29 Juli 2016



Rilis pada tahun 2016, Sing Street memberi penyegaran bagi penonton film yang sebelumnya dimanja oleh film superheroes. Sing Street merupakan film racikan John Carney, yang dikenal sebagai seorang sutradara, penulis sekaligus komposer. Carney menjadikan tanah kelahirannya, Dublin (Irlandia), sebagai set dalam semesta film Sing Street itu sendiri. Dengan menguasai materi secara menyeluruh, Carney berhasil mendapat score bagus dari IMBD 8.1 dan Metascore 79 untuk Sing Street.

Sing Street bercerita tentang seorang remaja bernama Conor Lawlor (a.k.a Cosmo) yang mengalami berbagai tekanan, baik dari keluarga maupun lingkungan sekolahnya. Orangtua Conor mengalami kebangkrutan dari sektor ekonomi dan asmara. Ibunya yang diketahui selingkuh membuat suasana malam sering diramaikan oleh pertengkaran. Untung saja Conor memiliki kakak yang woles, Brendan Lawlor. Melalui Brendan inilah Conor mengenal dan mempelajari musik lengkap dengan falsafahnya.

Conor terpaksa belajar di sekolah baru demi menghemat biaya. Sayangnya, sekolah barunya ini semacam padepokan anak-anak badung. Sebagai murid baru yang terlihat lemah, Conor sudah pasti menjadi sasaran empuk para bullyers. Alih-alih mendapat perlindungan dari komite sekolah, Brother Bexter (Kepala Sekolah) pun turut serta memberi tekanan mental untuk Conor.

Di antara beragam tekanan yang Conor alami, beruntung lah ia bertemu dengan seorang perempuan yang tinggal tepat di seberang gerbang sekolah, Raphina. Perkenalan singkat yang penuh basa-basi absurd itu ternyata memberi dampak besar bagi kehidupan mereka berdua. Conor yang merasa hidupnya tak menarik berubah menjadi penuh gairah. Demikian juga dengan Raphina yang stuck dengan impiannya berubah lebih bersemangat dari sebelumnya.

Conor membuat kelompok band bernama ‘Sing Street’ demi mengesankan Raphina. Dari sini kita bisa melihat serunya membangun grup band, mulai dari perekrutan hingga rekaman. Bermacam kesalahan dan singgungan sudah pasti terjadi. Namun kuatnya cita akan menemukan jalannya.

Setiap babak yang disajikan dalam film ini merupakan representasi kehidupan yang sangat mudah dipahami. Seperti keputusan Conor untuk tampil idealis dengan rias wajah macam rock and roll ke sekolah. Teriakan ‘banci’ dan ejekan lain yang ditujukan untuknya dengan mudah ia acuhkan. Sayangnya, ditengah kuasa Brother Bexter lah idealisme Conor menguap bagai kuota telkomsel di antara YouTube dan insomnia.

Pertentangan yang paling menonjol dalam film ini bukanlah kontes musik macam Pitch Perfect. Melainkan pertentangan atas diri sendiri dalam mengambil setiap keputusan. Bukankah kita juga sering begitu, merasa ragu di tengah pilihan dalam hidup. Takut dengan akibat yang akan kita timbulkan jika salah mengambil keputusan. Ketakutan yang tidak bisa ditakhlukkan itu yang kemudian menjebak kita dalam zona nyaman. Masih mending sih kalau zona nyaman, parahnya lagi kalau terjebak di zona yang tidak kita sukai namun tak kuasa untuk beranjak dari sana.

Mencoba melawan intervensi yang terus menghantam, Conor menciptakan lagu-lagu sesuai dengan suasana hatinya. Besutan musik dari Eamon (gitaris) selalu memberi lantunan yang pas dengan semangat yang ingin dibawakan Conor dalam lagunya. Tak luput berkali-kali Brendan juga memberi arahan musik bagi Sing Street agar lagu yang diciptakan memiliki jiwa yang hidup di antara instrumen dan lirik. Lirik yang jujur dan musik bernas menjadi suara perlawanan baik itu melawan intervensi sekolah maupun melawan kemelut rasa cinta di pihak ketiga. #Eaaaaaa

Follow your dream adalah slogan yang tepat dalam film ini. Setiap orang pasti memiliki impian atau cita. Sebuah tujuan yang didambakan, diinginkan dan begitu dirindukan untuk dicapai. Sayangnya, tidak sedikit rintangan yang menghambat langkah kita untuk meraih sebuah impian. Masih mending hanya menghambat, beberapa diantara kita ada yang benar-benar terhenti dan merelakan impiannya menguap begitu saja.

