hari ini.

Via satuharapan.com

Waktu mulai mendekati pukul tiga sore. Saya dan Tiwi bergandengan menuju Grand Indonesia Kaya. Suasana begitu ramai. Bukan karena banyak penikmat sastra yang berkumpul di situ, tapi karena di CGV tengah berlangsung meet and greet film Eiffel I’m in Love 2. Muda-mudi memenuhi selasar CGV. Sementara GIK terletak di sebelah CGV. Fak, susah sekali menerabas kerumunan itu.

Setelah tergencet ke kanan ke kiri, akhirnya kami berhasil sampai di mulut pintu GIK. Kami segera registrasi ulang setelah sebelumnya sudah mendaftar online. Karena acara belum mulai, kami memutuskan untuk menunggu sembari bermain games virtual yang ada di GIK.

Kami main game Balapan Egrang. Game ini mirip dengan Subway Suffer, tapi karakter yang dimainkan naik egrang. Saking jagonya, kami mendapat nilai 100. Yeaaaayy. Lalu cek high score. Nilai tertinggi 38.000-an kalau tidak salah ingat. “Fak,” batin kami kompak.

Setelah itu saya bermain alat musik virtual. Sementara Tiwi memilih untuk duduk-duduk saja. Saya memainkan kecapi, angklung, bonang, dan satunya lupa. Yang jelas, alat musik apapun yang saya mainkan, lagunya tetap ‘Gundul-Gundul Pacul’. Lha wong ya cuma itu saja yang saya bisa. Eh, tidak. Sebenarnya mau membawakan Symphony No. 35 in D major K. 385, tapi sungkan sama Mozart. Takut kualat.

Setelah saya puas bermain solo concert itu, saya segera duduk di samping Tiwi. Tidak terlalu banyak yang kami perbincangkan karena mata saya mulai menangkap sesuatu. Debu. Ya. Saya sedikit kelilipan.

Sepasang kekasih yang duduk di samping kami mulai beranjak dari tempat duduknya. Mereka menghampiri satpam, entah menanyakan apa. Lalu satpam itu menunjuk ke suatu tempat. Sepasang kekasih itu lantas berjalan terburu-buru. Seketika itu pula saya bangun dari sofa empuk. Saya mencolek Tiwi seraya bilang,“Ayo, masuk sekarang.”

Tiwi yang sudah pernah ke GIK sebelumnya langsung memandu saya menuju pintu masuk ruang auditorium. Semua orang masih sibuk dengan urusannya masing-masing, menunggu. Lalu begitu kami sampai di depan pintu, bapak satpam langsung memberi aba-aba, “Buat dua baris antrian.” Semua orang yang berada di situ langsung sigap membentuk barisan. Saya dan Tiwi tiba-tiba sudah masuk dalam barisan depan, meski bukan yang terdepan.

Saya bersyukur. Coba kalau saya dapat barisan paling depan. Pasti para pengantri sudah saya beri komando untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Duh, naluri imam susah disembunyikan.

Kami mulai melangkah ke dalam setelah Eyang Budi Darma dan Mas Seno masuk duluan. Beruntung mendapat barisan depan. Saya dan Tiwi bisa memiih tempat duduk semaunya. Akhirnya, kami menempati kursi paling atas. Bukan mau mesum, tapi agar bisa bersandar dan kepala kami aman dari kaki orang. Lha matane, talk show kok mesum iki piye ceritane?

Acara dimulai dengan peforming art dari Klub Teater Khatulistiwa yang sangat bagus. Sampai saya merinding, lho. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sambutan dari penerbit Noura.

Sebelum masuk acara inti, kami disuguhi video pendek Tribute to Iwan Simatupang dan Tribute to Bondan Winarno. Begitu dangkalnya pengetahuan saya, baru di tahun 2018 saya tahu jika Pak Bondan adalah sastrawan jauh sebelum acara TV maknyusnya.  Malu aku malu pada semur merah.

Acara bincang-bincang sastra “Menjadi Manusia dengan Sastra” pun akhirnya dimulai. Eyang Budi Darma dan Mas Seno memberi banyak pandangan-pandangan yang menarik. Saya kagum dengan keduanya.  Mas Seno memiliki pemikiran yang simple tapi jenius. Sedangkan Eyang Budi Darma selalu bisa memaparkan data-data dengan jeli, hal ini memperlihatkan betapa luas cakrawala ilmu beliau.

Jadi, apa sih maksudnya Menjadi Manusia dengan Sastra?

Pertanyaan ini barangkali memang tidak berguna bagi masa depan kosakata Vicky Prasetyo, tapi ternyata satu pertanyaan ini bisa diperbincangan selama dua jam  di GIK waktu itu. Mengutip dari penulis buku Orang-orang Bloomington, bahwa sastrawan itu unik. Dahulu, jika Colombus tidak pernah ada, benua Amerika pada akhirnya juga akan tetap ditemukan entah oleh siapa. Thomas Alfa Edison jika tidak menjadi penemu listrik, pasti ada orang lain yang mengganti posisinya.

Tapi hal ini tidak berlaku bagi sastrawan.

Jika tidak ada Pram, Jejak Langkah tidak akan pernah ada. Jika tidak ada Seno Gumira Ajidarma, Dunia Sukab tidak akan pernah ada. Jika tidak ada Ika Natassa, quotes Critical Eleven juga tidak akan pernah ada.

Meskipun fiksi, cerita-cerita sastra bukan hanya sebatas angin lalu. Di dalam karya pasti terdapat nilai-nilai yang bisa digunakan untuk memikirkan tentang manusia. Baik, jahat, bahagia, tragedi, kekacauan, ketidakjelasan, pembuangan, kesendirian, hasrat, naluri, dan masih banyak lagi hal-hal yang dekat dengan kita ada di dalam sebuah karya sastra. Dan itu bisa membuat kita lebih mengenal kehidupan sebagai manusia.

