26 Mei 2016



Saya yakin semua orang pasti pernah mengalami saat-saat di mana ia sedang sendirian dan merasa bosan. Saya yakin ada masa dimana kita bangun tidur, tidak ada rencana mau ngapain dan bingung mau ngapain. Beberapa diantaranya akhirnya stuck scrolling timeline doang, beberapa diantara yang lain meronta-ronta minta temennya ngajak main.

Sayangnya, scrolling timeline seharian penuh malah bisa menimbun kebosanan itu sendiri. Dan bergantung pada temen juga gak selalu berhasil. Pasalnya, tidak semua temen punya waktu luang yang bersamaan. Apalagi kalau mereka kuliah atau kerja, kesibukan sudah jadi konsumsi individu yang tidak bisa diganggu gugat. Lalu gimana dong? Saran saya sebaiknya jalani saja apa yang kamu suka meski sendirian.

Bagi saya ‘sendiri’ sudah jadi hal biasa yang saya jalani sejak SMP. Jadi apa yang saya tulis ini sudah melalui riset panjang, huahahahaha. Oke, langsung saja yuk simak berikut adalah hal-hal yang bisa kita lakukan saat sendiri dan merasa bosan:

Menonton Film

Hal ini saya yakin sangat wajar dilakukan oleh banyak orang. Menonton film dari layar laptop sudah jadi budaya kekinian yang menjamur di masyarakat, khususnya anak muda. Adanya situs yang ngasih film bajakan secara cuma-cuma ini memang sangat menolong bagi kalangan menengah. Kalau saya biasanya ngoleksi berbagai macam film dalam satu folder “film belum ditonton”, jadi pas bosan tinggal play saja. Tips saya sih sebaiknya kamu list film apa saja yang ingin kamu tonton, terus bisa minta ke temen atau download sendiri buat jaga-jaga kalau bosan datang tiba-tiba. Soalnya kalau asal minta temen ‘film apa aja deh yang bagus’ biasanya pas nonton malah nyesel karena perspektif ‘film bagus’ itu berbeda-beda tiap orang.

Membaca Buku

Kalau memang tidak suka baca buku mungkin tips saya ini justru malah bikin bosan ya? Hahaha. Tapi baca buku itu asik kok menurutku. Saran sih kalau bosan baca di kamar ya cari tempat yang enak misal di cafe atau tongkrongan mana aja bisa. Sendiri? Ya gak masalah.

Berkreasi dengan Hobi

Setiap orang memiliki hobi masing-masing, tapi sebaiknya kita punya hobi yang menghasilkan sesuatu. Misalnya saya suka nulis, ya saya nulis di blog atau sekedar nulis random yang dibaca sendiri. Kadang saya juga main-main photoshop. Bikin hal-hal random yang sama sekali gak ada rencana apapun, nyoba-nyoba ngeditin tanpa ada patokan nanti hasil akhirnya gimana. Keisengan itu saya post di instagram, masalah orang suka atau enggak itu urusan belakangan. Nah coba hobimu sekarang apa? Kalau suka masak ya coba ngeracik sesuatu, kalau suka doodling ya oret-oret sesuatu, kalau suka sama doi yang udah bertunangan ya . . . . . . . ya move on lah. Hahahaha.

Jalan-jalan

Jalan-jalan yang saya maksud tidak memiliki artian linear seperti ‘jalan kaki’ lho ya. Maksudnya ya keluar rumah lalu pergi gitu saja. Saya sering keluar rumah karena bosan tapi tidak tau mau ke mana. Alhasil saya muter-muter saja sekenanya. Lihat jalan yang belum pernah dilewati terus mumpung selo ya lewati saja. Bahkan pernah beberapa kali saking kejauhan, dua atau tiga jam gitu nyasar. Terus saya nyerah dan buka google maps, elhadalah ternyata sudah mau masuk Magelang. Sejauh ini sih saya aman-aman saja, kalau semisal daerah kamu angka kriminalitas di jalanan cukup tinggi ya ini tidak usah diamalkan. Hehehe.

