18 November 2016


Namaku Marco. Tapi bukan Marcopollo. Kau bisa memanggilku Markonthil jika lidahmu baik-baik saja. Meski sebenarnya tidak pernah ada yang memanggilku dengan sebutan itu. Sebab, aku tidak punya siapa-siapa selain satu orangtua. Aku tidak memiliki teman. Aku tidak menjalin hubungan apa-apa dengan lingkungan sosial.

Aku sadari ada sesuatu yang lain dalam diriku. Aku memiliki cara pandang yang berbeda dari kebanyakan orang. Aku memiliki perasaan yang begitu mendalam dan sering berubah-ubah. Kadang aku bersemangat. Kadang aku putus asa. Kadang keduanya beradu menjadi satu. Mereka menyebutku pasien bipolar.

Aku suka sekali saat mengalami manik. Manik membuatku lebih menyala, lebih bersemangat, lebih antusias dan lebih positif. Serta yang terpenting dari semua itu, manik membuatku mengerti bagaimana rasanya hidup. Namun sayang, orang-orang itu menyebutku gila. Mereka menuduhku berhalusinasi. Padahal bukan aku yang tak masuk akal. Tapi mereka saja yang terlalu bodoh untuk memahami perbedaan.

Aku benci dengan sistem. Jadi kuputuskan untuk keluar dari tempatku bekerja. Aku bisa bertahan hidup dengan berburu susu gratis di Starbucks dan memakan saus di McDonals. Tapi ayahku melarang. Ia datang ke apartemen dan memberi ceramah yang teramat membosankan. Aku muak. Aku kabur. Lalu kupanjat gedung bertingkat. Di atap gedung itu aku duduk terdiam. Memandang bulan yang begitu terang. Aku percaya apa yang kulakukan ini akan membawaku pada sensasi manik. Aku ingin melihat langit malam seperti lukisan Vincent van Gogh. Sayangnya, belum sempat kusaksikan Starry Night dengan kedua mataku, dua orang berseragam serba hitam menemukanku. Aku digiring ke kantor polisi.

Ayahku yang mengatur semuanya. Kini aku dikirim ke rumah sakit jiwa. Berkali-kali aku katakan pada mbokdhe psikiater itu jika aku tidak gila. Aku hanya bergairah. Tapi ia tidak mau mendengarkan. Pancen asu tenan wong-wong iku. Aku ini tidak gila. Kenapa kok aku dianggap dan diperlakukan sepeti orang gila?

Dengan jumlah masa yang begitu banyak sedangkan aku sendiri, jelas aku kalah suara. Tudingan mereka terhadapku dianggap sebuah fakta. Mau tidak mau aku harus terbiasa dengan sebutan gila yang melabeli namaku.

Aku dimasukkan ke dalam sebuah kelompok bipolar. Aku benar-benar dibuat bosan dengan kelompok ini. Sampai aku bertemu dengan seorang perempuan yang membuatku kesal, Carla. Carla begitu bodoh. Ia begitu pesimis dengan hidup ini. Aku benci orang sepertinya. Ia membuat hidupnya begitu sia-sia. Payah.

Suatu ketika, saat kami duduk berkelompok untuk menggambar, aku menjelaskan pada dua pria di hadapanku jika aku memiliki kemampuan untuk membuat syair dengan rima kompulsif. Manik yang kualami membuatku dapat menemukan dan menyusun kata-kata yang berima. Kemampuan ini sangat berguna bagiku untuk melakukan rap. Carla menantangku untuk melakukan freestyle rap. ia menyebut beberapa kata seperti “anti-kristus”, “tak tahu malu” dan “sendiri”. Kata-kata itu menjadi acuan untuk kujadikan bahan freestyle. Sepeti yang sudah sepantasnya terjadi. Aku menang. Aku membuatnya bungkam.

Lalu kulihat ia memegang sebuah buku. Aku rebut buku itu dari tangannya. Lalu kubaca syair yang tertulis di buku itu keras-keras. Carla meronta mencoba merebut bukunya. Tapi ia tak sanggup menjangkau dan aku masih melanjutkan membaca syair-syair itu. Tangan Carla terus mendesakku. Peganganku tak seimbang. Secara tak sengaja lipatan cover buku itu tersibak. Mataku terbelalak. Aku melihat siapa penulis buku itu.

Ternyata buku itu adalah kumpulan syair-syair yang ditulis Carla. Carla adalah seorang penyair. Sebagai pengidap bipolar, aku mengalami moodswing ekstrim seketika itu. Tiba-tiba mulutku tertutup rapat. Aku merasa bersalah telah mencoba mempermalukan karyanya.

Hari-hari setelah itu aku tak lagi mengganggunya. Kupikir dia adalah orang bodoh yang enggan memanfaatkan potensinya untuk sesuatu yang berharga. Ternyata ia lebih baik dariku. Kecanggungan sempat terjadi antara kami. Dan entah kenapa aku selalu memperhatikannya. Aku tertarik padanya.