Melalui Sing Street, saya memahami satu hal penting bahwa tidak semua orang yang mengejar passion itu bakal sukses mencapai impian. Lebih tepatnya tidak semua orang benar-benar sedang mengejar passion. Karena untuk ke arah sana perlu pengorbanan yang seringkali terlalu berat bagi sebagian orang. Dalam kasus ini, Conor berani melawan ketidakmungkinan yang mengekangnya. Dengan mempersetankan kepala sekolah dan keluarga yang retak, Conor menekuni dunia musiknya yang masih abu-abu.

Apakah yang dilakukan Conor mungkin kita tiru? Saya rasa sulit, sangat sulit. Bayangkan saja kamu benci dengan sekolah lalu memutuskan drop out demi mengejar passion-mu, misal ya bermusik itu. Pasti kamu takut dengan amarah orangtua, pertanyaan tak enak saudara dan cibiran tetangga. Belum lagi ketika keraguan muncul, misal kamu mulai membayangkan bagaimana jika kamu gagal. Tak ada ijasah yang bisa mem-backup di kemudian hari. Kurang takut apa lagi coba?

Itu juga masih dalam tingkat sekolah. Bahkan yang kuliah sekalipun sering juga terbentur tidak enak hati dengan keluarga. Lalu memaksakan diri menjadi mahasiswa meski hatinya di semesta yang berbeda. Ada beberapa mahasiswa yang bisa menjejali kehidupan kampusnya dengan upaya mengejar passion. Namun ada banyak yang pasrah membunuh impian-impiannya sendiri dan melakoni track kehidupan yang sudah ditentukan.

Membunuh impian itu sangat menyebalkan dan menyesakkan. Merasakan ketakberdayaan diri adalah prestasi paling memalukan dalam hidup. Saya iri dengan Conor yang sanggup memegang teguh tujuannya, mengejarnya, bahkan mempertaruhkan segalanya. Di samping itu, saya ini jenuh dengan motivasi follow your passion yang tidak aplikatif itu. Sebab tidak semua memiliki situasi yang memungkinkan untuk mengejar passion itu sendiri. Sah-sah saja bahkan bagus sekali jika kita mencoba untuk mengejar passion, asal harus siap dengan segala konsekuensi dan pertaruhan yang menanti.

Nilai-nilai kehidupan dalam film Sing Street inilah yang patut kita resapi lebih dalam. Hingga kemudian memunculkan beberapa pertanyaan seperti: Apa tujuan hidupku? Ke mana arah tujuan itu? Apa yang harus/ingin/bisa/suka aku lakukan untuk meraihnya? Apakah orang-orang di sekitar mendukungku? Apakah aku berjuang sendiri? Bagaimana aku melewati semua ini? Satu, dua atau lima tahun lagi aku akan seperti apa? Masih abu-abu kah atau mulai saat ini aku menggambarkannya?

Sing Street memang bagus untuk diseriusi. Namun, sebaiknya perlu sedikit rileks agar kejenakaan dalam film ini juga bisa dinikmati. Ada banyak sentilan-sentilan lucu yang nyelempit dalam dialog-dialongnya. Bagusnya, porsi lucu dan asmara diatur sedemikian pas hingga tidak mengaburkan esensi yang ditawarkan Sing Street. Dari yang saya paparkan di atas, sebenarnya masih ada nilai-nilai penting yang tidak bisa saya tuliskan semua.

Cukup sudah ocehan review saya tentang film Sing Street. Semoga ulasan saya mengenai Sing Street ini bermanfaat bagi kamu-kamu yang khusyuk membaca dari awal sampai kalimat ini. Jadi, kamu sudah nonton film ini belum? Yuk berbagi sudut pandang dengan berkomentar di bawah. Terima kasih sudah berkenan mampir. Sampai jumpa di tulisan saya yang lain. Caoo! 
Pict source: gannett-cnd.com

20 Juli 2016



Tinggal menghintung hari saya akan punya adik tingkat lagi. Bukan apa-apa, hanya saja saya tidak ingin takabur kalau dianggap pertapa suci. Sebagai mahasiswa babak akhir yang tak segera diakhiri, saya sebenarnya sudah cukup lelah dengan keterkejutan muda-mudi maba (mahasiswa baru) ketika saya menyebut bilangan tak wajar dalam tingkatan semester.