Kuliner

Masak sih kuliner sendirian? Lhoh, lha why not? Beberapa orang mungkin agak canggung kuliner sendirian atau ngerasa takut datang ke tempat makan yang belum pernah ia datangi. Biasanya sih takut malu. Kenapa coba harus malu? Malu sama siapa? Pengunjung lain? Pelayan? Atau malu kepergok temen? Gak usah malu, woles aja.
Malu adalah ke-Ge-er-an yang berlebihan..
Apa asiknya kuliner sendiri? Masak gak ada temen ngobrol?
Kalau saya biasanya sambil baca buku, nulis sesuatu di buku pribadi (kayak macam bikin wishlist dan mgecek apa yang sudah saya lakuin gitu) atau kalau wi-fi kenceng bisa sambil update aplikasi, huahahaha. Meski ‘sendiri’ saya jarang duduk ngelamun gitu, pasti ada aja yang dilakuin. Minimal yang bisa kamu lakuin saat kuliner sendirian adalah ‘makan’!

Nonton Film di Bioskop

Hah? Sendiri? Iya! Banyak kok yang nonton sendiri. Saya kalau lagi ingin refreshing ya ke bioskop sih. Asik aja, tenguk-tenguk sambil nonton film. Inti dari nonton di bioskop itu ya biar gak ada yang ganggu. Kalau bawa temen biasanya ada yang nyeletuk atau malah ngajak ngobrol. Rekor saya sih dulu pernah satu bioskop cuma saya doang yang nonton.
Tips ini memang tidak bisa di lakukan begitu saja. Misalnya masalah jarak rumah ke bioskop yang terlalu jauh. Persebaran bioskop di Indonesia memang masih terbatas kota-kota tertentu saja. Sangat disayangkan.

Main Jauh

Ini buat yang waktu luangnya sampai seharian penuh. Bisa tuh main ke kota sebelah atau tempat wisata di sekitarmu yang belum pernah kamu kunjungi. Jalan sendiri sambil lihat kanan-kiri bisa asik juga. Malah lebih banyak hal yang bisa kamu lihat daripada main ramai-ramai. Biasanya kalau pergi ramai-ramai gitu kebanyakan foto, jadi gak khusyuk mainnya.

Menurutku sih kalau main ke suatu tempat sebaiknya jangan terlalu berharap dapat spot indah buat foto deh. Misalnya main ke candi. Kalau niatnya buat foto-foto seru-seruan gitu kadang gak dapet background yang bagus, kalaupun ada itu spot dipakai banyak orang, kan maless. Tapi kalau ke candi untuk mempelajari sejarahnya atau kisah-kisah di candi itu ya lebih seru jadinya. Kalau cuma mau cari background foto mbok wes sini tak editin, hahahaha. Dan lebih geli lagi kalau fotonya selfie, background yang kelihatan cuma 1/5 dari total ruang dalam frame. Karepe piye kui jon?

Baiklah, segini saja tips yang bisa saya bagi. Bermanfaat atau tidak urusan belakangan, ini juga saya nulis karena bosen hari minggu gini mau ngapain. Haha. Tulisan ini mungkin lebih tepat ditujukan pada mereka yang gak terbiasa sendiri dan tiba-tiba sendirian gitu. Kalau buat orang introvert sih ini udah makanan sehari-hari, emang ini hal-hal yang kita suka. Makanya kalau punya pacar introvert jangan kaget kalau doi main sendirian gak ngajak-ngajak, hahahha.

Intinya, jalani apa yang kamu inginkan. Jangan nunggu ditemani orang lain, kelamaan! Okeh, terimakasih buat yang sudah baca dan maaf buat yang tersinggung. Sampai jumpa.

Source pict: canstockphoto.com

15 Mei 2016



Malam minggu 14 Mei 2016 saya datang ke acara Pesta Film Solo #6 yang mengusung tema Postalgia. Tema ini berbicara tentang film era 90-an, mengingat era tersebut film Indonesia mengalami kemacetan bahkan bisa dibilang dark age-nya film Indonesia. Acara ini diadakan oleh Kineklub Fisip UNS di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo.

Kalau tahun lalu saya datang masih ada gandengan, tahun ini sendirian saja. Paragraf gak penting. Skip.

