20 April 2016


Saya lahir dan besar di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Meski demikian, jika ada orang yang baru kenal lalu tanya saya orang mana, saya pasti jawab “orang Solo”. Iya, saya Solo tulen! Buktinya sekarang saya jomblo.

Oke. Skip.

Tulisan ini sebenarnya diawali dengan keresahan saya saat buka facebook. Ada postingan dari akun TravelingYuk dalam album foto “Traveling Yuk ke Solo”. Saya pribadi tidak ada masalah dengan tempat-tempat yang disarankan, yang jadi masalah adalah saat saya membaca kolom komentar. Komentar paling mainstream adalah; “wah, sejak kapan Solo punya pantai wkwkwk”, “admin ngawur, itu semua bukan di Solo”, hingga “terakhir aku ke Merbabu masih di Boyolali, sekarang pindah Solo, tho?” dan nada sinis lainnya.



Baik, saya rasa cukup pembukaannya, mari kita segera bicarakan tentang Solo dan Surakarta saja.

1. Melihat Solo-Surakarta dalam Perspektif Sejarah

Sangat panjang jika harus menulis sejarah Solo, mari kita peringkas saja.

Solo dan Surakarta adalah dua nama yang tidak menunjukan lokasi yang sama. Awalnya, kerajaan Mataram membangun pemerintahan di Kartasura. Ada yang menyebutkan karena adanya pemberontakan etnis tionghoa dan ada juga yang bilang karena kondisi bangunan tidak lagi kondusif, maka pada tahun 1745 ibukota Mataram dipindahkan oleh Paku Buwono II ke timur. Lokasi tepatnya di dekat Sungai Bengawan yang nama desa disitu adalah desa “Solo”. Untuk membedakan dengan Kartasura maka wilayah kerajaan baru tersebut diberi nama Surakarta. Dari situlah awal mula Surakarta dan Solo disebut sebagai satu tempat yang sama. Ingat, pada masa itu orang-orang tidak capek-capek mengoreksi kalau ada yang salah sebut antara Surakarta dan Solo, wong pak becak saja males ngoreksi typo kalau ada penumpang yang salah bilang Laweyan jadi Saweran atau Pasar Kliwon jadi Pacar Kelon. Paling gur cengengesan sithik karo mbatin ‘Kelon ndasmu jon, bojo wae ra ndue’. Skip.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Hindia-Belanda ada sistem Karesidenan yang dipimpin oleh Residen. Dalam lingkup Surakarta yang termasuk dalam Karesidenan adalah Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Boyolali, Sukoharjo, Klaten dan Surakarta itu sendiri. Sistem ini berakhir pada tahun 1950 lalu lebih sering disebut Eks-Karesidenan (Eks=Ex=Mantan). Ciri utamanya adalah plat AD yang mencakup semua wilayah tersebut.

2. Melihat Solo-Surakarta dalam Perspektif Wisata

Jika membicarakan Solo saja, kita hanya akan disuguhi lima kecamatan (Pasar Kliwon, Serengan, Laweyan, Jebres, dan Banjarsari) dengan destinasi wisata yang terbatas pada Kraton, Pasar, Taman dan Museum. Itupun kalau Tahu Kupat samping Masjid Solihin belum dijadikan destinasi wisata.

Nah sekarang saya akan merujuk pada postingan TravelingYuk dengan caption: “Selain terkenal dengan budaya kunonya yang fenomenal, wisata alam milik Solo ini juga sukses bikin kamu melongo”. Penggalan kalimat pertama “Selain terkenal dengan budaya kunonya yang fenomenal” mengindikasikan bahwa tim TravelingYuk ingin melebarkan sudut pandang dalam melihat potensi wisata Solo. Sebut saja yang dimaksud dengan budaya kuno adalah Keraton, Batik atau Museum, itupun masih saja ada yang komen “nyebut wisata Solo tapi Keraton dan Batik malah nggak dicantumin”, oh dude, serius kowe butuh tahu kupat!

Penggalan kalimat kedua coba kita lihat “wisata alam milik Solo ini juga sukses bikin kamu melongo”. Akhirnya kita tahu jika tim TravelingYuk menemukan destinasi wisata selain yang kuno-kuno dengan cara melebarkan pencarian, mereka menemukan wisata alam. Sebenarnya ditubuh kota Solo juga ada wisata alam, mereka belum riset sampai RRI saja sih. Coba ke RRI bagian belakang, beneran sukses bikin kamu melongo lho.

Nah, dalam upaya melebarkan pencarian wisata ini mereka mendapati beberapa lokasi wisata seperti pantai, gunung, kebun teh dll. Yang jadi masalah adalah beberapa orang Solo menafsirkan admin TravelingYuk tidak paham dengan batas wilayah hingga menyebut ada pantai di Solo, yang dimaksud pantai ini adalah Pantai Nampu yang terletak di Wonogiri. Hmm, kalau mau beneran nyoba pantai di Solo sebenarnya kita bisa main deket Solo Square, ada Pantai Waluyo #gojekanlawas.

Berikut saya sertakan nama-nama wisata yang jadi bahan rujukan TravelingYuk:

Gunung Merbabu : Terletak di Kab.Magelang kalau dari lereng sebelah barat dan Kab.Boyolali di lereng sebelah timur dan selatan. Dan kota Semarang di lereng sebelah utara.