Sesama bipolar, kami kerap terbangun bersama-sama tepat pukul tiga pagi. Tanpa ada perencanaan sebelumnya, kami berdua selalu menghabiskan sepertiga malam terakhir di ruang gambar. Kami beradu pendapat dan wawasan. Hingga akhirnya aku yakin pada rasa yang timbul tak terbantahkan. Aku jatuh cinta padanya. Dia pun sudah pasti begitu.
 
Kami berdua menjalin hubungan asmara yang biasa saja. Tidak ada pesta, kemegahan, maupun sorak-sorai dari teman-teman yang mendukung. Aku dan Carla hanya menyelami cinta sebagaimana yang kami tahu. Kami ingin berdua terus-menerus. Itu saja.

Entah kenapa orang-orang di sekitar kami lah yang repot. Orangtua Carla menentang hubungan kami. Mereka pikir aku terlalu gila. Baiklah aku sudah terbiasa dengan sebutan gila. Tapi apa mereka tidak bisa membuka mata dan melihat bagaimana Carla bahagia bersamaku. Mereka bodoh sekali. Sudah bodoh, belagak tahu pula. Aku dan Carla sudah saling mencinta. Tidak perlu pakai logika rendah yang mencoba menjelaskan betapa beresikonya hubungan ini. Sebab aku dan Carla mencinta sebagai sesama pengidap bipolar. Kami berdua memiliki perasaan yang begitu dalam. Sehingga kami tidak mengenal cinta dalam konsep-konsep rasionalitas.

Hubunganku dan Carla terasa menyenangkan. Aku yang lebih sering dan sangat ingin mengalami manik membuat hubungan kami terasa berapi-api, bertujuan dan menyenangkan. Sedangkan, Carla yang dominan dengan depresifnya seperti menghujani hari yang panas. Meneduhkan, menyegarkan dan membuatku lebih tenang. Aku heran dengan orangtua Carla yang terus-menerus mengambil keputusan sepihak untuk anaknya. Hal ini tentu membuat Carla semakin hanyut dalam episode depresinya. Jika aku tak salah ingat, dalam Mourning and Melancholia yang ditulis Sigmund Freud mengatakan bahwa potensi depresi diciptakan dari periode oral. Maksudnya, waktu anak mulai belajar berbicara. Aku meyakini pasti Carla kecil melihat ketidakharmonisan di keluarganya saat itu. Tanpa disadari, Carla menyerap ketakutan dan keputusasaan yang membuat psikisnya terganggu. Ah, ini hanya dugaanku saja. Aku sama sekali tidak peduli dengan Carla di masa lalu. Aku mencintai Carla saat ini. Itu saja.

Tapi asu!
 
Orang-orang semakin gencar menjauhkanku dari Carla. Memaksaku minum obat-obat tai kucing itu. Sudah kubilang berkali-kali jika aku tak akan minum obat. Karena obat itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Untuk kali ini saja, kenapa tak ada seorang pun yang mendukung keteguhanku? Bahkan Carla.

Pada akhirnya Carla terlalu putus asa dengan hubungan kami yang selalu ditentang. Carla berhenti berontak. Ia minum obat dengan rutin. Aku benci dengan Carla yang sekarang. Ia berubah menjadi manusia yang membosankan. Manusia yang terlalu banyak memikirkan tetek bengek sampai secara sukarela memadamkan perasaannya. Manusia yang terlalu banyak berpikir dan lupa untuk merasa.

Aku tak mengerti lagi. Carla sudah berubah menjadi orang yang tak kukenal. Ia lebih memilih menjadi sosok yang diharapkan ibunya sampai-sampai membunuh Carla yang asli. Pada titik ini aku menyerah. Aku memutuskan untuk pergi dari hidupnya. Aku menghilang saja. Cinta sudah sirna. Kini aku sebatang kara.  
 
Carla (Katie Holmes) touchedwithfire.com
Berangkat dari buku berjudul Touched with Fire: Manic-Depressive Illness and the Artistic Temperament (1992), ditulis oleh Kay Jamison, telah berhasil diolah dengan baik menjadi sebuah film yang memunculkan kisah asmara Marco dan Carla. Touched with Fire garapan Paul Dorio sukses mengemas psikologi, sastra dan seni dalam cerita romance yang menyenangkan sekaligus mengharukan. Film ini didedikasikan kepada seniman, penulis dan musisi pengidap bipolar yang tercantum dalam bukunya Kay Jamison.