Saya datang di hari kedua sesi keempat, tak lain tak bukan adalah untuk menyaksikan film Bulan Tertusuk Ilalang (1995) garapan sutradara kondang, Garin Nugroho. Apalagi beliau hadir sebagai pembicara dalam diskusi yang bejudul “Dirikan Fondasi, Bangkitlah Industri”. Wah, ternyata masih ada judul berima seperti ini, kupikir lagi trend-nya judul-judul lugas. Hm, baiklah langsung saja ini yang saya ingat dari diskusi waktu itu:

Setelah menyaksikan film Bulan Tertusuk Ilalang, moderator mempersilahkan para pembicara naik keatas panggung. Dimulai dari Garin Nugroho (sutradara) disusul Arturo Gunapriatna dari Lembaga Sensor Film (LSF) dan terakhir ada Adrian Jonathan dari Cinemapoetica. Diskusipun dimulai dengan agak canggung oleh moderator.

Garin Nugroho menceritakan bagaimana film Bulan Tertusuk Ilalang ini muncul ditengah chaos-nya film Indonesia pada saat itu. Jadi tahun 90-an bioskop Indonesia dipenuhi dengan film-film yang kental sekali dengan seksualitasnya. Banyak disebut sebagai film komedi seks, drama seks dan horor seks. Ditengah intervensi film seks itu, Garin kemudian membuat film yang keluar dari mainstream.

Bulan Tertusuk Ilalang dikabarkan mengalami tekanan dari pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu tidak hanya produk film, bahkan kru film pun juga tidak luput dari pantauan para intel Orba. Ancaman demi ancaman yang mengintai Garin tidak menyurutkan niatnya untuk mengerjakan film ini. Beliau berani pasang badan untuk filmnya juga untuk krunya.

Hal menarik ketika ada peserta diskusi bertanya bagaimana antusias masyarakat kala itu (era 90-an) untuk film Bulan Tertusuk Ilalang yang sangat ekspresif, mengingat disebelah saya saja ada yang ketiduran bahkan ada yang walk out. Saat pertanyaan itu dilontarkan, Garin tepok jidat. Lalu dijawab oleh Arturo Gunapriatna yang juga terlibat dalam film itu. Arturo memberi gambaran betapa getirnya selera masyarakat dan situasi politik Indonesia pada masa itu, tapi disatu sisi film tersebut justru sukses di kancah Internasional.

Campur tangan pemerintah Orba terhadap industri perfilman memang tidak main-main. Garin mengaku berulangkali berurusan dengan intel. Mulai dari surat-surat peringatan hingga kiriman misterius yang diduga bom (tapi ternyata paket souvenir). Bahkan ia sempat menunda pengerjaan film karena ketatnya pengawasan. Yang menarik bagi saya adalah kisahnya saat di Papua. Kala itu ia harus membuat film yang melibatkan orang-orang Papua dengan properti bendera Papua Merdeka. Bahkan ada scene dimana bendera Papua Merdeka dikibarkan lengkap dengan nyanyian kemerdekaan Papua. Masalah menghampiri Garin karena diluar syuting ternyata bendera-bendera dan nyanyian itu dibawa ke kota-kota oleh orang Papua sana. Tahu sendiri dampaknya apa.

Getir memang, lalu bagaimana dengan sensor film kala itu? Berbicara tentang sensor film, Arturo Gunapriatna memberikan suaranya. Arturo menyampaikan jika saat itu semua sektor memang diawasi dengan ketat, termasuk film. Sensor film lebih banyak ditekankan pada kepentingan-kepentingan yang dirasa mengancam pemerintah. Misalnya film Warkop berjudul “Kanan Kiri Oke”, pada masa itu tidak boleh “Kiri Kanan Oke”, harus diganti. Tahu sendirilah apa alasannya.

Proses pemotonganpun terbilang sadis. Jika ada scene yang dirasa berbahaya secara sepihak lembaga sensor langsung memotong scene tersebut tanpa kompromi. Kondisinya berbeda dengan sekarang. Era sekarang LSF hanya memberi arahan untuk memotong scene tertentu, yang memotong film ya filmmakernya sendiri. Tapi ada juga yang bandel, Arturo bilang “kita sama-sama taulah siapa, yang filmnya main di festival luar”. Saya menduga yang dimaksud adalah Joko Anwar dengan A Copy of My Mind yang memang lugas sekali memperlihatkan lipitan pantat Tara Basro.