Mereka yang bercita-cita menyelesaikan kuliah dalam delapan semester tentu terheran-heran mengetahui level studi saya jauh di atas itu. Daripada disebut terheran-heran, lebih tepatnya mereka ketakutan setengah mati kalau nasib mereka bakal seperti saya. Sebab, tidak jarang yang masuk jurusan saya itu muda-mudi salah jurusan. Sama-sama tahulah rasanya kuliah di jurusan yang tidak diinginkan dan akhirnya mencapai fase stuck tidak tahu mana ujungnya.

Bisa dibayangkan bagaimana muda-mudi maba dengan mata berbinar-binar menatap masa depan itu tiba-tiba saja syok melihat pertapa skripsi seperti saya. Seolah impian dan cita-cita indah mereka saya runtuhkan begitu saja. Pada tahap ini daripada disebut Grandmaster, saya kok malah jadi merasa seperti Valak ya.

Pengalaman saya sebagai pertapa skripsi cukup beragam. Saya sering dimintai wejangan oleh muda-mudi adik tingkat. Mulai dari tanya celah-celah dosen hingga bocoran tugas kuliah. Bahkan sesekali ada yang mengadu tatkala ac tidak nyala atau kunci ruangan ketlisut. Pengaduan yang terlalu asu untuk saya jawab itu kok ya kurang ajar tenan ya. Kalau nanti benar ada muda-mudi maba yang mengadu masalah listrik dan air ke saya, sudah pasti bakal tak kamehameha kavum orismu lho dek.

Tidak cukup dengan itu. Saya paling jengah kalau ada pertanyaan “kamu ngapain di sini, Mas?”. Sekilas kalimat tanya itu biasa saja, namun yang demikian memiliki makna yang sangat dalam bagi saya. Saya ini kan pertapa skripsi, tentu mahasiswa fana akan bingung kalau lihat saya keluar dari gua pertapaan. Pertanyaan yang seperti itu mengingatkan saya pada dua hal. Pertama, saya harus kembali ke gua petapaan agar skripsi segera selesai. Dan kedua, saya sudah tidak artsy lagi untuk ongkang-angking di kampus atau sebut saja terlalu pakdhe-pakdhe!

Meski demikian, sebagai seorang pertapa tentu saya harus arif dan bijaksana menyikapi muda-mudi adik tingkat yang maha polos itu. Misalnya dengan tidak mengajarkan dunia pertapaan kepada mereka yang masih terlalu hijau. Jika mental mereka belum siap, jangankan menjadi pertapa, baru setengah jalan belajar jadi pendekar pun mereka pasti tumbang alias DO.
Kalau sedikit mengutip kata Sapardi sih lulus itu fana, yang abadi adalah skripsi. Yakin mau menapaki jejak ini? Huh!
Maka dari itu wahai muda-mudi mahasiswa baru yang saya sayangi. Jangan coba-coba menapaki jejak langkah saya menjadi seorang pertapa skripsi. Sebab jalan ini begitu terjal dan tidak jelas di mana ujungnya. Sebelum kamu tersesat sebaiknya percayalah pada wejangan saya. Jangan mudah tergiur menguasai ajian langit yang sekilas terlihat hebat. Pada kenyataannya kesempurnaan skripsi tidak sereceh kesempurnaan cinta. Segera selesaikan dan tak usah berlagak idealis pengen jadi sakti. Boro-boro jadi sakti, yang ada malah jadi sesak di hati.

Kampus adalah sebuah padepokan silat. Kamu bisa lulus dari sini dan menjadi pendekar (sarjana) hanya cukup dengan menuntaskan semua latihan dan ujian. Di akhir, kamu harus menciptakan sebuah jurus (skripsi). Jurus ini harus bagus dan kuat. Namun seringkali ada calon pendekar yang tergiur untuk memperdalam jurusnya bahkan menguasai ajian-ajian langit hingga menjadi seorang pertapa. Sebagai pendekar, kamu tidak perlu sampai menguasai ajian langit. Sebaiknya kamu segera selesaikan satu jurusmu saja. Jika ingin menjadi pertapa seperti saya ikutilah langkah yang benar dengan meneruskan kependekaran di jenjang berikutnya (S2).

