Berpisah dengan kekasih boleh jadi sesuatu yang teramat menyakitkan. Ditinggal nikah apalagi. Deretan mantan memang memberi banyak pengalaman-pengalaman cinta. Petualangan birahi jangan ditanya. Namun, dibalik semua itu saya percaya. Tak ada yang lebih menggemaskan dari mengingat-ingatnya.
Saya mulai berpacaran saat duduk di bangku SMA. Sementara teman-teman saya yang lain sudah memulainya saat SMP. Sebagai Romeo yang tertinggal ribuan tahun cahaya, saya belajar menjalin hubungan asmara secara otodidak. Tentu saya malu kalau harus tanya ke teman-teman yang sudah berpengalaman; saya harus bagaimana, saya harus ngapain, saya harus keluar di dalem apa di udel. Semua pertanyaan itu saya cari jawabannya sendiri, demi mewujudkan cita-cita saya sebagai Arjuna berdikari.
Jadian. Putus. Balikan. Putus. Jadian. Putus. Balikan. Putus.
Sudah. Siklus percintaan masa-masa remaja ya begitu-gitu saja. Berharap mendapat kisah asmara sastrawi macam Den Bagus Arjuna dan Dewi Sumbadra jelas perkara yang muskil. Lha wong jajan di kantin saja masih sering lupa bayar secara sadar, kok berharap cinta-cintaan yang romantis. Edan po?
Di samping itu, dalam rangka menyambut Masyarakat Ekonomi Asean, muda-mudi bangsa ini sudah mulai berpikir dan bertindak secara kompetitif. Termasuk kompetisi cinta. Perebutan kekasih idaman tentu mewarnai hari-hari perjuangan mereka di sekolah. Mulai dari main labrak hingga nikung alus mereka lakukan demi terwujudnya hubungan asmara yang sublim. Melihat gejala positif ini pemerintahan kita semestinya segera mendirikan Badan Percintaan Kreatif untuk menampung gerakan-gerakan kompetitif dalam bercinta.
Tingginya persaingan cinta di lingkungan sekolah itulah, mau tak mau saya harus meninggalkan masa putih abu-abu dengan sederet mantan. Dalam perenungan saya, mantan adalah duta kenangan. Bagaimana tidak? Setiap kali bertemu dengan kawan-kawan lama, pasti selalu saja muncul pertanyaan ‘si Martina gimana kabarnya? Reny gimana? Masih sama dia atau ada enggak?’. Kalau sudah begitu, biasanya merembet pada hal paling absurd di dunia. Kepo instagram.
Mengobrak-abrik kenangan melalui akun instagram mantan adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Sebab di sana biasanya saya menemukan penyesalan-penyesalan yang membahagiakan. Misalnya, Martina yang dulu waktu SMA tidak begitu banyak dikenal orang. Teman sekelas saja sering kelupaan kalau Martina adalah penduduk kelas itu. Parahnya, saya sendiri juga kerap lupa kalau dia pacar saya. Nah, setelah kepo instagram barulah diketahui sekarang ia menjadi sosok yang dipuja. Dunianya tak lagi melingkupi bangku kelas dan ranjang UKS. Kini, ribuan followers menemani hari-hari travelling dan kulinernya.
Kalau sudah begitu, biasanya saya manggut-manggut bahagia saja. Seingat saya, saya tidak pernah mencoba menghubungi mantan. Apalagi ngajak balikan. Meski hasrat untuk melakukan itu seringkali menghantui. Tapi waktu tetap lah waktu. Waktu tidak pernah berjalan mundur. Cerita-cerita lama yang dibawa waktu tidak akan pernah kembali. Biarkan saya tetap menjadi bajingan terindah di masa lalu mereka.
Kepo instagram mantan ternyata juga bisa membuat nafas tersenggal dan jantung berdegub kencang. Saya pun mengalami yang namanya kerasukan kenangan. Hal ini terjadi jika mantan yang paling saya harapkan kelajangannya ternyata sudah taken. Upload mesra kedua insan yang tengah dimabuk birahi mau tak mau harus saya saksikan. Apalagi kalau ada foto yang menampakkan si mantan gelendotan di bahu kekasihnya. Atau justru si pria kampret yang ndusel-ndusel di pelukan mantan saya. Sepertinya semakin saya scroll instagram mantan, jarak antara saya dan ajal semakin dekat.
Selain kenangan, mantan juga meninggalkan misteri dan urusan-urusan yang belum selesai. Seperti barang-barang yang terpinjam atau janji-janji yang masih mengambang. Kalau soal janji bisa dianggap lenyap ketika hubungan sudah kandas. Nah, yang jadi masalah itu barang-barang terpinjam. Kalau ingin mengembalikan barang tersebut otomatis saya harus menghubungi mantan lagi. Sebagai inlander asmara tentu saja nyali saya ciut. Alhasil, saya harus menyimpan barang-barang itu dengan baik. Meski saat membersihkan debu yang menempel di kulit mereka membuat gairah rindu saya tercabik-cabik. Apalagi kalau nemu foto, surat dan nota belanjaan. BABIK!
