14 Juli 2017



Salah satu kecemasan saya sebelum nonton film Spider-Man Homecoming adalah sosok villain yang membuat saya bertanya-tanya, “Apakah musuh Spider-Man kali ini bisa lebih mencekam dari sebelumnya?”
Makna ‘sebelumnya’ yang saya maksud bisa berarti dua hal, yaitu pagelaran Spider-Man versi Tobey dan Andrew, serta beberapa film balutan MCU yang tayang sebelum Spider-Man Homecoming.

Begini, kita sama-sama tahulah kalau di film ketiga Spider-Man versi Tobey, ada musuh besar bernama Venom. Adapula villain yang menjadi inspirasi bagi Rumor Band untuk membuat lagu berjudul Butiran Debu. Bisa menebak? Ya, Sand-Man. Meski pada akhirnya saya merasa cukup sebal karena Venom terlalu mudah ditumpas dan Sand-Man yang tidak bisa dihancurkan itu memilih taubat nasuha.

Lalu di dalam versi Andrew, Spider-Man berhadapan dengan villain bernama Rhino dan Electro yang saya ekspektasikan bakal sangat menegangkan. Lalu benar menegangkan? Ya. Dan saat tegang-tegangnya tiba-tiba film bubar. Sungguh ending film yang seasu-asunya.

Lantas apakah Spider-Man versi Tom Holland bakal menyuguhkan villain yang untouchable juga?

Tunggu. Ada yang lebih membuat saya khawatir.

Dalam rangkaian film Marvel sebelumnya, jagat raya ini hampir dikiamatkan oleh oknum-oknum super yang kurang kerjaan. Sebut saja Dormamu dalam film Doctor Strange (2016). Sihir jahat yang maha kuat dari dimensi lain itu hendak memakan bumi, lho. Untung saja Pak Dokter bisa menyelamatkan dunia ini meski harus melangagar hukum alam.

Setelahnya, di film Guardian of the Galaxy vol.2 (2017) kembali lagi dunia terancam kiamat. Siapa musuhnya? PLANET! Did you see madervaking that? Setelah dunia ini terancam lenyap gegara sihir jahat dari dimensi lain, kali ini dunia bakal diledakan oleh planet lain. Ingat, bukan penduduk planet, lho. Tapi planet itu sendiri. Planet yang hidup dan berambisi meleburkan planet-planet lain. Wuasyu tenan.

Nah, setelah ancaman dunia yang sangat mencekam itu terlewati, apakah villain dalam Spider-Man juga akan membawa beban yang sedemikian dahsyatnya juga?

Usut punya tuntas, ternyata kekhawatiran saya terlalu berlebihan. Setelah menyaksikan film Spider-Man Homecoming, saya benar-benar harus menarik kekhawatiran tersebut.

Pasalnya, film garapan Jon Watts itu benar-benar mempersempit dunia Marvel ke dalam hidup Peter Parker. Relasi kuat yang menghubungkan Dik Peter dengan keluarganya, sekolahnya, percintaannya, dan impiannya sebagai bagian dari Avengers berhasil dipadatkan dalam durasi 133 menit. 



Sosok Vulture sebelum dan sesudah Raisa menikah
Jika kita sering membicarakan tentang isu daur ulang sampah yang harus dikelola demi menjaga dunia dari ledakan limbah, maka sebaik-baik kreasi daur ulang sampah itu adalah Vulture. Villain yang lahir dari kolase limbah alien tersebut adalah bukti nyata betapa pelajaran kesenian dan fisika tidak semestinya ditinggal bolos.

Adrian Toomes (Vulture) pada awalnya adalah petugas bersih-bersih limbah alien pasca tragedi New York di film Avengers (2012). Setelah lahan pekerjaannya diambil oleh pihak yang lebih berwenang, Toomes kemudian membuat perangkat canggih dari limbah alien yang sudah ia amankan sebelumnya. Berbekal perangkat canggih itu, Toomes mencuri limbah alien yang sudah diangkut oleh tim DKP. Wkwkw.. DKP ndasmu!