Salam dari gua pertapaan. Doakan semoga jurus saya segera selesai.

Source pict: thegoodhuman.com

12 Juli 2016



Banyak di antara kita yang berpendapat jika facebook adalah barang lama, usang dan gak layak pakai. Bahkan ada yang merasa jijik macam najis mugholadoh gitu. “Yaelaah.. hari gini masih fesbukan? Instagram dong, Path dong..”. Banyak nyinyiran yang ditujukan pada user facebook yang masih aktif, tapi tetap yang paling hits adalah nyinyiran “Facebook? Alay!”.

Sebagai aktivis perfesbukan tentu saya merasa bingung dan tratatapan. Lha wong yang posting di IG atau Path saja kadang muncul di Facebook juga kok. Bahkan ada pula yang masih repot-repot upload foto bekas upload-an IG di beranda facebook. Hingar bingar itu saya cuekin saja, kalau kontennya mengganggu ya saya stop following, kalau enggak yaudah saya biarin.

Klaim alay yang melekat di facebook ini tak ubahnya catatan buruk dalam sejarah facebook di Indonesia. Karya Mark Zuckerberg ini ngeksis di Indonesia tepat saat saya duduk di bangku SMA. Sekolah saya itu statusnya agak paradoks. Dibilang anak gaul kota enggak, karena ada sekolah yang lebih gaul. Dibilang kampungan juga enggak, karena ada yang lebih kampung. Meski demikian paham yang paling banyak dianut oleh kami saat itu jelas alayisme.

Alayisme adalah paham yang berambisi pada ego dengan mengedepankan emosi sesaat, kelabilan absolut dan kenorakan yang masif (Ilham, 2016). Awalnya para penganut paham ini disebut alayist. Namun karena terlalu susah diucapkan dan diketik, akhirnya cukup disebut sebagai alay.
Hingga saat ini populernya alayisme masih cukup bias, apakah facebook yang membawa paham ini atau kebetulan saja paham ini muncul bertepatan dengan masuknya facebook di tengah masyarakat kita. Paham alayisme ini banyak dianut oleh para remaja pada tahun 2007-2012. Hingga kemudian mengalami fase renaissance pada tahun-tahun berikutnya.

Dengan melihat kronologi sejarahnya, maka wajar saja jika ada yang bilang fesbukers saat ini adalah alayist yang tertinggal. Masa lalu yang kelam akan selalu menjadi pro dan kontra. Ada yang mendukung digunakannya facebook kembali dan ada pula yang menentang. Tidak beda jauh dengan mantan. Ada yang ingin balen ada juga yang ingin move on. Dyar!

Dalam rangka memahami lebih jauh tentang hal ini, saya berdiskusi dengan seorang blogger nomaden, Bella. Dia ini teman saya semasa SMP. Namun perbedaan SMA dan juga ruang kuliah memberi jarak pada pertemanan kami. Satu-satunya yang merekatkan pertemanan kami ya facebook itu.

Dulu pernah di-block Bella (kampret) karena saya terindikasi alayisme kritis. Namun dengan semangat rennaisance ala Nicolaus Copernicus, dia membantu saya keluar dari kesesatan masa-masa itu. Hingga kemudian kami berdua sebagai fesbukers garda depan bersepakat pada sebuah teori.

“Bukan salah facebook kalau isi berita di timeline-mu buruk.”
Teori ini sangat jelas dan dapat dipercaya. Prakteknya, saya perlu sedikit repot membersihkan lingkaran pertemanan dari para alayist. Lalu menjalin pertemanan dengan orang-orang yang bermutu tinggi tapi harga tetap terjangkau seperti RA Jeans. Saya juga keluar dari grup gak penting, kemudian masuk di grup yang aktif dan sesuai dengan passion. Tak luput saya mengganti fanspage gaje yang dulu pernah saya ikuti dengan fanspage yang lebih edukatif, informatif dan talitha latief.