Oleh sebab itu, sastra sebenarnya sangat dekat dengan kita meski tak jarang buku-buku sastra dijauhi. Menurut Mas Seno, sejak manusia mulai bisa berbicara, sejak saat itu ia mengenal sastra. Sebab, proses belajar bicara saat masih balita itu sama dengan proses memahami karya sastra.

Via pexels.com
Jadi konyol saja kalau sampai hari ini secara terang-terangan menolak membaca buku-buku sastra. Meski mengaku susah mengerti maksud buku tesebut, sebenarnya sikap itu hanya alibi kemalasan berpikir saja.

Acara bincang-bincang sastra ini semakin lama semakin seru dan lucu. Para peserta yang terlibat berlomba-lomba mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Meski demikian acara tetap harus mencapai puncaknya. Acara ditutup dengan sajian pementasan dari Klub Teater Khatulistiwa. Dan sekali lagi, semua yang ada di dalam ruangan GIK bertepuk tangan meriah menandakan acara bincang-bincang sastra telah selesai.

Eits, sebelum pulang ya tentu saja ada sesi tanda tangan buku dan foto bersama tho ya. Tapi saya dan Tiwi tidak membawa buku-buku mereka. Alhasil, kami cuma mengambil satu buah foto bersama Seno Gumira Ajidarma...yang ngeblur.

Melewati pintu keluar, saya dan Tiwi memutuskan untuk makan malam dahulu. Di GIK? Ya, nggaklah! Gila apa. Kami makan di pinggir jalan, dekat halte Tosari. Inginnya sih, makan bubur ayam. Tapi sudah tidak tersedia. Akhirnya kami makan nasi goreng sepiring berdua. Biar romantis? Biar irit, Cuk.

Malam itu hujan mengguyur deras. Kami berdua berteduh di halte, memandangi air yang jatuh sembari membicarakan berbagai hal. Sebelum malam semakin larut, kami memutuskan untuk pulang. Di atas bumi Jakarta yang basah, Transjakarta membantu kami memberi keteduhan hingga sampai di rumah.

Kami pulang.


Header: pexels.com


20 Desember 2017


Demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas, tidak jarang pelajar atau mahasiswa rela bersekolah di luar kota, luar pulau, atau luar negeri. Kemudian, mereka menjadi cah kos anyaran. Mereka tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan pendidikan, tetapi juga dituntut mengurus diri mereka sendiri. 


Bagi mereka yang terbiasa hidup bersama orang tua, hidup sebagai anak kos adalah tantangan yang besar, terutama dalam hal keuangan. Setuju? 

Jika biasanya bisa langsung meminta uang kepada orang tua saat menginginkan sesuatu. Namun, saat menjadi anak kos, mereka akan diberi uang bulanan yang harus dikelola sendiri. Mengelola keuangan sendiri bukanlah hal yang mudah, apalagi bagi mereka yang baru merasakan kehidupan anak kos. Seringnya uang bulanan habis sebelum waktunya seperti yang saya alami. 

Oleh karena itu, di bawah ini ada langkah-langkah manajemen keuangan ala anak kos yang harus diterapkan.

1. Membuat Daftar Kebutuhan


Awal bulan merupakan waktu yang dinanti oleh anak kos. Pada saat itu mereka akan mendapat kiriman uang bulanan dari orang tua. Namun, seringnya uang bulanan dihabiskan sebelum waktunya karena pengeluaran yang tidak terkendali. Saat memegang banyak uang, mereka cenderung membeli barang-barang yang terlihat menarik di mata. Sampai kadang lupa soal penting atau tidaknya barang tersebut dibeli.

Nah, salah satu cara yang paling ampuh untuk mengelola pengeluaran adalah membuat daftar teman yang bisa dimanfaatkan kebutuhan. Daftar kebutuhan dapat dibuat sebelum mendapat uang bulanan dari orang tua. 

Daftar kebutuhan berfungsi sebagai pengingat agar tidak menggunakan uang dengan semena-mena. Kebutuhan yang tertulis di dalam daftar tersebut merupakan kebutuhan yang penting, seperti sewa kos, iuran air dan listrik, iuran wi-fi, makan, bensin, pulsa, perlengkapan mandi, dan kebutuhan sekolah. Jangan lupa untuk mencantumkan anggaran yang dialokasikan untuk setiap kebutuhan. 

Setelah itu, hitung berapa banyak uang bulanan yang dikeluarkan untuk memenuhi semua kebutuhan. Jika uang bulanan masih memiliki sisa, jangan gunakan uang tersebut untuk berfoya-foya. Rasah kakehan nggaya! Sebaiknya simpan uang tersebut untuk mengantisipasi kebutuhan yang tidak terduga seperti berobat, servis motor, iuran kegiatan sekolah atau kampus, dan lain sebagainya. Namun, jika perlu uang mendesak tidak ada salahnya mencari pinjaman uang ke orang lain.

2. Utamakan Memasak Daripada Membeli


Makan merupakan kebutuhan primer bagi manusia, tidak terkecuali anak kos. Makan merupakan kebutuhan yang bisa menghabiskan lebih dari 50% uang bulanan. Selain itu, besarnya uang bulanan untuk makan ditentukan oleh jenis makanan apa yang dikonsumsi. 

Anak kos memiliki siklus makan setiap bulan. Di awal bulan mereka akan makan makanan yang enak, biasanya dengan lauk ayam, ikan, atau daging. Di pertengahan bulan makanan mereka mengalami penurunan kualitas, mereka lebih sering makan dengan lauk sayur-mayur dan telur. Sedangkan, di akhir bulan mereka kerap mengonsumsi makanan dengan lauk sayur-mayur dan sering mengonsumsi makanan instan. Siklus makan tersebut tidaklah sehat untuk tubuh serta keuangan.

Meski demikian, ada kok sebagian anak kos sebagai pemuja mie instan yang akan selalu makan mie instan entah awal bulan, pertengahan bulan, akhir bulan, maupun datang bulan.