Source banner: touchedwithfire.com/

5 November 2016



Dunia psikologi selalu menjadi hal yang menarik bagi saya. Maka wajar jika film A Dangerous Method menjadi film yang membuat saya jatuh cinta kegirangan. Film besutan David Cronenberg ini berani mengangkat kisah pergumulan Carl G. Jung, Sabina Spielrein dan Sigmund Freud dalam layar lebar. Rilis tahun 2011, film yang membicarakan tentang psikoanalisa ini mendapat score 6,5/10 versi IMDB.

A Dangerous Method merupakan film biopic yang berangkat dari semesta Carl G. Jung (Michael Fassbender) yang penuh intrik tentang psikologi, cinta dan seks. Jung adalah seorang dokter jiwa yang menganut psikonalaisa dalam upayanya menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan kejiwaan. Salah satu pasien yang harus ia tangani adalah Sabrina Spielrein (Keira Knightley).

Sabrina memiliki gangguan kejiwaan yang serius. Sebelum Sigmud Freud (Viggo Mortensen) mencetuskan pengobatan kejiwaan dengan psikoanalisa, dunia kedokteran masih mempercayai jika gangguan psikis disebabkan oleh syaraf otak yang tidak semestinya. Untuk itu, biasanya mereka melakukan pengobatan dengan cara setrum otak. Berbeda dengan praktek brutal tersebut, psikoanalisa mengobati pasien dengan cara berbincang-bincang.

Melalui perbincangan tersebut, Jung berhasil mengulik masa lalu Sabrina. Diketahui sejak umur empat tahun, Sabrina mengalami tekanan fisik dan emosional yang disebabkan oleh ayah sadisnya. Dipukul, dicambuk, ditelanjangi dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan trauma berat bagi Sabrina. Pada akhirnya, Sabrina dewasa diketahui memiliki orientasi seks yang tergolong abnormal, yaitu masokis.

Salah satu teori psikoanalisa yang ditawarkan Freud adalah ranah kajian yang bermain-main dengan alam ketidaksadaran (unconscious). Freud percaya jika setiap manusia memiliki alam bawah sadar yang merupakan dorongan-dorongan yang timbul pada masa kanak-kanak, di mana oleh suatu hal terpaksa ditekan sehingga tidak muncul dalam kesadaran. Pada kasus Sabrina kita tahu jika masa kecilnya mengalami pergolakan fisik dan mental yang begitu kuat. Hal ini ternyata berdampak besar baginya di masa dewasa. Di mana ia memiliki rangsangan seksual dengan cara menyakiti diri sendiri.

Salah satu scene menarik adalah saat mantel yang Sabrina kenakan jatuh dari pundaknya. Jung mengambil mantel itu dari tanah lalu membersihkannya dengan cara memukul-mukul mantel dengan tongkat. Sabrina yang melihat itu langsung panik. Ia mendadak memutuskan untuk pulang. Benar saja, ternyata apa yang dilakukan Jung telah membuat Sabrina sange. Lantas Sabrina menuntasnya gairah seksnya itu dengan masturbasi. Saya yakin, Sabrina dulu waktu sekolah di SDN Bulu Kanthil 1 pasti lari terbirit-birit kalau ada teman sekelasnya yang belagak main perkusi pakai meja.

Masokis sendiri adalah dorongan untuk mempersakiti diri sendiri yang sifatnya patologis. Asal kata ini didapati dari nama seorang penyair roman Austria, L. Von Sacher Masoch. Di mana ia sering menciptakan tokoh yang suka menyakiti diri sendiri. Untung saja Kanjeng Dimas Taat Pribadi itu bukan penyair. Bisa-bisa ia bikin tokoh yang mendapat dorongan seks saat melihat peristiwa penggandaan uang. Tiap jam enam pagi pasti si tokoh pergi ke warung sebelah buat tukar uang seribu jadi dua keping lima ratusan. Sampai rumah langsung onani. Mantap!

Terlepas dari penggandaan uang yang aneh itu, masokis ini pada umunya dibagi menjadi dua kecenderungan. Ada masokis moril, yaitu dorongan yang dimuati unsur-unsur rasa bersalah dan dosa besar, terutama ditujukan pada kekasih atau relasi terdekatnya. Dan satunya lagi ada masokis erotis, yaitu dorongan untuk bersedia menderita kesakitan hebat demi cinta. Dalam A Dangerous Method, Sabrina lebih besar mengarah ke masokis erotis. Maka jangan kaget jika kita nantinya akan melihat si manis Keira Knightley dicambukin pantatnya.

