1 Mei 2016

Kami Tidak Segera Lulus, Karena Kami Divergent


Tulisan ini saya persembahkan bagi mereka yang menempuh pendidikan perguruan tinggi strata sarjana. Khususnya yang sudah menempuh masa studi hingga semester sepuluh, sebelas, dan seterusnya. ANDA TIDAK SENDIRI!

Saat ini saya sedang menempuh semester 10, dan sangat memungkinkan (atau bahkan dipastikan) saya akan lanjut ke level berikutnya, semester 11. Sedangkan teman-teman saya satu angkatan sudah banyak yang lulus, mungkin yang tersisa tinggal tiga atau empat orang. Entah. Jalan yang kami tempuh berbeda-beda.

Hidup saya mulai berubah saat masuk semester 9. Saya menjadi lebih antisosial dari sebelumnya, yang dulu ambivert kini jadi lebih introvert, lebih tidak pedulian, lebih diam dan lebih banyak melakukan hal sia-sia.

Fase ini memang berat bagi sebagian orang, dan biasa bagi sebagian yang lain. Kalau bagi saya, ini berat. Bukan karena baper lihat teman-teman lulus, tapi karena beasiswa udah dihentikan. Tidak ada sponsor buat mkeneruskan hobi lagi. Haha.

Fase pancaroba antara semester 9 dan 10 mengarahkan saya pada sebuah pemikiran, bahwa mahasiswa yang telat lulus bukan berarti ia bodoh atau tak pantas. Kalau malas bisa jadi, tapi gak selalu begitu. Saya lebih suka menyebutnya “kaum divergent”.

Divergent menurut Guilford (Suharman, 2005) adalah proses berpikir yang berorientasi pada penemuan jawaban atau alternatif yang banyak. Sedangkan kebalikannya adalah convergent, berorientasi pada satu jawaban yang baik atau benar seperti menjawab soal multiple choice.

Sebagai referensi lain kita juga bisa membuka bukunya Raul Renanda (Mencuri Kreativitas Desainer). Beliau mendefinisikan convergent sebagai cara berpikir yang kaku (rigid) dan sistemik. Mereka mengambil keputusan berdasarkan satu atau dua pilihan saja, dan mereduksi hingga mendapat jawaban yang (dirasa) absolut. 

Sedangkan divergent lebih cenderung memecah persoalan yang ada, sehingga muncul banyak alternatif. Tapi sisi negatifnya, karena saking banyaknya pilihan, tipikal ini cenderung ragu dalam mengambil keputusan.

Mahasiswa yang memilih tidak segera lulus adalah mahasiswa divergent. Eh tapi perlu dicatat, menjadi divergent tidak selalu excellent. Penekanan divergent hanya pada proses pikir dan cara pandang yang berbeda. Kalau ia berada di waktu dan tempat yang tepat disertai usaha maksimal ia bisa jadi excellent. Tapi nek gur kluntrak-kluntruk koyo kumbahan sambil ngutuk sistem perkuliahan ning dunia maya yo ra dadi excellent, sing ono dadi kekelen. Contonya nyatanya ya tulisan ini! Hahahaha.

Iqro': 4 SKS dan Ruang Ketidakmungkinan

Mahasiswa divergent menolak beberapa hal, yaitu: menolak cara pandang tentang cumlaude, menolak cara pandang tentang wisuda dan menolak cara pandang tentang masa studi. Dalam urusan cumlaude mereka tidak begitu tertarik. Soal wisuda juga demikian, beberapa ada yang bisa mengelak dari acara ceremonial itu. Tapi beberapa lain tidak sanggup lantaran masih terikat kepekewuhan dengan orangtua. Nah, kalau anggapan tentang masa studi inilah yang ingin saya bicarakan lebih dalam. 

Yuk simak.
Eits, sampai sini saya minta maaf dulu jika tulisan diatas ada yang membuat tersinggung, dan tulisan berikutnya bakal lebih menyinggung. Ini bukan tulisan serius kok, mari kita tertawai bersama-sama. Behahaha...
Baiklah lanjut. Mahasiswa divergent jauuuh di dalam lubuk hatinya kepengen sekali untuk hengkang dari kampus, apalagi jika kampusnya penuh ketidakmutuan, baik birokrasi, fasilitas maupun kegiatan akademiknya. Tapi tidak semua bisa hengkang begitu saja, butuh keberanian yang berlebih. Masalah utamanya adalah pertanggungjawaban dengan orangtua selaku sponsor utama kehidupan. Ngaku saja!

Bagi mahasiswa divergent, batas empat tahun tidak selalu menjadi prestasi yang patut diperjuangkan dan dibanggakan. Meski kadang mereka terlihat berjuang dan terlihat bahagia saat lulus, saya yakin itu hanya kamlufase, insting untuk diterima secara sosial oleh teman-temannya. Mereka ini gemar mengutuk diri sendiri dan orang lain. 