Dulu, saya dan Reny memiliki kebiasaan menyimpan kertas nota saat belanja atau makan di suatu tempat. Nota-nota itu sampai sekarang masih saya simpan. Beberapa ada yang masih tercetak jelas. Beberapa yang lain mulai menipis dan aus. Saking ausnya, tulisan yang pernah tercetak di selembar kertas kecil itu lenyap. Lalu masih saya simpan.
Bagi orang lain jelas kertas nota tak bernilai apapun. Bagi saya, kertas-kertas itu semacam metafora romantisme yang tak ternilai. Kertas nota tidak lagi dimaknai secara denotatif sebagai keterangan harga dari barang atau makanan yang sudah dibeli. Tapi secara konotatif, kertas nota merupakan cetakan peristiwa-peristiwa indah yang pernah terjadi di masa lalu saya.
Sebagai pria melankolis, tentu saya tidak bisa menghindari kerinduan saat membuka kembali artefak-artefak kenangan. Artefak kenangan adalah representasi syntagmatic dari konsep-konsep kontemporeris hati dimana perpaduan antara jengkel dan rindu menyatu disana. Pada akhirnya, mengobrak-abrik hal-hal yang belum selesai dengan mantan menjadi momentum ambivalen yang seasu-asunya. Jika ingin kembali kok ya masih ada rasa jengkel. Jika memutuskan untuk pergi kok ya rindunya susah hilang.
Andai saja ada jasa laundry yang bisa membersihkan masa lalu saya, sudah pasti saya akan memakai jasa itu. Sayangnya, masa lalu tak seperti kaos oblong atau sempak. Noda yang ada di masa lalu tak bisa serta merta dilenyapkan begitu saja. Ingatan manusia memang ada batasnya, celakanya yang sering diingat kok justru kenangan-kenangan mantan. Kok bukan pelajaran-pelajaran fisika beserta ilmu-ilmu kuantumnya.
Beberapa teman saya banyak yang mengakhiri masa lalunya dengan cara membuang semua barang-barang yang berkaitan dengan mantan. Jejak-jejak mantan dipercaya sebagai penghambat seseorang untuk move on. Sedangkan saya masih percaya jika hal itu hanya mitos belaka. Artefak kenangan tidak menghambat saya untuk move on.
Artefak kenangan adalah cara saya untuk mengingat betapa bajingannya saya dulu. Membuka kembali artefak kenangan memang bisa menggoyangkan niat hati yang ingin move on. Tapi justru itu tantangannya bukan? Hal-hal yang tak selesai dengan mantan tidak akan pernah selesai. Tidak sedikit pun terselesaikan meski kita membuang atau menghapus semua artefak kenangan.
Saya bukan orang yang suka dengan acara-acara simbolis. Membuang artefak kenangan tentu bagi saya hanya ceremonial belaka. Jika saya melakukannya berarti dulu saya memadu kasih hanya dalam peristiwa-peristiwa simbolis saja. Berarti dulu saya memberi kado bukan karena sayang, tapi karena itu simbol ‘wajib’ pacaran. Berarti dulu saya nraktir makan bukan karena sayang, tapi karena pria ‘wajib’ melakukan itu pada pacarnya. Apakah demikian?
Mantan menjadi mantan bukan karena hubungan kandas semata. Mantan menjadi mantan karena ia membuat saya jengkel dan rindu dalam satu waktu. Segathel apapun mantan, mereka tetap lah makhluk ciptaan Tuhan yang pernah mampir untuk membahagiakan saya. Sebagai insan berbudi pekerti luhur meski hati babak belur, saya harus mensyukuri setiap orang yang pernah datang pada saya. Karena sedikit atau banyak, mantan tetap memberi pelajaran hidup yang berarti.
Kalau terpaku pada mantan, apakah hati bisa terbuka untuk orang baru yang mau menggantikan posisi mereka?
Bisa.
Mantan ya sudah mantan. Hal-hal yang tak selesai ya biarkan saja tak selesai. Untuk membuka hati yang baru tak perlu membersihkan hati yang lama. Cukup dengan menutupnya rapat-rapat. Lalu buka ruang hati yang lain. Hati yang masih bersih. Hati yang belum tersentuh oleh mantan.
Hati ini seperti rumah yang terdiri dari kamar-kamar. Kamar satu, dua, tiga, empat dan lima sudah pernah disinggahi mantan-mantan. Jika ingin memasukkan orang baru cukup tutup rapat kelima kamar itu. Lalu buka kamar keenam. Persilakan ia masuk. Nyalakan musik yang syahdu dengan volume 90%. Rebahkan tubuhnya. Bergumul lah.
Sudah ah. Sendu amat.
Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Kita sama-sama tahu lah jika judul tulisan ini disadur dari kumpulan essai Goenawan Mohamad, ‘Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai’. Bukan bermaksud mengganti posisi Tuhan dengan mantan. Hanya saja dalam kasus cinta kronis, saya temukan ada orang yang sulit sekali melupakan mantan. Dari bangun tidur sampai kembali tidur tetap teringat mantan. Padahal mantannya ya sudah pergi. Yang selalu ada buat kita itu ya Tuhan. Semoga ini bisa jadi bahan perenungan buat kita. Kembali lah ke jalan yang benar wahai saudaraku. Mari kita bertaubat. Cheers.