Selain ketakutan pada hantu-hantu alayist, orang-orang yang enggan memakai lagi akun facebook-nya juga terlalu skeptis dengan tingkat keapdetan. Kembali lagi dengan teori diatas, jika lingkaran pertemananmu adalah anak-anak apdet ya kamu gak bakal kudet. Tapi jika lingkaran pertemananmu memang orang-orang yang masih berdebat tentang penampakan dajjal dan hari akhir yasudah, aku mung isoh trenyuh.

Terlepas dari uraian yang saya tulis di atas, harus diakui jika setiap sosial media memiliki user-nya masing-masing. Saya yang cocok di facebook, mungkin tidak cocok di twitter. Yang cocok di Path, bisa juga tidak cocok di IG. Namun, jika kamu adalah blogger yang suka nulis pengalaman pribadi dan pemikiran abadi, saya rasa kamu bakal cocok main di Katanium. Setidaknya bisa dicek dulu, barangkali bisa menciptakan lingkaran pertemanan yang sehat jasmani dan rohani. Semoga apa yang saya paparkan memberi manfaat, kalau ternyata tidak ya mohon diampuni. Isohku ki yo mung nulis-nulis ora penting, sing penting iku gur status singgelmu.

5 Juli 2016


Malam lebaran, ketika jalanan yang biasanya hening berubah menjadi lautan manusia dengan kepentingannya masing-masing. Ketika kesunyian berubah menjadi hingar-bingar pestanya para animal simbolicum. Ketika itu pula saya duduk termenung di meja kerja, mencoba berpikir dan merasa, barangkali ada sesuatu yang perlu saya lakukan.

Jujur saja, saya ini orang yang kelewat sombong sampai jarang sekali meminta maaf di kala lebaran. Entah kenapa rasanya kok berat kalau saya meminta maaf tanpa tahu salah saya apa. Sudah menyakiti orang lain, pas minta maaf pakai kata-kata kopi paste standar lebaran itu kok kesannya kurang ajar sekali.

Dalam benak saya ada yang harus lebih didahulukan daripada meminta maaf, yaitu memaafkan. Saya percaya memaafkan lebih berat daripada minta maaf. Jika yang menghalangi seseorang untuk minta maaf adalah ego, maka penghalang seseorang untuk memaafkan adalah dendam.

Berbuat jahat pada orang lain lalu minta maaf itu standar. Kalau dijahati lalu memaafkan itu suangar.
Terlepas dari itu di malam yang syahdu ini saya bermaksud meminta maaf kepada para pembaca blog saya. Dalam menyajikan tulisan-tulisan di blog ini, saya akui masih level kacangan. Mengingat struktur penulisan ala sego mawut yang sudah pasti bikin pembaca bingung, atau isi tulisan yang tidak ada penting-pentingnya bagi anda, saya mohon maaf.

Empat tahun sudah blog ini mengejar eksistensi di dunia maya, dari awal mula masih alay sok asik kini jadi blog alay yang fix gak asik. Ada banyak sekali perubahan dalam blog ini. Mungkin masih ada yang ingat dulu blog ini bernama “Sadewa Blog” atau “Miniboy Blog”. Kalau beneran masih ada yang ingat dengan dua nama itu, saya ucapkan terimakasih karena berarti anda pembaca setia yang bisa tahan dengan ke-alay-an masa lalu. :D

Saya juga minta maaf jika ada yang mencari tulisan lama saya di blog ini dan sudah tiada. Ya. Saya sengaja menghapusnya. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti: njiplak tulisan orang lain, terlalu alay, terlalu gak penting, terlalu wagu dan segala pertimbangan yang sepertinya tak layak untuk dibaca ya saya hapus.

Dalam beberapa tahun sebelumnya, saya akui saya tidak serius dengan aktivitas ngeblog. Hal ini pasti membuat pembaca tidak nyaman. Misalnya tampilan blog yang awut-awutan, tampilan tulisan yang bikin sakit mata, penggunaan bahasa yang bikin muntah dan lain-lain, saya haturkan permohonan maaf lagi. Dan ketidakseriusan tadi mungkin juga membuat blogger lain tidak nyaman, untuk itu lagi dan lagi saya mohon maaf.