Oleh karena itu, memasak sendiri merupakan cara yang ampuh untuk menghemat pengeluaran uang bulanan. Siapkan beras dan rice cooker di dalam kamar kos untuk memasak nasi. Jika dikalkulasikan uang yang dihabiskan untuk membeli beras satu kilogram setara dengan satu kali makan. Beras satu kilogram bisa dimasak menjadi nasi selama beberapa hari. 

Sedangkan, untuk lauk pauk bisa disiapkan sayuran, telur, dan makanan kering seperti abon, oreg tempe, kering kentang, atau dendeng sapi. Dengan memasak sendiri pengeluaran menjadi lebih hemat karena tidak tergoda dengan aneka makanan atau jajan yang disajikan di tempat makan. Selain itu, masakan yang dimasak sendiri lebih terjamin kehigienisannya, tapi perlu dipastikan terlebih dahulu kalau kamu adalah tipe orang higenis.

3. Mencari Sumber Penghasilan Tambahan


Ada kalanya uang bulanan yang diberikan oleh orang tua tidak mencukupi kebutuhan bulanan. Sehingga, anak kos harus memutar otak untuk mendapatkan tambahan uang bulanan tanpa harus pinjem uang ke orang lain. Namun, meminjam uang ke orang lain tidaklah mudah karena gengsi, tidak mempunyai teman dengan uang berlebih, atau tidak dipercaya oleh teman. 

Daripada bersusah-payah mencari pinjaman uang, lebih baik mencari tambahan uang bulanan dengan bekerja paruh waktu. Ada banyak pekerjaan paruh waktu yang ditawarkan untuk pelajar atau mahasiswa. Pekerjaan paruh waktu bisa dipilih berdasarkan kemampuan yang dimiliki seperti menjadi guru les, penyanyi di kafe, penerjemah, fotografer, reporter, blogger, penulis artikel, dan masih banyak lagi. 

Gaji yang didapatkan dari bekerja paruh waktu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan bulanan yang belum terpenuhi. Selain itu, gaji tersebut bisa digunakan untuk menyenangkan diri sendiri seperti membeli baju, sepatu, kosmetik, atau berlibur. Selain menambah penghasilan tambahan, bekerja paruh waktu merupakan cara untuk membentuk etos kerja yang disiplin sebelum terjun ke dunia kerja yang sesungguhnya.

Sebenarnya sumber penghasilan tambahan untuk anak kos itu tidak hanya bersumber dari pekerjaan paruh waktu, lho. Anak kos bisa menambah uang bulanan dengan merintis bisnis. Bisnis yang direkomendasikan untuk anak kos bisa berupa bisnis dropship atau menjadi dropshipper. 

Dropshipper merupakan orang yang berjualan barang dagangan atas nama usaha sendiri. Namun, barang dagangan tidak ada di tangan dropshipper, melainkan berada di gudang penyimpanan atau agen besar. Sehingga, tugas utama dari dropshipper adalah melakukan promosi secara efektif dan efisien untuk mendapatkan pembeli dan menyetorkan data pembeli ke agen atau distributor yang besar. 

Bisnis ini mudah dijalankan karena modal utama dari bisnis adalah ponsel sebagai alat untuk berpromosi di media sosial atau website jual beli. Namun, jika memiliki jiwa kreativitas yang tinggi, tidak ada salahnya merintis bisnis sendiri. Ada banyak ide bisnis dengan modal kecil untuk anak kos, seperti bisnis makanan ringan dan kerajinan. Atau bisa juga kalau istilahnya sih jadi content creator gitu. Wuii..

Ada lagi satu cara yang bisa dilakukan untuk mendapat penghasilan tambahan, yaitu dengan mengikuti kompetisi di bidang yang dikuasai. Setiap kompetisi pasti memiliki hadiah berupa uang untuk para juaranya. Yaiyalah. Apalagi jika kompetisi tersebut diadakan oleh lembaga yang besar. Bisa jadi uang hadiah jumlahnya berkali-kali lipat daripada uang bulanan. Oleh karena itu, pelajar atau mahasiswa harus memiliki setidaknya satu bidang yang paling dikuasai. Kemudian, kembangkan kemampuan di bidang tersebut serta jangan ragu untuk mengikuti kompetisi di bidang yang bersangkutan.

4. Ikut Organisasi



Organisasi merupakan perkumpulan yang membawa manfaat luar biasa bagi pelajar atau mahasiswa. Organisasi merupakan wadah untuk belajar hidup berkelompok, bersosialisasi, serta bermusyawarah. Namun, percaya atau tidak, bergabung di organisasi bisa menjadi satu cara untuk menghemat pengeluaran. Hal ini dikarenakan organisasi sering mengadakan rapat yang memakan waktu hingga berjam-jam. 

Tidak jarang di dalam rapat disajikan makanan untuk para peserta rapat. Selain berorganisasi, bergabung dalam kepanitiaan event tertentu bisa dijadikan cara untuk menghemat pengeluaran. Apalagi jika event yang diikuti memiliki sponsor yang besar. Tidak jarang panitia yang terlibat akan mendapatkan makan gratis, voucher , dan uang bayaran. Sehingga, jangan ragu untuk bergabung dengan organisasi atau kepanitiaan karena ada banyak pengalaman berharga yang didapatkan. 

Namun pastikan organisasi atau kepanitiaan yang diikuti membawa dampak positif serta sesuai dengan prinsip masing-masing. Jangan sampai salah pilih organisasi. Udah salah jurusan, salah organisasi pula. Pas skripsi salah judul. Dapat pembimbing salah dosen. Naksir cewek salah paham. Ditaksir cewek salah tingkah. Salah aja semuanya.