Melihat ketidakbenaran itu, maka beraksilah Spider-Man untuk menghentikan aksi Vulture. Padahal kalau menurut saya nih, mereka berdua sebetulnya tidak perlu pakai berantem segala. Karena yang salah sebenarnya adalah pihak DKP yang lupa memberi peringatan “Pemulung Dilarang Masuk”. Udah itu saja persoalannya.

Mungkin karena memang Jon Watts bukan Pak RT sih, ya. Jadi masalah seperti itu sukar ia selesaikan dalam keadaan yang arif. Lho, tapi kan Toomes itu sudah bukan pemulung lagi?! Oiya, bener. Toomes yang awalnya berprofesi sebagai pemulung, kini bertransformasi menjadi pencuri ulung.

Jujur, Vulture itu keren. Dia cerdas, visioner, tekun, dan disiplin. Kalau saja anak buahnya tidak belagu, Vulture bisa jadi lebih berbahaya dari yang sekarang. Apalagi UMKM yang ia kembangkan secara underground itu sangat berpotensi memperluas ancaman bagi keamanan dunia. Jika ia disokong oleh Hidra, wuiiih, bisa gawat, ya kan? 



Kostum The Shocker seperti Chiki apa nanas, sih, ini?
Selain Vulture sebagai villain utama, dalam film ini Spider-Man juga harus berhadapan dengan satu villain lain. Ya, The Shocker.

Mengenai villain yang memiliki pukulan keras ini, saya harus bersyukur atas kesahajaan Jon Watts yang tidak memberinya kostum. Please, kalau film Spider-Man selanjutnya sosok ini harus muncul, tolong bingit jangan beri dia kostum seperti dalam wujud komiknya. Koneng-koneng seperti bungkus Chiki terus ada semacam jaring-jaring cinta yang membungkusnya? Wagu!

Etapi sosok Vulture jadi jauh lebih keren daripada wujud aslinya, sih. Apa The Shocker juga bisa demikian? Ah, entahlah. Menurutku sih sudah bagusan wujudnya yang disajikan di Spider-Man Homecoming itu.

Porsi The Shocker memang tidak begitu banyak, sebagaimana porsi yang diberikan untuk The Tinkerer. Kalau boleh memprediksi, kurasa kedua villain ini akan bersatu lagi untuk melawan Spider-Man di film selanjutnya. Bahkan lebih dari itu, aku percaya keduanya bakal melibatkan villain encus-encus yang muncul sekilas di pertengahan credit scene.

Siapa dia? 


Tatto kalajengking adalah bukti teror The Scorpion yang nyata
Tak lain dan tak bukan adalah Mac Gargan, atau yang dijuluki dengan The Scorpian. Sebagaimana julukannya itu, villain satu ini punya ekor layaknya kalajengking yang siap mengencus-encus siapa saja yang tidak percaya bahwa Susan bisa jadi dokter. Ehem.

Sebelum berpikir yang aneh-aneh tentang bagaimana Mac Gargan mendapat kekuatannya, seperti misalnya ada yang mikir dia disengat kalajengking super lalu pantatnya tiba-tiba muncul ekor guedhe, please, hentikan imajinasi menjijikan itu.
 

Seperti yang sudah saya sempat singgung di atas, dalam film Spider-Man Homecoming ada villain jenius, berjuluk The Tinkerer. Kehadiran The Tinkerer menegaskan bahwa villain yang berhadapan dengan Spider-Man memiliki pangkal yang sama, yaitu teknologi. Pastilah The Scorpion termasuk villain yang dilahirkan oleh kecanggihan teknologi juga.

Ya, tidak beda jauh dengan Vulture dan The Shocker. 


The Tinkerer membuktikan bahwa kebuncitanmu sekarang bukanlah apa-apa.
Lalu bagaimana dengan The Prowler?

Hah? Siapa lagi, tuh? Kok filmnya jadi berasa bertebaran karakter penting, sih?