Tak luput untuk semua pihak yang kebetulan baca tulisan saya dan ternyata malah nama anda saya jadikan bahan banyolan, seperti Saiful Jamil hingga Duo Serigala (ngapain juga mereka sempet nyasar di mari). Dengan penuh khidmat dan ketetapan hati yang khusyuk, saya mohon maaf.

Sejauh ini, beberapa hal diatas adalah yang saya ingat dari kesalahan saya. Jika ternyata ada yang kurang, dengan senang hati saya menerima koreksi.

Selain itu, jika boleh jujur memang ada beberapa orang yang bikin risih. Misal iklan peninggi badan, judi bola dan obat kuat yang berceceran secara masif nan sistematis di kolom komentar. Atau orang yang kehabisan ide tapi punya semangat ngeblog sampai copas tulisan saya meski cuma dua artikel :D . Dengan riang gembira, saya turut memberi maaf. Terdengar sombong ya, hahahaha.

Semoga ajang maaf memaafkan ini tidak sekedar simbol lebaran tapi juga pemaknaan yang mendalam. Berjabat tangan tanpa ketulusan seperti Taro tanpa rasa rumput laut. Bermaaf-maafan sekadar formalitas seperti cinta tanpa pertengkaran kecil. Tidak lengkap, tidak utuh dan tidak afdhol. Harapan saya sih kita tidak terperangkap dalam budaya tahunan ini sebatas kulit luarnya saja. Tapi bisa tenggelam dalam esensi yang semestinya.

Selamat Berhari Raya dengan pemaknaan kita masing-masing kawan. Tetap kondusif, jaga kerukunan dan tak perlu anarki. Semoga teror ledakan-ledakan tidak terulang kembali, minimal tidak terjadi di sekitar kita. Sampai jumpa di postingan saya berikutnya. Terima kasih.

Regards.

2 Juli 2016


Pulang dari acara buka bersama, saya menyempatkan diri mampir ke minimarket untuk membeli cemilan dan sekaleng kopi. Pada saat antri di kasir, saya dapati pembeli lain dengan belanjaan yang kurang masuk akal kalau untuk dihabiskan dalam satu malam. Sirup empat botol, segepok permen, dua lodong astor dan satu gembrengan biskuit. Mata saya kemudian menerawang di balik pintu kaca minimarket sambil bergumam: “inikah yang dimaksud ‘hilal’ sudah terlihat?”.

Di daerah saya, untuk mengenali tibanya Hari Raya Idul Fitri sangatlah mudah. Ada beberapa gejala visual yang selalu terjadi: lihat orang belanja siang malam, lihat kembang api, lihat manusia dimensi lain jual uang baru, lihat beras, dan lihat orang-orang minta maaf tapi masih tidak sadar salahnya di mana. Jika semua gejala itu sudah terjadi, maka sudah bisa dipastikan lebaran jatuh pada esok harinya.

Hal ini kontras sekali dengan yang saya tahu di Tajikistan melalui buku Garis Batas (Agustinus Wibowo). Tepatnya di Yamchun ada dialog yang menarik, persis saya kutip dari buku seperti ini:

“Kakak,” saya berseru ke arah para pemandi, “suka sekali ya berendam di air panas?”

“Hari ini hari libur. Jadi kami segerombolan menyewa mobil jauh-jauh dari Ishkashim,” kata seorang dari mereka.

Hari libur? Hari libur apa?

“Masa kau tak tahu? Ini adalah hari Idul Fitri. Hari Raya penting bagi umat Muslim,” jawabnya.
Padahal beliau (Agustinus Wibowo) ini juga seorang muslim yang sedang di negeri mayoritas muslim pula. Namun penggambaran kondisi di Asia Tengah itu benar-benar berbeda sekali dengan Indonesia. Ketika kita berdebat elok tentang warung makan yang buka siang atau tentang satu dua gelintir kalimat “hormati yang tidak puasa”, ternyata di Dushanbe dan Istaravshan umat muslim enjoy saja menenggak vodka di pinggir jalan meski saat bulan puasa. Jadi yang diperdebatkan di awal puasa dulu tidak perlu dan tidak mutu.