5. Punya Kekasih yang Suka Hemat Bahkan Lebih Suka Hemat Daripada Suka Kamu


Langkah terakhir adalah dengan memiliki kekasih yang suka sekali dengan kehematan. Kekasih tipe seperti ini bisa memberi pengaruh hemat kepada diri kita. Kalau biasanya jajan bakso urat 15.000 sekali makan, dengan sukacita kekasih tipe hemat akan mengganti pola makan bakso 15 ribuan tersebut dengan bakso ojek atau cilok 5 ribu saja.

Belum lagi kalau biasa makan mie instan di warung 5 ribuan, di tangan kekasih menu mie tersebut akan diubah menjadi mie kremes seribuan. Begitulah. Bukankah kekasih adalah belahan jiwa, belahan hati, sekaligus belahan ATM? 

Maka dari itu kawan-kawan cobalah terapkan langkah-langkah manajemen keuangan ala anak kos ini dengan tumakninah. Saya harap bisa menuntaskan kegetiran setiap anak kos terhadap pengelolaan uangnya. Aaaminn.


Image source: pexels.com

3 November 2017



Siang itu sang surya teramat membakar, tampaknya ia marah dengan raut wajahku yang dingin tatkala keluar dari Stasiun Cikini. Udara Jakarta memelukku begitu panas. Hingga kerongkongan Soloku terasa begitu haus. Ya, barangkali begitulah contoh ketika Fandy mengawali tulisannya. Wkwk.

Narasi di atas adalah penggambaran dari kejadian yang saya alami pada 19 Agustus 2017. Masih teringat dalam berangkas memori saya ketika sebotol Soya Bean saya tenggak sembari menunggu sang kekasih, Tiwi, di Stasiun Cikini.

Sambil menunggu Tiwi datang, saya akan ceritakan rencana kami melewati malam minggu itu. 


Jadi, kami akan menonton pertunjukan teater yang diadakan di gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM). Pementasan dengan lakon Umang-Umang ini diselenggarakan oleh Bengkel Sastra yang tak lain dan tak bukan adalah teman-temannya Tiwi di UNJ. Syukurlah kami berdua mendapatkan tiket untuk menontonnya karena sepertinya pertunjukan ini begitu diminati banyak orang.

Eits, ternyata tak butuh waktu lama untuk menunggu kemunculan Tiwi di depan saya. Seperti biasa, ia memamerkan cengar-cengir manisnya dahulu sebelum menenggak minuman kemasan yang saya bawa. Tapi ternyata Soya Bean bukanlah minuman yang pas untuk seleranya.

Ketika mendapati fakta bahwa minuman favoritku ternyata bukan favoritnya, kok rasanya aku ingin beli kaos sarimbit yang tulisannya, “Lucky to find her.”

Selepas berbincang sedikit soal Soya Bean, kami memutuskan untuk segera keluar dari stasiun dan mencari makan siang. Tak perlu menunggu waktu lama bagi mata elang saya untuk menangkap tulisan “Sate Padang” di pinggir jalan. Maka jadilah kami berdua makan sate padang dengan setengah porsi untuk masing-masing.

Berbekal sate padang yang memenuhi perut, kami berdua segera saja berjalan menuju TIM dengan sekuat tenaga. Ngos..ngos..ngos.. Sepasang kekasih yang menganaktirikan kegiatan olahraga ini pada akhirnya sampai di TIM meski harus dilalui dengan sempoyongan. 

Untunglah hari masih sore, sementara pementasan teater dimulai pukul 7 malam. Maka jadilah saya dan Tiwi berbincang-bincang dahulu di sepanjang momentum senja di langit Jakarta.

Menyenangkan.

From anythingjakarta.com
Langit semakin menghitam. Gedung Teater Jakarta semakin ramai. Tiwi mulai memperkenalkan saya pada beberapa teman-temannya. Entah ada berapa teman yang Tiwi kenalkan ke saya. Saya tak sempat menghitungnya karena kepala dan hati saya sibuk merekam momentum bahagia yang tertuju pada wanita yang sorenya makan sate padang bersama saya.

Pintu teater dibuka. Para manusia berduyun-duyun memasuki ruangan teater. Sementara dua alien, Ilham dan Tiwi, lebih memilih untuk...ya masuk ke ruang teater juga, lah. Lapo gur meh tengak-tenguk njobo, Tjuk.

Fyuh, akhirnya pantat terbaik kami mendarat di kursi yang ergonomis untuk keperluan nonton. Posisi kami nonton saat itu ada di tribun bawah, pojok kiri atas. Ya, kalau dalam hierarki perbioskopan, posisi bangku di pojok atas adalah area khusus bagi mereka sepasang kekasih yang ingin bersentuhan secara intensif nan agresif. 

Tapi hal itu tidak berlaku bagi kami. Nonton ya nonton. Ena-ena ya ena-ena. Dua mazhab ini berdiri sendiri dan kurang ajar betul kalau dicampuradukan. Ouyeaah.

Maka jadilah kami berdua menyaksikan pementasan teater Umang-Umang dengan khusyuk meski sesekali penonton masbuk mengganggu pandangan.

From wakarsas.com

“Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah menodongku, dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan. Maka kutodonglah kekayaan dan makanan!”
Orasi tersebut menggema ke seluruh ruangan yang menandakan dimulainya pertunjukan teater Umang-Umang. Saya akan mencoba sedikit mengulas cerita Umang-Umang yang saya saksikan ini. Ehm, jadi begini.

Kisah ini berangkat dari seorang bos preman bernama Waska yang sudah sangat muak dengan penderitaan yang ia alami bersama kawan-kawan jalanannya. Akhirnya, ia membuat sebuah rencana besar untuk menggulingkan kekuasan. Waska dan komplotannya hendak menenggelamkan kekayaan yang selama ini hanya mampu mereka pantau dari kejauhan. Ya, rencana besar itu adalah perampokan akbar.

Akan tetapi, sebelum mereka menjalankan rencana itu, tiba-tiba saja tubuh Waska berhenti bergerak. Ia tidak mati. Ia diam membatu seperti stabilizer camera beli di Tokopedia.