Arturo juga memberi gambaran, pada masa itu bioskop-bioskop Indonesia terbagi dalam tiga kelas. Berbeda dengan sekarang yang sudah meleburkan semuanya dalam hegemoni twenty-one. Saya ingat betul di seberang rumah saya dulu ada bioskop daerah bernama Studio 1.2.3. Uniknya tontonan untuk orang dewasa adalah film Indonesia dengan unsur seksualitas yang tinggi. Sedangkan sajian untuk remaja dan anak justru film-film luar seperti Small Soldier, Jurassic Park hingga Titanic.

Maka saya pikir tak heran jika pemuda sekarang banyak yang nge-judge film Indonesia sebagai film sampah. Efek traumatik tontonan film saat kami masih kecil disebabkan lebih banyak dicekoki film-film luar. Apalagi saat menginjak usia puber kami mengalami de javu dengan munculnya film-film macam Kuntilanak Kesurupan di Malam Pertama sambil Ngesot Ketetesan Darah Perawan Suster Miyabi Goyang Pinggul di Rumah Pasung apapunlah itu judulnya #sukasukamasnayatosaja #kamipasrah . Untuk masalah sensor ini patut diucapkan terimakasih untuk Yulia Hesti dari Ruang Film Semarang atas pertanyaannya yang detil, hingga memicu jawaban mantap.

Obrolan malam itu kian menarik dan Garin pecah sekali menyampaikan materi dengan punchline yang rapi. Yang sangat disayangkan adalah Adrian Jonathan. Meski saya suka tulisan-tulisan di Cinemapoetica tapi saat sesi diskusi Adrian sepertinya agak canggung. Baik dari intonasi atau tempo bicara yang terlalu saykojic banget plus penguasaan mic yang kurang baik membuat perkataannya kurang jelas terdengar. Maaf saya tidak bisa mengutip apa-apa dari bagiannya Adrian. Ngomong-ngomong saat Adrian naik panggung, mbak-mbak belakang saya ada yang nyeletuk “Ya ampun, perutnya njembling gitu”. Dengan sigap saya memperbaiki posisi duduk sambil masukin tangan ke saku jemper, barangkali bisa sedikit membiaskan.

Sebelum saya akhiri, ada sedikit tambahan nih. Garin sempat memberi motivasi dalam pengkaryaannya. Ditengah ancaman dan kecaman yang melingkarinya, beliau bandel sekali mengerjakan film. Beliau ibaratkan seperti pemain sepak bola. Pemain sepak bola akan menyakiti dirinya sendiri jika ia berhenti bermain bola. Ilmuwan akan menyakiti diri jika ia berhenti mencari ilmu. Sutradara pun juga demikian, Garin merasa sakit oleh dirinya sendiri jika berhenti membuat film. Daripada menyakiti diri sendiri yang sudah pasti sakit, beliau gambling saja. Beliau tetap membuat film. Kalau ada serangan dari luar ya terima itu sebagai resiko, kalau tidak ada ya syukur. Jadi buat para sineas ayo terabas saja!

Selebihnya jika ingin memahami perjalanan film Indonesia secara runtut dari masa kolonial hingga sekarang kita bisa membaca buku “Krisis dan Paradoks Film Indonesia” tulisan dari Garin Nugroho dan Dyna Herlina. Buku ini bagus sekali, ringan dibaca dan penting.

Oke, segini saja yang bisa saya tulis. Sebenarnya masih banyak yang dibicarakan pada malam diskusi itu, tapi yang saya share segini saja ya. Cuma modal ingat-ingat nih, puyeng juga pagi-pagi diajak mikir keras. Terimakasih buat kalian yang mampir di blog saya dan maaf kalau ada tersinggung. Mari kita tutup dengan quote dari Garin:

“Sutradara itu BAJINGAN! Kalau anda mau jadi orang baik-baik, mau masuk surga, jangan jadi sutradara.” (Garin Nugroho, 2016)
Source pict: antarariau.com

1 Mei 2016


Tulisan ini saya persembahkan bagi mereka yang menempuh pendidikan perguruan tinggi strata sarjana. Khususnya yang sudah menempuh masa studi hingga semester sepuluh, sebelas, dan seterusnya. ANDA TIDAK SENDIRI!

Saat ini saya sedang menempuh semester 10, dan sangat memungkinkan (atau bahkan dipastikan) saya akan lanjut ke level berikutnya, semester 11. Sedangkan teman-teman saya satu angkatan sudah banyak yang lulus, mungkin yang tersisa tinggal tiga atau empat orang. Entah. Jalan yang kami tempuh berbeda-beda.