Sama seperti karakter The The The yang lain, tokoh ini mendapat porsi yang tak banyak. The Prowler adalah alter ego dari sosok mas-mas kribo yang diinvestigasi oleh Spider-Man di parkiran Gramedia. Wkwkwk.. Gramedia ndasmu!

Namanya Aaron Davis, kemunculannya membuat ramai timeline karena hal itu menandakan keterlibatan Miles Morales di dalam semesta yang sama dengan Peter Parker.

Wow! Miles Morales?! Spider-Man berkostum merah hitam?! Superhero keluaran PDI Perjuangan?! Yeah! Kira-kira begitulah warganet menyambutnya. 



The Prowler seusai belanja buku di Gramedia
Dari sekian film Spider-Man yang pernah dibuat, menurut saya versi Tom Holland adalah yang terbaik. Film ini memiliki potensi yang besar untuk berkembang. Peter Parker masih harus lulus sekolah, menjalin kisah cinta dengan MJ, lolos SBMPTN di Empire State University, selingkuh dengan Gwen Stacy, bekerja freelance di koran Daily Bugle...ee... Wait. Saat SMA saja dia sudah magang di Stark Industries. Lalu gedenya tetap harus freelance di Daily Bugle?

Menarik. Daily Bugle pasti muncul dalam wujud yang berbeda dari film Spider-Man versi sebelumnya demi menjaga kesinambungan cerita. Bisa saja Daily Bugle bertransformasi menjadi seperti Hipwee misalnya.

Uhuk. Hu’uk. Kuhu.

Ya, sudahlah. Demikian penerawangan saya terhadap lima sosok villain yang muncul di film Spider-Man Homecoming. Mau bagaimapun kelanjutan Spider-Man nanti, saya yakin sajiannya bakal tetap mengasyikan.

Halah basi! Jangan berekspektasi terlalu tinggi gitu, lah. Nanti kalau jatuh, rasanya sakit, lho.

Hlah. Itu berekspektasi apa bertumpu pada janji-janjinya mantanmu?

Source header: gifyu.com

1 Juli 2017




Sebagai anak terakhir dari empat bersaudara, saya kok jadi merasa berkecil hati seusai nonton film Boss Baby, ya? Hmm.

Boss Baby ini merupakan film animasi bergelar komedi yang diadopsi dari buku yang ditulis Marla Frazee dengan judul yang sama. Film yang digarap oleh DreamWorks Animation ini menjadi sajian yang menarik untuk ditonton anak-anak dengan bimbingan orangtua.

Lho, kok bimbingan orangtua? Ini kan film animasi anak?


Lha memangnya kalau film animasi anak begitu lantas anak-anak yang nonton bisa paham dengan sendirinya? Bisa mengambil pesan postifnya? Saya kok tidak yakin akan hal tersebut, ya.

Menurut saya, orangtua perlu hadir untuk nonton film ini bersama dengan anak-anaknya. Bukan karena menjaga agar terhindar dari tayangan porno (yaelah lihat bayi bugil doang), tapi agar si anak dan orangtua memiliki referensi yang sama. Hal ini berguna sebagai suku cadang bahan obrolan, lho.

Misal, ketika si anak takut naik sepeda. Orangtua bisa mengingatkan scene di mana Tim berhasil menghadapi ketakutan yang serupa. Seriously, scene yang saya maksud ini adalah salah satu favorit saya. Setidaknya, punchline-nya sukses membuat saya menghela kata, “Asu!”

Kembali pada keresahan saya di awal tadi, Boss Baby mengawali ceritanya dengan seorang anak bernama Tim yang benci dengan kedatangan dedek bayi di silsilah keluarganya. Pasca bertambahnya anggota keluarga itulah, Tim merasa dirinya kurang mendapat kasih sayang dari orangtua.