Apa yang menimpa Waska saat itu membuat komplotan perampok, Umang-umang, kebingungan. Meski terdengar mistis karena tiba-tiba Waska membatu, namun di dunia nyata musibah itu ternyata pernah dialami oleh Ibu Sulami, warga Sragen yang tubuhnya membatu selama 23 tahun.

Umang-umang yang banyak nakal sedikit akal itu lantas merujuk kepada dukun sakti untuk mengobati Waska. Melalui dukun Albert, umang-umang mendapatkan resep yang dipercaya jitu menuntaskan fibrodysplasia ossificans alias penyakit membatu.

Resep yang diberikan sangat merepotkan. Yaitu, ekstrak jantung bayi!

Konon, satu jantung bayi akan memberi keabadian selama satu generasi bagi siapa yang meminumnya. Karena keserakahan, dua umang-umang yang bernama Ranggong dan Borok justru mengambil 12 jantung bayi yang mereka gali dari kuburan.

Keduabelas jantung tersebut dibagi rata untuk tiga orang, yaitu Ranggong, Borok, dan tentu saja Waska. Singkat cerita, Waska benar-benar sembuh dari kekakuan yang menjalari tubuhnya. Lebih dari itu, kini ia dan dua kawannya mendapat tiket untuk hidup abadi selama empat generasi.

Akhirnya, rencana besar dijalankan. Perampokan terjadi di mana-mana. Scene ini salah satu yang saya suka, keriuhan aksi para perampok ini benar-benar terasa gilanya. Mau bagaimana lagi, mereka ngerampok, ketawa-tawa, dan saya yang nonton justru ikut senang. Pret-kam sekali itu.

Saya lanjutkan ceritanya, ya. Eh, sebelumnya, saya mau nengok ke arah Tiwi dulu. Sudah kuduga, matanya berbinar-binar lengkap dengan senyum yang melengkung manis. Dalam hati lagi-lagi saya menggumam, “Lucky me.”

Baiklah sekarang mari kita benar-benar lanjutkan kisah Ragnarok lagi. Ragnarok? Iya, akronim dari Ranggong, Waska, dan Borok. Wkwkw.. Humor zaman kapan nih?

Ehem, begini, ketiga manusia abadi itu akhirnya frustasi, puyeng, depresi. Teman-teman seperpremanan mereka sudah pada meninggal, sementara mereka masih hidup. Uniknya, mereka bertiga hidup masih dalam cengkraman kemiskinan!

Ketika Ragnarok-wkwkw- ini dirundung kepiluan atas nasibnya yang hidup abadi, tiba-tiba mereka melihat orang-orang yang mirip sekali dengan kawan umang-umangnya dulu. Tapi sayangnya itu bukanlah seperti yang mereka kira. 

Setelah dikonfirmasi akun UnclickBait, ternyata orang-orang itu adalah cucu dari umang-umang generasi Waska yang mana tidak ada satupun yang mengenali sosok Ragnarok tersebut.

Waska, Ranggong, dan Borok lagi-lagi berduka cita atas hidup mereka. Berkali-kali mencoba untuk bunuh diri pun ternyata tidak bisa. Mereka cuma merasakan sakitnya saja, tapi tak kunjung mati.

Begitulah kurang lebih, kisah sarat makna yang saya nikmati dalam pementasan teater Umang-Umang. Jujur saja, ini adalah teater terbaik yang pernah saya tonton. Dari segi cerita menarik, semua akting lakonnya bagus, kostum, properti, lighting juga tidak kalah bagusnya. Demikian juga dengan aransemen musik yang digaungkan, porsinya pas dan mampu mendukung suasana tiap adegan yang dibutuhkan dalam pementasan ini.

Dari kisah Waska dan kawan-kawannya ini kita diajak untuk melihat bagaimana kemiskinan adalah problematika yang rumit. Dibukanya banyak lapangan pekerjaan dan merebaknya pakar motivasi tidak serta merta mampu menyelamatkan masyarakat dari kemiskinan. Apalagi sumbangan dan subsidi, lha wong hasil jarahan saja tetap tidak sanggup memperkaya mereka.

Ada celah kecil yang berkaitan antara kemiskinan dan korupsi. Keduanya sama-sama bisa diciptakan dari sistem. Karena sistem, seseorang mau tidak mau bisa jadi korupsi. Karena sistem pula, seseorang terima tidak terima bisa dimiskinkan.

Malam semakin larut. Pementasan apik itu sudah selesai. Saya dan Tiwi harus segera pulang sebelum kehabisan kereta. Sayang sekali kami berdua belum sempat mengabadikan momen itu dalam wujud foto. Cahaya ruang yang remang-remang tidak bagus jika ditangkap dengan fitur kamera pada gawai kami. Huh, jika saja saya memiliki kamera mirrorless terbaik pasti akun instagram saya akan dipenuhi foto-foto pamer untuk merayakan malam itu.

Tapi ya sudahlah. Meski tak berfoto, kami sudah merasa puas dengan malam minggu itu. Lha mau bagaimana lagi? Sebagai pelaku LDR yang kaffah tentu saja ritus malam minggu bareng kekasih adalah titik capai yang mesti dilakoni, tho.

Syukurlah kami berdua bisa mendarat di kasur masing-masing setelah itu. Tiwi di rumahnya, dan saya numpang di kos-kosan teman. Kami sempat bericikiwir dulu melalui text sebelum masing-masing mata terpejam.

Umang-Umang dengan semua yang saya saksikan masih membayangi pikiran. Ah, barangkali memori itu bisa diputar kembali di alam mimpi. Saya memutuskan untuk tidur, mengunci kenangan malam itu beserta rapalan doa agar ada malam-malam menyenangkan lain yang bisa saya lalui bersama Tiwi.