Hidup saya mulai berubah saat masuk semester 9. Saya menjadi lebih antisosial dari sebelumnya, yang dulu ambivert kini jadi lebih introvert, lebih tidak pedulian, lebih diam dan lebih banyak melakukan hal sia-sia.

Fase ini memang berat bagi sebagian orang, dan biasa bagi sebagian yang lain. Kalau bagi saya, ini berat. Bukan karena baper lihat teman-teman lulus, tapi karena beasiswa udah dihentikan. Tidak ada sponsor buat mkeneruskan hobi lagi. Haha.

Fase pancaroba antara semester 9 dan 10 mengarahkan saya pada sebuah pemikiran, bahwa mahasiswa yang telat lulus bukan berarti ia bodoh atau tak pantas. Kalau malas bisa jadi, tapi gak selalu begitu. Saya lebih suka menyebutnya “kaum divergent”.

Divergent menurut Guilford (Suharman, 2005) adalah proses berpikir yang berorientasi pada penemuan jawaban atau alternatif yang banyak. Sedangkan kebalikannya adalah convergent, berorientasi pada satu jawaban yang baik atau benar seperti menjawab soal multiple choice.

Sebagai referensi lain kita juga bisa membuka bukunya Raul Renanda (Mencuri Kreativitas Desainer). Beliau mendefinisikan convergent sebagai cara berpikir yang kaku (rigid) dan sistemik. Mereka mengambil keputusan berdasarkan satu atau dua pilihan saja, dan mereduksi hingga mendapat jawaban yang (dirasa) absolut. 

Sedangkan divergent lebih cenderung memecah persoalan yang ada, sehingga muncul banyak alternatif. Tapi sisi negatifnya, karena saking banyaknya pilihan, tipikal ini cenderung ragu dalam mengambil keputusan.

Mahasiswa yang memilih tidak segera lulus adalah mahasiswa divergent. Eh tapi perlu dicatat, menjadi divergent tidak selalu excellent. Penekanan divergent hanya pada proses pikir dan cara pandang yang berbeda. Kalau ia berada di waktu dan tempat yang tepat disertai usaha maksimal ia bisa jadi excellent. Tapi nek gur kluntrak-kluntruk koyo kumbahan sambil ngutuk sistem perkuliahan ning dunia maya yo ra dadi excellent, sing ono dadi kekelen. Contonya nyatanya ya tulisan ini! Hahahaha.

Iqro': 4 SKS dan Ruang Ketidakmungkinan

Mahasiswa divergent menolak beberapa hal, yaitu: menolak cara pandang tentang cumlaude, menolak cara pandang tentang wisuda dan menolak cara pandang tentang masa studi. Dalam urusan cumlaude mereka tidak begitu tertarik. Soal wisuda juga demikian, beberapa ada yang bisa mengelak dari acara ceremonial itu. Tapi beberapa lain tidak sanggup lantaran masih terikat kepekewuhan dengan orangtua. Nah, kalau anggapan tentang masa studi inilah yang ingin saya bicarakan lebih dalam. 

Yuk simak.
Eits, sampai sini saya minta maaf dulu jika tulisan diatas ada yang membuat tersinggung, dan tulisan berikutnya bakal lebih menyinggung. Ini bukan tulisan serius kok, mari kita tertawai bersama-sama. Behahaha...
Baiklah lanjut. Mahasiswa divergent jauuuh di dalam lubuk hatinya kepengen sekali untuk hengkang dari kampus, apalagi jika kampusnya penuh ketidakmutuan, baik birokrasi, fasilitas maupun kegiatan akademiknya. Tapi tidak semua bisa hengkang begitu saja, butuh keberanian yang berlebih. Masalah utamanya adalah pertanggungjawaban dengan orangtua selaku sponsor utama kehidupan. Ngaku saja!

Bagi mahasiswa divergent, batas empat tahun tidak selalu menjadi prestasi yang patut diperjuangkan dan dibanggakan. Meski kadang mereka terlihat berjuang dan terlihat bahagia saat lulus, saya yakin itu hanya kamlufase, insting untuk diterima secara sosial oleh teman-temannya. Mereka ini gemar mengutuk diri sendiri dan orang lain. 