Bukit Cumbri : Perbatasan Wonogiri (Jateng) dan Ponorogo (Jatim)

Kebun Teh Kemuning : Karanganyar

Paralayang Ngargoyoso : Karanganyar

GoKart Hartono Mall : Solo Baru

Batu Seribu : Sukoharjo

Batu Alap-Alap : Wonogiri

Bugelan : Wonogiri

Grojogan Sewu : Karanganyar

Gunung Besek : Wonogiri

Air Terjun Jumog : Karanganyar

Telaga Madirda : Karanganyar

Watu Gajah : Boyolali

Watu Kelir : Nah, ini yang rancu. Di Sukoharjo ada wisata curug wilayah watukelir yang emang daerah perbatasan. Kalo dari foto yang diupload TravelingYuk sih itu Telaga Biru Semin di Gunung Kidul (Jogja)

Pantai Nampu : Wonogiri
Gimana? Setuju tidak kalau itu semua diklaim wilayah Solo? Poin berikutnya sebenarnya masih ada hubungannya dengan perspektif wisata, tapi akan saya khususkan lagi.

3. Melihat Solo-Surakarta dalam Perspektif Brand Perniagaan
Mengapa saya sebut perniagaan? Pada dasarnya undangan TravelingYuk adalah untuk wisata jual-beli, bukan sekedar silahturahmi.

Jika ini tentang jual-beli maka saya akan mengutip Peter dan Olson (2000) yang mendefinisikan lingkungan konsumen dalam dua bagian, lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro adalah lingkungan yang sangat dekat dengan konsumen, yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Sedangkan lingkungan makro adalah lingkungan jauh dari konsumen, bersifat umum dan berskala luas.

Mari kita sikapi destinasi wisata di kota Solo dalam dua pembagian lingkungan ini. Dalam lingkungan mikro, sasaran pengunjung wisata (konsumen) adalah orang-orang yang tinggal di Solo dan sekitarnya. Seberapa besarnya lingkungan mikro ini bisa kita anggap sebagai wilayah eks-karesidenan Surakarta atau juga sering disebut Solo Raya. Orang-orang yang tinggal di wilayah Solo Raya tentu mengenal dengan jelas mana itu Karanganyar, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri dkk. Sehingga dalam upaya mengajak masyarakat Solo Raya untuk berwisata adalah dengan membranding tempat wisatanya sesuai dengan kabupaten, misal yang paling gencar “Visit Karangayar”. Saking gencarnya, teman maya saya di luar provinsi Jateng tahu mana itu Karanganyar dan potensi wisatanya, tapi beliau tidak tahu mana itu Sukoharjo.

Beda lagi jika berbicara melalui pendekatan lingkungan makro. Sasaran pengunjung wisata ini adalah orang-orang dari luar wilayah Solo Raya, entah itu untuk seluruh Nusantara atau bahkan mancanegara. Saya asumsikan jika saya di Jepang, ada orang Jepang yang bertanya “apakah di Indonesia ada makanan yang seperti ramen?”. Tentu saya jawab “Ya ada, kami menyebutnya mie ayam”, saya tak perlu spesifik menyebut “Ya ada, mie ayam Wonogiri”. Atau jika mereka mencoba mencari pembanding takoyaki, saya tinggal jawab “siomay”, tak perlu “siomay Bandung”. Karna kata penjelas seperti dalam contoh diatas, Wonogiri dan Bandung, bukanlah informasi yang dibutuhkan lawan bicara kita. Apalagi kalo mereka penasaran apa di Indonesia ada semacam Hitomi Tanaka, lalu saya jawab “ada, namanya Bakpao Megajaya...Enak Rasanya...”, lak yo awkward tho.

Penggunaan nama Solo untuk mewakili wilayah eks-karesidenan Surakarta sebagai brand wisata saya rasa cukup pas. Jadi wagu misal kita bikin jargon “Eks-karesidenan Surakarta The Spirit of Java” atau mungkin “Tertib Berlalu Lintas, Cermin Budaya Wong Eks-karesidenan Surakarta”. Saya rasa masyarakat di wilayah Solo Raya ini tak perlu meri jika potensi wisatanya diklaim Solo. Toh saat pengunjung datang lalu update lokasi mereka juga tahu lagi dimana. Toh kalau mampir di Ndoro Dongker tetap auto location-nya Karanganyar. Atau toh keceh di Nampu tetap pakai hastag explorewonogiri.

Atau coba yang di pulau seberang, misal orang Sulawesi atau Kalimantan, pengen main ke Pantai Nampu. Pas ngisi angket pemesanan tiket pesawat lak gak mungkin lokasi tujuannya langsung Wonogiri, kecuali kowe Bruce Wayne.

Kesimpulan

Setelah berpanjang lebar sudah saya utarakan diatas, saya pribadi setuju jika Pantai Nampu, Kebun Teh, Air Terjun, Gunung dan lain-lain itu dianggap milik Solo.

Solo dalam keyakinan saya –yang dipengaruhi referensi yang saya baca- memiliki tiga fungsi notion, yaitu:

1. Surakarta Hadiningrat sebagai notion royal (kerajaan)

2. Surakarta sebagai notion governmental (administrasi pemerintahan)

3. Solo sebagai notion of business and cultural (bisnis dan kebudayaan)

Wah, sudah ya segini saja yang bisa saya tulis. Kalau ada kesalahan data atau pemahaman yang meleset tolong dimaafkan dan dikoreksi. Kalau ada kesalahan ketik alias typo, ya udah biarin saja.

Terimakasih sudah baca, semoga bermanfaat. Salam.

Source pict: dewey.petra.ac.id