*
Terima kasih atas undangannya buat nonton Umang-Umang, Sayang. Saya akan balas kamu dengan pementasan lain yang tidak kalah serunya.

30 Agustus 2017


Saya sangat bersyukur tahun ini bisa mengintip lukisan-lukisan yang jadi koleksi Istana Kepresidenan. Kalau bukan karena pameran “Senandung Ibu Pertiwi” yang berlangsung selama bulan Agustus di Galeri Nasional, saya tidak yakin bisa mendapat kesempatan langka itu.

Memangnya apa istimewanya? Duh, coba simak baik-baik. Dikutip dari CNN Indonesia, Mike Susanto yang merupakan kurator dalam pameran itu pernah mengatakan kalau satu karya lukis yang ditandatangani oleh Ir. Soekarno minimal seharga lima milyar rupiah! Mantap ya, kan.

Dalam pameran Senandung Ibu Pertiwi ini kita akan disuguhan oleh empat sub-tema. Ada keragaman alam, kegiatan atau aktivitas sehari-hari, tradisi tari dan kebaya, dan terakhir adalah mitologi dan religi.

Sebagai pemuda canggung yang tumbuh dengan cerita-cerita mistis di Jawa Tengah, tentu tema yang menurut saya paling menarik adalah mitologi. Dan tanpa disangka sebelumnya, di salah satu sudut ruang terdalam pameran tersebut saya mendapati lukisan legendaris, Nyi Roro Kidul karya Basoeki Abdullah.

Beberapa tahun yang lalu ketika saya mulai menjejaki bagian hidup saya sebagai mahasiswa Seni Rupa dan Desain, buku pengantar kesenirupaan dan sejarah seni rupa Indonesia yang saya pelajari selalu saja membahas Basoeki Abdullah. Ya, Basoeki Abdullah everywhere.

  • Siapa sebenarnya Basoeki Abdullah?
Baiklah, saya berbagi sedikit yang saya tahu tentang Basoeki Abdullah, ya. Jadi, Basoeki Abdullah adalah maestro pelukis asal Solo yang pernah diangkat sebagai pelukis resmi di Istana Merdeka Jakarta. Beliau lahir tanggal 27 Januari 1915 dan meninggal pada 5 November 1993. Sementara saya lahir pada tanggal 25 Januari 1993, kadang saya merasa ada ikatan mistis dengan beliau.
  • Mengapa Basoeki Abdullah menjadi penting?
Tercatat dalam sejarah bahwa pada 6 September 1948, Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dalam sayembara seni yang diadakan saat penobatan Ratu Yuliana di Amsterdam. Sejak saat itu namanya tak asing di dunia kesenirupaan. Karya-karya Basoeki Abdullah beberapa kali dipamerkan di berbagai belahan dunia seperti Thailand, Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal, dan lain-lain. 




4 Basoeki Abdullah yang Saya Temukan di Pameran Senandung Ibu Pertiwi

Dari 48 koleksi lukisan yang dipamerkan, setidaknya ada empat karya Basoeki Abdullah yang berhasil menghentak naluri estetika saya.

Pertama, Lukisan Pantai Flores (cat minyak pada kanvas, 120x185 cm, tahun 1942). Sejarah di balik lukisan ini cukup menarik, lho. Jadi, lukisan Pantai Flores ini pada awalnya merupakan karya Ir. Soekarno ketika menjalani hukuman pengasingan oleh pemerintah Hindia Belanda. Media yang digunakan Bung Karno saat itu adalah cat air di atas kertas. Lalu, Bung Karno meminta Basoeki Abdullah untuk menyalin lukisan tersebut di atas kanvas. Bisa dibilang ini adalah kolaborasi epic yang tentu saja melebihi kolaborasi G-Dragon dan T.O.P.

Kedua, Lukisan Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna, Pergiwa-Pergiwati (cat minyak pada kanvas, 255x170 cm, tahun 1955). Basoeki Abdullah memang dikenal sebagai pelukis yang lihai dalam menggambarkan perempuan cantik. Demikian pula di dalam lukisan ini bagaimana beliau dengan indahnya menampilkan sosok Gatotkaca yang muncul dari langit beserta dua wanita cantik yang merupakan anak Arjuna, yaitu Pergiwa dan Pergiwati.

Ketiga, Lukisan Djika Tuhan Murka (cat minyak pada kanvas, 200x300, tahun 1949-1950). Selain menggambar wanita cantik, ternyata Basoeki Abdullah juga hebat dalam mempresentasikan kengerian lewat lukisan Djika Tuhan Murka. Lukisan ini merupakan pemberian langsung Basoeki Abdullah kepada Bung Karno. Unik memang. Bung Karno yang dikenal menyukai wanita cantik, giliran dapat lukisan dari maestro yang biasa melukis wanita cantik, eh, malah dapatnya lukisan kengerian yang menyerupai imaji neraka. Kalau di tempat saya, apa yang dilakukan Basoeki Abdullah tersebut sering disebut dengan istilah mace (menggoda) terhadap Bung Karno.

Keempat, Lukisan Nyi Roro Kidul (cat minyak pada kanvas, 160x120 cm, tahun 1955). Lukisan ini adalah karya Basoeki Abdullah yang paling sering diperbincangkan. Konon, dalam proses kreatifnya, Basoeki Abdullah benar-benar bertemu dengan Nyi Roro Kidul atau yang dikenal secara nasional dengan nama Ratu Pantai Selatan.

Sayangnya, Basoeki Abdullah tidak bisa mengingat dengan jelas bagaimana wajah Nyi Roro Kidul saat itu. Lantas ia menggunakan model perempuan lain sebagai atribut untuk memvisualkan sosok Nyi Roro Kidul di dalam lukisannya. Anehnya, tiga model perempuan yang dipakai Basoeki Abdullah tersebut selalu jatuh sakit sampai ajalnya. Maka, Basoeki Abdullah mengganti metodenya. Beliau melukiskan wajah Nyi Roro Kidul selanjutnya dengan imajinasi saja.