Divergent membuat mereka banyak meragu, keraguan itulah yang sering mereka kutuk. “Kok aku gak bisa seperti mereka, yang nyaman-nyaman saja menjalani rutinitas normal. Kok lintasan hidup mereka lurus-lurus saja. Kok aku harus punya keinginan ini itu ini itu banyak sekali”. Dan kalau mengutuk orang lain; “Kenapa sih mereka kok gak kepikiran ini gak kepikiran itu. Emang enak apa hidup lurus gitu gitu saja dll”.

Saya tidak ingin sok hebat, tapi tulisan ini memang upaya defensif. Kalau ada yang bilang saya barisan sakit hati karena gak lulus-lulus, ya silahkan saja, wong ya kenyataannya memang demikian. Hehe.

Temukan sendiri sudut pandang masa depanmu!
Dalam memandang orang-orang convergent yang alhamdulillah lulus tepat waktu itu, kaum divergent kadang geli juga. Mungkin karena ia tahu secara keilmuan temannya yang convergent itu biasa-biasa saja, tapi jago soal ngumpulin tugas, gencar masuk kelas buat absen tapi kalau sesi diskusi membatu. Toh pendidikan kita yang ditekankan ngumpulin tugas, absen dan ikut ujian. Asal itu dijalani dengan normal ya bisa saja lulus tepat waktu, nilai bagus, dapat kerja. Cihuy!

Divergent-convergent dan wacana tentang think out of the box-inside the box itu beda. Divergent memiliki pemikiran yang terpecah belah, bisa saja akhirnya ia mengambil jalan out of the box, tapi bisa juga ia malah memungut kepingan pikiran yang inside the box. Sedangkan convergent memang cenderung inside the box karena menolak berbagai alternatif yang ia anggap sebagai distraksi. Namun uniknya, bisa saja out of the box tapi di trek yang lurus. Artinya, konsisten untuk out of the box. Gimana? Menarik tidak? Atau jadi bingung? Hehehehe.

Orang divergent sangat bisa merasa kesal dengan orang convergent, dan berlaku juga sebaliknya. Tony Stark dan Steve Rogers bisa jadi contoh untuk pemahaman ini, lihat akibatnya, Civil War.

Tapi perbedaan ini tak selalu mengundang perpecahan kok, bisa jadi malah dua cara pandang ini saling memikat satu sama lain dan berujung pada bangun pagi diatas ranjang yang sama #Eaaa. 

Jika pikiran sudah berbeda, yang bisa menyatukan ya cuma hati. Duh kalau soal hati emang berat, seberat Bruce Banner kalau lagi marah. Yang bisa menina-bobokan ya cuma Natasha Romanoff, posisi Natasha tidak mungkin bisa digantikan dengan siapapun bahkan Nawangwulan yang konon bikin tulang belakang Jaka Tarub lemas seperti permen Yuppie. Lho, kok ngelantur sampai urusan asmara?!

Iqro': Curahan Hati Pertapa Skripsi

Ya jadi intinya kalau anda saat ini menempuh semester dua digit, tenang saja, anda tidak lebih rendah derajatnya dengan yang sudah lulus duluan. Tapi ya sebaiknya diselesaikan, dan lanjut berpetualang di tempat lain. Kalau mau agak nanti-nanti ya silahkan, lebih baik mengambil keputusan sendiri daripada mengikuti keputusan orang lain. Do your best!

Penutup

Tidak ada yang benar dan yang salah. Tidak ada mana yang lebih baik antara divergent atau convergent. Tidak ada yang perlu diperdebatkan dari keduanya. Jalani saja kehidupan masing-masing, dan tetap menghargai keputusan orang lain, toh tidak mengganggu kemakmuran rumahtanggamu juga.

Jika anda membaca tulisan ini dan merasa kalau ini cuma omong kosong tak bermutu, ya anda benar. Wong saya ini cuma cah cilik. Setuju atau tidak setuju itu terserah anda sebagai pembaca. Saya hanya bisa menulis seadanya sambil menenggak Teh Javana. Dan kalau ternyata anda sepakat bahkan merasa tulisan saya menarik, bisa dishare ke akun medsos anda dan katakan pada teman divergent anda jika ia tidak sendiri. Barangkali ada jodoh yang saling menemukan.

Terimakasih sudah membaca dan maaf jika pemikiran cetek saya menghina intelektualitas anda. Jadi, anda divergent apa convergent?

22 komentar:

  1. am.. kamu..
    iya kamu,

    itu orang AB :3

    Wes, ndang lulus!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ralat : ndang wisuda.

      Karena,
      Wisuda itu buat orang tuamu, seenggaknya kamu bantu mereka nyentang to do list sebagai orang tua dengan "Nganterin anak wisuda" sebelum "nganterin anak ke pelaminan" :3

      Hapus
  2. Good, bang :)
    Gue suka orang yang jalan pikirannya berbeda dari yang lain. Ya memang lebih baik telat wisuda daripada cepat wisuda tapi menganggur. Tapi kembali lagi ke pribadi masing-masing. Ada yang menerimanya dan ada juga yang enggak. Um, selagi mampu membiayai kuliah sambil semester dua digit, sah sah aja, sih. Tapi kalau nggak mampu, terus biaya nya juga mahal, mungkin ada baiknya buat wisuda pada digit satu. :)

    Btw, salam kenal ya bang. Ini kunjungan pertama gue di mari hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip. Terimakasih ya sudah mampir.
      Kalau menurut saya silahkan saja mau wisuda kapan, yang penting itu keputusan diri sendiri. Bukan karena tuntutan orang lain apalagi hanya karena malu dengan teman-teman yang udah lekas lulus. Hahaha.