Minal ‘Aidin wal Faizin, kalimat yang sering diucapkan setiap lebaran. Arti ucapakan itu sebagaimana yang kita tahu adalah ‘kita kembali dan meraih kemenangan’. Bagi saya ini cukup menarik untuk diperbincangkan. Saya meyakini kekuatan sebuah bahasa mampu mengkonstruksi budaya dari akar hingga ke seluruh cabangnya. Istilah ‘kemenangan’ rasanya memang sepele, tapi prakteknya ternyata tidak sesepele itu.

Masyarakat kita entah mengapa mengartikan kata ‘kemenangan’ dengan sangat rigid. Dalam banyak kejadian ‘kemenagan’ bisa disebutkan dalam beberapa konteks seperti kemenangan perang, kemenangan pertandingan, kemenangan cinta dan lain-lain. Dan belum lengkap disebut sebagai sebuah kemenangan kalau belum disimbolkan dengan perayaan. Kalau dalam masyarakat Jawa biasanya ada yang namanya tradisi syukuran, yaitu sebuah upacara yang melambangkan rasa syukur.

Alih-alih khusyuk menangis tersedu-sedu disela sujud malam, kemenangan ini dirayakan dengan pesta hedonistik. Simbol-simbol hedon ini bisa kita lihat dari gejala-gejala yang terjadi menyambut Idul Fitri. Misalnya kita lihat meriahnya petasan dan kembang api. Sekian ribu dijajakan untuk kenikmatan semata melihat indahnya letupan kembang api. Bahkan anak-anak yang lebih futuristik cenderung memilih petasan (entah estetisnya di mana) sebagai pemicu kesenangan mereka. Jangan kira ini hanya ulah isengnya anak-anak. Orangtua yang tidak melarang juga menjadi bagian dari pendidikan hedon usia dini.

Apalagi jika kita menelisik Jasa Tukar Uang Baru. Dilihat dari segi manapun kita akan temukan simbol hedonis nan materialis yang kuat. Bagaimana tidak, orang-orang rela ‘membeli’ uang yang sebenarnya nominal dan nilainya sama. Hanya demi sebuah kebaruan yang kalau dikasihkan ke orang lain biar kelihatan sedikit lebih elok. Dari sini kita temukan bagaimana uang pun nilai tukarnya bisa berubah jika dilihat dari segi fisiknya. Entah kenapa masyarakat kita suka menghindari substansi dan menjadi penghamba ‘kulit luar’.

Belum cukup dengan itu, dalam upaya menjadikan Idul Fitri sebagai hari se-perfect mungkin, orang-orang berburu kemegahan melalui busana dan asesorisnya. Gejala satu ini ibarat gado-gado komplit, sudah hedonis dan materialis ini masih dilengkapi konsumeris pula. Bagi pemilik modal jelas ini makanan empuk. Tinggal buka lapak bertuliskan ‘diskon’ yang sebenarnya bukan diskon juga, sudah bakal diserbu orang-orang. Apalagi jika melihat masyarakat kelas menengah kita sangat ingin mencitrakan dirinya seperti orang-orang kelas atas.

Jika melihat fenomena-fenomena itu saya merasa Hari Raya kok lebih fana dari Hari Kemerdekaan. Bicara religiusitas juga tidak penting lagi, karena tingkat ketaqwaan sudah seolah terwakili oleh pakaian bersih, baru, model kekinian dan semerbak wewangian surga. Para lakik tampil dengan baju koko yang dipadukan dengan celana skinny, belibet gelang dan potongan rambut undercut seolah mencitrakan sosok bad boy surgawi. Kalau sudah begini mustahil kalau mau membicarakan tragedi di Turki, karena Piala Eropa jelas lebih menarik.

Tapi mau bagaimana juga perayaan ini sudah mendarah daging di kebudayaan kita. Kalau diusik bisa-bisa kena gampar. Tulisan ini juga tak ada maksud untuk merendahkan, meremehkan atau mengusik kefanaan yang sudah mapan. Hanya unek-unek yang barangkali ada yang setuju. Sebab saya getir sekali, semakin ke sini untuk merayakan Idul Fitri kok foya-foyanya makin dahsyat. Seolah kalau belum membelanjakan uang besar-besaran takut ibadah Ramadhannya tidak diterima Gusti Allah. Lebih getir lagi kalau hedonnya ini takut dicap ‘orang tak mampu’ oleh keluarga atau tetangga alias GENSI. Duhhh.. Mau kembali suci kok mekso men.