Lukisan ini memang sering dianggap keramat dan diyakini kekuatan mistisnya. Beruntunglah kiranya saya bisa menyaksikan secara langsung karya legendaris ini. Meski saat menyaksikannya saya tidak merasakan apa-apa selain kekaguman pada goresan yang sangat indah. Mungkin aura spiritual saya kurang suci untuk menangkap frekuensi mistisnya lukisan tersebut. Atau mungkin karena saya sedang lapar saja.

Oiya, penasaran tidak berapa harga lukisan Nyi Rori Kidul tersebut? Usut punya usut, harga lukisan mistis itu setara dengan harga rumah Basoeki Abdullah yang sekarang sudah menjadi museum beserta seluruh isi di dalamnya. Gils!

Pameran Lukisan Koleksi Istana “Senandung Ibu Pertiwi” di Galeri Nasional, Jakarta, 2-30 Agustus 2017.

Bertandang ke pameran seni rupa adalah salah satu terapi visual yang sangat saya perlukan sebagai penikmat seni dan desain. Kalau istilahnya di bio Instagram gitu, sih, namanya Art and Design Enthusiasts atau Art and Design Addict. Muda-mudi kekinian musti meletakkan istilah-istilah itu di bio I
nstagramnya biar parameter kekerenan menanjak tinggi. Ya, setidaknya bagi akun jual followers.

Beruntung benar-benar beruntung saya bisa berkunjung ke Galeri Nasional. Maklum, Solo dan Jakarta bukan jarak yang cukup dekat untuk dimondar-mandirkan. Kalau bukan karena pameran Senandung Ibu Pertiwi dan kekasih yang bernama Pertiwi, saya mungkin hanya bisa menikmati karya-karya mahal itu melalui layar ponsel saja.

Terima kasih banyak untuk Pertiwi Yuliana yang bersedia menjadi guide selama saya menyaksikan pameran itu. Guide milenial yang lebih sering memfoto daripada menjelaskan karya-karya. Hahaha. Syukurlah punya kekasih yang tergolong dalam Art and Design Enthusiasts, sehingga dalam menikmati karya-karya seni tidak lagi dipendam sendiri. Tapi juga bisa didiskusikan bersama. Aysik!

Jujur saja saya ketagihan dengan Galeri Nasional yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur No. 14, Gambir, Jakarta Pusat itu. Selain pameran lukisan koleksi istana, kebetulan saja saat saya ke sana juga sedang diselenggarakan pameran fotografi. Sementara galeri seninya yang reguler buka setiap hari mulai dari pukul 9 pagi sampai pukul 4 sore. Di sana juga terdapat Cafe dan Art Shop buat kita yang mau nongkrong-nongkrong artsy dan belanja-belanja yang berseni.

Saya harap suatu saat bisa bertandang ke Galeri Nasional lagi. Semoga ada pameran yang tidak kalah menariknya dari Senandung Ibu Pertiwi. Teman-teman, yuk, ramaikan Galeri Nasional. Nikmati sajian karya-karya bernilai seni tinggi agar spiritualitas keartsyanmu melejit.



Kolase dokumentasi pribadi. Cieee...

24 Mei 2017


Saya sebenarnya yakin jika plesetan judul di atas tidak masuk sama sekali. Memangnya itu plesetan dari apa, Bro? Dari judul film Ketika Cinta Bertasbih. Jaaauuhhh!

Baiklah, saya mulai tulisan ini melalui kata-kata bijak dari Jawa, “Witing tresno jalaran soko kulino.” Sebuah kutipan legendaris yang mengklaim bahwa jatuh cinta itu datang lantaran kebiasaan. Jadi yang biasa ngobrol bareng, biasa jalan bareng, dan biasa-biasa lain itu dianggap sebagai kunci untuk merasakan dirimu sedang jatuh cinta.

Eits, maaf saja. Kalau saya kok lebih cocoknya jika kutipan bijak itu sedikit digelincirkan menjadi, “Witing tresno jalaran soko ra nyongko.” (Cinta datang karena ketidaksangkaan).

Ya mau bagaimana lagi? Kalau diibaratkan film sih sudah seperti momentumnya Jack dan Rose di film Titanic itu, lho. Dari sekian banyak tempat yang sudah dikunjungi, sekian banyak orang yang pernah ditemui, dan sekian banyak situasi yang pernah dilalui, tidak menyangka saja jika Jack berjodoh dengan orang yang baru ia kenal di kapal Titanic.

Pun dengan saya.

Dari ribuan teman Facebook, ratusan follower Twitter serta Instagram, kok ya bisa-bisanya jadian sama blogger perempuan, Pertiwi Yuliana, yang Twitternya saja belum sampai sebulan saya follow. Itu pun setelah lebih jauh melangkah baru sadar kalau belum saling follow Instagram. Ya kalau sudah begini kan harus ngeplay ulang lagunya Netral. 



Cinta memang gila.

Nggak kenal permisi.

Bila disengatnya.

Say no to kompromi.

Secara geografis saya jelas tidak menyangka bakal mendapat kepingan puzzle terpenting itu di Jakarta. Lha gimana lagi? Dari lahir sampai sempoyongan kuliah belasan semester juga tinggalnya di Solo saja. Kalau bukan karna revolusi digital, paling saat ini saya masih belagak tegar dengan mengaku sebagai jomblo militan.

Iqro’: Konspirasi Alam Semesta

Seingat saya, pertama kali membaca tulisan Tiwi itu ya melalui Katanium. Tulisannya yang berjudul Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri langsung menarik diri saya untuk membacanya. Lha gimana lagi? Tulisan itu beredar di Katanium pada 9 Agustus 2016, sedangkan dua puluh hari sebelumnya saya baru saja menerbitkan tulisan bertajuk Curahan Hati Seorang Pertapa Skripsi.

Kurang jodoh apa lagi, tuh?