      Hapus
  3. Aku suka tulisan ini! Aku gatau divergent atau convergent, tapi yang pasti saat ini manteman udah banyak yg lulus, tapi aku masih cuti karena lagi ngasi ASI eklusif untuk anak. Hahaha. Kalo dipikir2 sih sekarang (harusnya) aku semester 8. Dan gatau kapan akan lulus, atau bakal hengkang? Auk ah, jalani aja dengan hati riang, biar kesuksesan mengikuti ~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup benar sekali. Halah baru semester 8. Saya udah 10 nih, hahaha. Salam kenal ya.. Toss

      Hapus
  4. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, gue merasa sedih Kak :') Kuat banget sampai semester berangka dua. Emang sih kesuksesan ga ditentukan dari berapa lama dia bisa lulus, tapi ga bosen jadi mahasiswa terus? Ga mau ngelakuin hal apa gitu? Maaf kalau tersinggung yaa ^^v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru saya gak lulus karena ngelakuin hal lain dulu, mumpung masih bisa pakai status mahasiswa hahahaha.

      Hapus
  5. Wah berarti gue juga dong, mahasiswa Divergent.
    Gue aj baru Lulus kuliah di semester 10

    Nga apa-apa telat lulus bro,
    Yang penting lulus di waktu yang tepat, :-)
    *Cia

    Ow ya salam kenal,,

    BalasHapus
  6. Padahal kalo cepet lulus, bisa bebas mengembangkan bakat divergent-nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yooii.. Tapi kadang uang saku menurun drastis wahahaha

      Hapus
  7. Divergen? Konvergen? Kalau menurut mata kuliah Analisis Real yg dulu aku pelajarin pas kuliah, divergen itu kalau suatu barisan bilangan real nggak punya titik limit. Bisa jadi karena terdapat suatu nilai epsilon positif yang membuat kita tidak bisa menemukan persekitaran delta positif.

    Mumet? Namanya juga ilmu kuliah matematika. :D

    Yang membuat aku bertanya-tanya adalah latar belakang kenapa kamu masih menempuh kuliah di semester 2 digit...

    BalasHapus
  8. Bukan masalah divergent atau convergent. Terkadang masalah uang kuliah menjadi pemicu terbesar untuk segera lenyap dari peradaban kampus. Walau setelah lulus belum tau mau ngapain.

    Tulisan yang memotivasi bagi kaum divergent!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang ada yang kuliah gratis sih Mbum. hahahaha

      Hapus
  9. kadang-kadang saya bete ama temen saya yg udah lulus duluan, padahal saya tahu di keseharian kuliahnya temen saya itu ilmunya belum mumpuni buat dikatakan lulusan teknik, dia cuma pandai lobi-lobi aja ama dosennya. sedangkan saya yg berusaha memahami dan mempertanggungjawabkan tiap baris yang saya tulis di skripsi butuh waktu lebih lama untuk lulus. brarti saya termasuk divergent ya?? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yooi. Saya senang dengan mahasiswa idealis seperti kamu. Gelar mungkin memang penting untuk memikat perusahaan agar kita diterima kerja, tapi ilmu ribuan kali lebih penting untuk hidup. Eaaaa

      Hapus
  10. Wah, sama banget ini. Aku juga semester 10 dan dipastikan masih lanjut. Hanya karena aku merasa topik skripsiku kurang berguna bagi nusa dan bangsa *ceileh*. Tapi tekanan dr lingkungan emang bikin berat ya. They think they're supporting but really, they're pressuring ������

    BalasHapus
  11. Aku udah sampe semester 13 nih HAHAHAHAHAHAHAHA

    Skripsiku emang lumayan susah soalnya... Dan aku juga kerja tanpa cuti jadi agak meleset perkiraan. Aku kira bisa lancar walau sambil kerja, ternyata masih pontang-panting karena belum terbiasa jalaninnya.

    Salam kenal,

    Hanifa

    http://www.honeyvha.com/2016/06/5-cara-meningkatkan-motivasi.html

    BalasHapus
  12. Bang kalau menurut pandangan sampean gimana??? Idealis atau bukan. Terus terang aku merasa salah jurusan. Dan sampe sekarang semester 9 menyesal. Tapi mencoba menyenangi jurusan dengan ambil skripsi yang menurut orang sulit tapi ada kaitanya dengan jurusan aku dan aku no problem sama durasi kuliah. Masalahnya gue bingung kedepanya bagaimana. Galau ga karuan. Gue ga masalah berkarir dimanapun specially dengan jurusan saya. Tapi ada bidang yang lain dan jauh gue senangin dari bidang yang sekarang. Bagaimana menurut sampean?? Terima kasih.

    BalasHapus