Saya jadi membayangkan saja, jangan-jangan dulu saya juga membuat mas dan mbak saya merasa demikian. Jangan-jangan dulu sewaktu bayi saya juga mengenakan setelan jas yang necis. Jangan-jangan dulu saya juga mengorganisir bayi-bayi di desa setempat. Dan jangan-jangan saya pun dulu membaca koran yang ukurannya sebesar tubuh bayi.

Duh, pengimajinasian terhadap bayi dalam film ini bikin tergelitik. Menarik dan fresh.Ya setidaknya saya sih tidak pernah terpikir hal yang sama sebelumnya.

Boss Baby ini menawarkan gagasan baru yang mendobrak keyakinan kita perihal asal usul bayi. Menurut film ini, bayi tidak dikreasikan dengan pergumulan cairan itu tuh ehem ehem. Namun, bayi sedari awal memang sudah ada dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka berada dalam perusahaan bernama Baby Corp yang dikelola oleh bayi-bayi dewasa.

Jadi ceritanya, ada susu sakti mandraguna yang jika diminum maka para bayi akan abadi sebagai bayi. Akan tetapi, akal dan suaranya dalam keadaan dewasa. Nah, para bayi dalam kategori spesial inilah yang mengelola Baby Corp. Sedangkan bayi-bayi biasa yang tidak mendapat asupan susu sakti lantas dikirim ke rumah sakit bersalin untuk diklaim sebagai anak dari ibu yang seolah-olah (dan dipercaya) telah melahirkan.

Kalau mau dibilang terlalu konyol ya bilang saja konyol. Memang kok gagasan filmnya kurang tertib. Tapi, sekali lagi, film ini tetap film animasi anak. Wajar jika ada logika yang dipatahkan oleh film ini guna membangun cerita yang liar akan fantasi.

Lha wong konfliknya saja nggapleki sekali. Bagaimana tidak? Menurut film ini, kasih sayang orangtua ke anak (bayi) akan bergeser kepada anak anjing. Apalagi perusahaan Puppy Co akan meluncurkan sebuah inovasi bernama Puppy Forever, yaitu di mana anak anjing yang lucu-lucu itu akan abadi kegemasannya.

Para puppy itu tidak akan pernah beranjak dewasa gara-gara diberi formula susu sakti mandraguna, sehingga orang-orang dewasa akan selalu memperhatikan si puppy selamanya. Pada titik inilah kebahagiaan para bayi terancam. Maka diutuslah seorang bayi spesial dari Baby Corp untuk menyelesaikan ancaman ini.

Demi ketentraman paradigma anak-anak terhadap wacana kebayi-bayian tersebut, maka saya menganjurkan agar film ini tidak hanya ditonton oleh anak-anak saja. Tapi juga orangtua. Buat jaga-jaga juga semisal si anak tiba-tiba penasaran dengan pernyataan yang dicetuskan oleh bayi spesial tersebut, “Jika orang-orang tahu dari mana bayi datang, mereka takkan mau punya bayi. Sama seperti hotdog.”

Kan para bapak bisa sedikit menggelincirkan pernyataan itu jadi, “Kalau kamu tahu dari mana biaya buka YouTube berasal, kamu tak akan mau membuka YouTube.”

Lalu saat sarapan mulai disiapkan, tiba-tiba saja si anak bilang ke ibunya. “Buk, Buk. Kalau ibu tahu dari mana bapak pergi semalam, ibu nggak akan mau bapak pergi malam-malam.”

Demi mendengar hal tersebut, si bapak segera mindik-mindik ke selokan belakang rumah seraya mengosongkan saku celananya dari segepok kartu gaple, dua butir dadu, dan satu botol bedak Rita lengkap dengan koin karambolnya.

“Paaak! Dirimu apa main judi lagi?!” Lastri berjalan cepat, menyincing dasternya, dan mengacung-acungkan garpu tala.

“Ampun, Bu’e. Aku cuma mau cari hiburan sebentar saja. Cuma semalem kemarin saja. Suwer.”

Suwer-suwer lambemu ndower. Hiburan ya hiburan. Tapi ya nggak usah judi. Kamu itu kalahan, asu.”



Image source: bukapintu.co