Ehm.

Kadang untuk memantapkan hubungan, kita perlu memakai cocoklogi juga, Bro. Misal kalau kamu sama gebetan lagi makan di warung tenda. Nyeletuk aja gini, “Eh, samaan. Kita jodoh, ya?” Meski dia mungkin saja jawab, “Apaan, sih, Mas. Aku makan mie ayam, kamu makan bakso. Beda.”

Jangan gentar, bro. Cocoklogi itu sebuah kecantikan berpikir. Maka wajar saja jika kamu menjawab, “Mie ayammu diwadahin cawan miwon. Baksoku diwadahin cawan miwon juga. Jodoh kita ini.”

“Miwon, miwon, dengkulmu miwon. Gini lho, Mas. Yang namanya Jack dan Rose itu saja memadu kasihnya di kapal Titanic. Hla mosok cinta kita bersemi di bawah naungan mangkok miwon?”

SS dari tulisan Tiwi: Mahasiswa Tingkat Akhir Harus Menarik Diri. Awal saling sapa.
Konon, setelah kami memutuskan untuk saling kenal lebih jauh, tercetus sebuah pengakuan dari Tiwi yang katanya langsung suka begitu ia membaca tulisan saya. Hal ini membuktikan kalau..kalau..kalau dulu dia tidak blog walking balik, kampret.

Singkat cerita, kami jadi sering berdiskusi tentang tulisan. Tiwi banyak membantu saya dalam memperbaiki ejaan yang masih semrawut seperti nasib kuliah saya waktu itu. Ia juga kerap memberi ide atau perspektif lain agar tulisan saya lebih kaya.

Lalu pada suatu ketika, saya mendatangi sebuah acara diskusi film yang diadakan oleh Jogja Asian Film Festival (JAFF) di Taman Budaya Yogyakarta. Pada saat itu saya mengikuti sesi nonton bareng dan diskusi film bersama dengan Djenar Maesa Ayu yang juga merupakan penulis idolanya Tiwi.

Siapa sangka, setelah saya menulis hasil diskusi itu di blog, Tiwi berbalik membuat saya iri habis-habisan. Ia mendatangi sebuah acara bertajuk Diskusi Rape Culture & Women’s Sexual Consent Issue dengan pematik berupa nonton bareng film India berjudul Pink.

Maka jadilah kami berdua saling menulis tentang isu krusial yang berkaitan dengan perempuan. Gimana? Jodoh, nggak?

Iqro’ jilid 2: Nay (2015): Belajar Membaca Perempuan

Iqro’ jilid 3: Pink: Gaung yang Termarjinalkan

Cocoklogi teruuus..

Berangkat dari tulisan-tulisan itu, kemudian kami membuat sebuah kolaborasi menulis yang bernama Disparitas (Diskusi Paradoksal dan Realitas). Sayangnya, sampai hari ini baru satu sesi yang berhasil kami selesaiakan. Yaitu, sewaktu membahas peran suami dalam rumah tangga bersama Mas Dika (andhikamppp.com). 



Pengalaman menulis Disparitas bagi saya sebuah momentum ngeblog yang paling menyenangkan. Dalam Disparitas, kami bertiga berdiskusi semalaman. Hasil dari diskusi itu lantas saya dan Tiwi diskusikan lagi berdua. Setelah melalui dua kali diskusi, kami berdua menulis untuk blog masing-masing dan satu guest blog di blognya Mas Dika.

Iqro’ jilid 4: Disparitas dan Isi Kepala Suami Idaman

Nggak mau setengah-setengah, dalam proses menulis hasil diskusi, kami berdua masih melakukan riset dengan membuka beberapa buku sebagai acuan. Selain itu, karena saya sukanya film, wajar saja jika saya menggunakan film untuk menganalogikan topik yang dibahas. Waktu itu saya memakai film yang dibintangi vokalis Green Day, Ordinary World.

Proses menulis satu artikel Disparitas ini memakan waktu yang cukup lama. Lha gimana lagi? Sudah diskusi dua kali, membaca setumpuk literasi, masih ditambah nonton film pula. Itu juga ketika tulisan selesai masih kami tukarkan satu sama lain buat dikoreksi. Sungguh kebelaguan dalam menulis satu artikel yang seasu-asunya, kan?


Kok sampai segitunya?

Dari dulu saya selalu menganggap bahwa ngeblog adalah cara saya belajar nulis. Tidak beda jauh, Tiwi juga menyukai blog karena di sana ia banyak belajar. Maka bagi kami, menulis itu bukan mengajari. Menulis itu sendiri adalah belajar. Sebab dengan menulis, kami lebih banyak terpacu untuk belajar banyak.

Meski tidak muncul di page one jika mau mencari tulisan kami dengan kata kuci “disparitas”, tapi kami merasa senang telah menyelesaikan satu duet menulis. Lho kok tidak muncul di halaman pertama Google? KALAH SAMA KBBI.WEB.ID, CUK!

Harapan kami, program Disparitas bisa terus konsisten. Syukur-syukur bisa jadi satu majalah sendiri. Eaaa. Coba siapa yang tertarik dengan Disparitas versi e-book angkat tangan. Yuhuuu.


Iqro’ jilid 5: Andhika Manggala dan Proses Menghargai Perempuan

Iqro’ jilid 6: Dika Manggala, Militansi Laki-laki, dan Peran dalam Rumah Tangga

Namanya juga bertemu dari blog, sayang-sayangannya juga lewat perblogan gini jadinya. Coba kalau dulu bertemunya lewat Bigo. Bikin kolaborasinya di JAVHD kita.

Baiklah, itu saja kisah sederhana yang bisa saya ceritakan. Intinya, kalau ditanya, “Apa moment ngeblog terbaikmu?” Ya saya jawab, “Sayang-sayangan.” 


Kompetisi Ulang Tahun Warung Blogger ke-6
“Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun ke-6 tahun Warung Blogger