Sabrina dan Jung yang semula hanya sebatas pasien dan dokter pada akhirnya baper juga. Di sini kita bisa menyempurnakan pepatah jawa, ‘witing tresna jalaran saka kulina, kulina mecuti’. Jung yang sudah berkeluarga ternyata bisa goyah. Ia mendapat pengaruh dari seorang psikoanalis bermasalah bernama Otto Gross (Vincent Cassel). Gross adalah orang yang tidak mempercayai mitos-mitos monogami. Baginya, dorongan seks tidak akan pernah selesai meskipun seseorang telah menikah. Maka ia memilih keluar dari jeratan monogami dan melepaskan diri terhadap seks bebas.
"Cambuk aku pakai kesempurnaan cintamu, Mas". (Source: wall.alphacoders)
Pemikiran itu berhasil membuka gerbang kejatuhcintaan Jung terhadap Sabrina. Berhubungan seks jelas mereka lakukan. Di samping itu, bromance yang terjadi antara Jung dan Freud juga tak kalah menarik. Di mana lagi kita bisa melihat dua tokoh besar nan penting itu berbincang seru. Saya yakin nama Freud tak asing lagi karena memang pemikiran-pemikirannya sering dipakai di banyak bidang kajian. Mulai dari psikologi itu sendiri hingga merembet ke sosiologi, antropologi, seni, sastra, dan lain sebagainya. Sedangkan Jung ini paling tidak kita sudah familiar dengan teori pembagian karakter manusia menjadi tiga golongan. Yaitu introvert, ekstrovert dan ambivert.

Sabrina Spielrein yang awalnya memiliki gangguan psikis ini pada akhirnya berhasil disembuhkan. Lebih dari itu, ia malah menjadi ahli psikoanalisa sebagaimana Freud dan Jung. Salah satu keunikan yang dimiliki Sabrina adalah sudut pandangnya tentang psikologi seks yang pernah ia alami sebagai ‘orang gila’. Dalam teorinya, Sabrina berpendapat jika dorongan seks sesungguhnya adalah ego. Di mana untuk mencapai sebuah kepuasan seks, kedua belah pihak harus bersama-sama memenangkan ego.

Sayangnya dalam rezim patriarki kita dihadapkan pada sebuah stigma di mana laki-laki lah yang memiliki kuasa atas seks. Kepuasaan laki-laki dianggap sebagai parameter keberhasilan seks. Seolah laki-laki memiliki pengetahuan dan cara melakukan seks yang lebih baik daripada perempuan. Hal ini tentu meresahkan kaum perempuan. Sebab dalam melakukan hubungan seks akhirnya terjadi ketimpangan. Laki-laki selalu mengambil peran dominan. Padahal perempuan juga boleh mengambil posisi itu. Laki-laki terus-terusan berupaya menuntaskan genjotannya hingga peju-peju meyeruak keluar. Sampai lupa, apakah pasangannya merasakan sakit atau justru belum orgas tapi si batang udah dicabut.

Lagi-lagi psikoanalisa berhasil membuka gerbang pengetahuan ini. Saya ingat bagaimana sejak kecil selalu diajarkan bahwa laki-laki itu selalu lebih, lebih dan lebih daripada perempuan. Baik yang diajarkan dan dibiasakan oleh keluarga atau lingkungan sekolah. Imbasnya, laki-laki maupun perempuan terjebak dalam hegemoni patriarki yang tak pernah selesai. 
Duo pakdhe psikoanalis idaman ibu-ibu arisan Kencana Bakti. (Source: wall.alphacoders)
A Dangerous Method boleh jadi memiliki judul yang terkesan ngeri. Namun, dalam eksekusinya justru kita akan disuguhkan perbincangan berbobot yang mengagumkan. Bisa jadi untuk yang lebih suka film aksi dan horor akan bosan menonton film ini. Sepanjang durasi kita hanya akan disuguhkan tiga orang itu ngobrol-ngobrol. Aktor dan aktris yang bermain dalam film ini memiliki peforma yang luar biasa. Bahkan Viggo Mortensen menurut saya berhasil memberi kesan egois, idealis, cerdas dan berkelas dalam sosok Sigmund Freud. Keira Knightley pun tampil bagus saat menjadi orang gila, bahkan rela memperlihatkan es krim imutnya kepada penonton. Demikian pula dengan Michael Fassbender yang turut sukses menarik perhatian penonton ke dalam semesta Carl G. Jung sebagai poin of view dalam film ini.

Menurut saya A Dangerous Method menjadi penting dan perlu ditonton. Seperti kamu yang tiba-tiba menjadi penting dan perlu dicintai. Meski jika dikejar apa alasan untuk mencintai itu sudah pasti tidak berhasil ditemukan. Sebab semesta bermain dengan cara-cara abnormal. Freud pun sudah tentu kesulitan untuk menafsirkan guratan-guratan angan kita yang tidak pernah selesai. Atau Sabrina dan Jung yang memilih menggerutu iri di balik asyiknya sengatan cambuk yang meronakan pantat ginuk-ginuk.

Tarakdungdes.


Intinya A Dangerous Method ini film yang bagus. Sebaiknya disaksikan dengan kecermatan yang tajam agar tidak bingung. Selamat menikmati filmnya. Makasih sudah menyimak. Cheers.