Divergent membuat mereka banyak meragu, keraguan itulah yang sering mereka kutuk. “Kok aku gak bisa seperti mereka, yang nyaman-nyaman saja menjalani rutinitas normal. Kok lintasan hidup mereka lurus-lurus saja. Kok aku harus punya keinginan ini itu ini itu banyak sekali”. Dan kalau mengutuk orang lain; “Kenapa sih mereka kok gak kepikiran ini gak kepikiran itu. Emang enak apa hidup lurus gitu gitu saja dll”.

Saya tidak ingin sok hebat, tapi tulisan ini memang upaya defensif. Kalau ada yang bilang saya barisan sakit hati karena gak lulus-lulus, ya silahkan saja, wong ya kenyataannya memang demikian. Hehe.

Temukan sendiri sudut pandang masa depanmu!
Dalam memandang orang-orang convergent yang alhamdulillah lulus tepat waktu itu, kaum divergent kadang geli juga. Mungkin karena ia tahu secara keilmuan temannya yang convergent itu biasa-biasa saja, tapi jago soal ngumpulin tugas, gencar masuk kelas buat absen tapi kalau sesi diskusi membatu. Toh pendidikan kita yang ditekankan ngumpulin tugas, absen dan ikut ujian. Asal itu dijalani dengan normal ya bisa saja lulus tepat waktu, nilai bagus, dapat kerja. Cihuy!

Divergent-convergent dan wacana tentang think out of the box-inside the box itu beda. Divergent memiliki pemikiran yang terpecah belah, bisa saja akhirnya ia mengambil jalan out of the box, tapi bisa juga ia malah memungut kepingan pikiran yang inside the box. Sedangkan convergent memang cenderung inside the box karena menolak berbagai alternatif yang ia anggap sebagai distraksi. Namun uniknya, bisa saja out of the box tapi di trek yang lurus. Artinya, konsisten untuk out of the box. Gimana? Menarik tidak? Atau jadi bingung? Hehehehe.

Orang divergent sangat bisa merasa kesal dengan orang convergent, dan berlaku juga sebaliknya. Tony Stark dan Steve Rogers bisa jadi contoh untuk pemahaman ini, lihat akibatnya, Civil War.

Tapi perbedaan ini tak selalu mengundang perpecahan kok, bisa jadi malah dua cara pandang ini saling memikat satu sama lain dan berujung pada bangun pagi diatas ranjang yang sama #Eaaa. 

Jika pikiran sudah berbeda, yang bisa menyatukan ya cuma hati. Duh kalau soal hati emang berat, seberat Bruce Banner kalau lagi marah. Yang bisa menina-bobokan ya cuma Natasha Romanoff, posisi Natasha tidak mungkin bisa digantikan dengan siapapun bahkan Nawangwulan yang konon bikin tulang belakang Jaka Tarub lemas seperti permen Yuppie. Lho, kok ngelantur sampai urusan asmara?!

Iqro': Curahan Hati Pertapa Skripsi

Ya jadi intinya kalau anda saat ini menempuh semester dua digit, tenang saja, anda tidak lebih rendah derajatnya dengan yang sudah lulus duluan. Tapi ya sebaiknya diselesaikan, dan lanjut berpetualang di tempat lain. Kalau mau agak nanti-nanti ya silahkan, lebih baik mengambil keputusan sendiri daripada mengikuti keputusan orang lain. Do your best!

Penutup

Tidak ada yang benar dan yang salah. Tidak ada mana yang lebih baik antara divergent atau convergent. Tidak ada yang perlu diperdebatkan dari keduanya. Jalani saja kehidupan masing-masing, dan tetap menghargai keputusan orang lain, toh tidak mengganggu kemakmuran rumahtanggamu juga.

Jika anda membaca tulisan ini dan merasa kalau ini cuma omong kosong tak bermutu, ya anda benar. Wong saya ini cuma cah cilik. Setuju atau tidak setuju itu terserah anda sebagai pembaca. Saya hanya bisa menulis seadanya sambil menenggak Teh Javana. Dan kalau ternyata anda sepakat bahkan merasa tulisan saya menarik, bisa dishare ke akun medsos anda dan katakan pada teman divergent anda jika ia tidak sendiri. Barangkali ada jodoh yang saling menemukan.

Terimakasih sudah membaca dan maaf jika pemikiran cetek saya menghina intelektualitas anda. Jadi, anda divergent apa convergent?