18 Agustus 2016

Membalut Perbedaan Dengan Mesra Dalam Cinta


Meski saya termasuk antisosial, bukan lantas saya tidak memiliki teman sama sekali. Pribadi introvert membuat saya memilih dan memilah lingkungan pertemanan dengan teliti. Bukan bermaksud diskriminatif, hanya saja secara alami insting sosial saya yang menentukan mana teman yang cocok dan mana yang tidak cocok. Tanpa disadari saya membuat lingkaran pertemanan yang sangat ekseklusif.

Saya tidak memusuhi mereka yang tidak cocok dengan saya. Di dunia nyata, saya masih menganggap mereka teman. Sedangkan di dunia maya ada beberapa (banyak malahan) yang tidak saya follow bahkan berakhir unfollow dan block pun ada. Mau bagaimana lagi, kalau kita tidak suka dengan konten yang dibagikan teman kita sendiri di sosial media kan ya halal-halal saja kalau di-unfollow atau unfriend. Bukan berarti ngajak ribut, toh di dunia nyata kita tetap berteman.

Di samping itu, teman yang menurut saya cocok adalah mereka yang kalau ngobrol bisa nyambung. Meski berbeda-beda karakter dan latar belakang, tapi ada satu benang merah yang bisa menyambungkan saya dan teman saya itu, yaitu kesamaan referensi. Melalui referensi yang sama itulah, bahan perbincangan akan terasa menyengangkan dan semakin mengakrabkan. Hingga kemudian semakin bertambah umur kita, semakin banyak teman kita, maka semakin terseleksi mana teman yang benar-benar selalu bersama. Kehadiran teman-teman yang selalu bersama ini secara alami membentuk semacam regu atau genk. Biasanya mereka menamai regu itu untuk menguatkan ekseklusifitas pertemanan, seperti Genk Srigala, Persaudarian Lipstik Tebal, maupun BBY (Bang Bayik Club). Eratnya pertemanan semacam itulah yang mengilhami Ari Wuryanto dalam menghasilkan karya lukis berjudul Mesra Dalam Cinta.


Mesra Dalam Cinta karya Ari Wuryanto (Cat Acrylic di atas Kanvas / 80x120cm / Tahun 2016)
 
Lukisan Mesra Dalam Cinta merupakan salah satu karya dalam acara Kompetisi Karya Mahasiswa FSRD ISI Surakarta yang diadakan di Balai Soedjatmoko Solo pada bulan Agustus 2016.

Dalam lukisan Mesra Dalam Cinta, kita melihat empat figur imajiner yang divisualkan secara apik oleh Wuryanto. Keempat figur ini terikat dengan benang-benang yang melilit di seluruh tubuh mereka. Bahkan sudah seperti bagian dari tubuh itu sendiri. Satu sama lain saling mengikat seolah hendak menyatukan keempat tubuh mereka. 


Figur imajiner dalam lukisan ini bisa kita telisik lebih jauh. Sosok paling kiri digambarkan memiliki wajah berupa bongkahan mesin atau komponen mekanik. Hal-hal yang berhubungan dengan mesin seringkali menyimbolkan kemajuan jaman. Kita lihat bagaimana revolusi industri di Inggris telah merubah tatanan kerja di masyarakat yang semula ditangani secara manual lalu diambil alih oleh tenaga-tenaga mesin. Temuan James Watt, Richard Arkwright hingga Henry Cort pada masa itu membuka gerbang peradaban manusia menuju masa depan yang berteknologi. Sejak saat itu mesin (teknologi) dipercaya sebagai penghubung antara manusia, peradaban dan masa depan. Sehingga orang-orang yang menguasai ilmu teknologi adalah orang yang memiliki kesempatan membawa peradaban manusia ke masa depan. Untuk menguasai teknologi ini tidak lah mudah. Tidak serta merta semua orang bisa. Perlu poses yang panjang dan berat dalam mempelajarinya. Maka dari itu, masyarakat kita melabeli orang-orang ini dengan istilah pintar, cerdas dan jenius. Simpulan yang bisa kita ambil bahwa simbol mesin pada wajah figur imajiner yang pertama menggambarkan orang yang pintar atau berilmu.

Figur imajiner kedua adalah wajah tanpa rupa. Ketanparupaan ini divisualkan dengan warna hitam yang dibuat seolah ada ruang kosong di sana. Ruang kosong yang digambarkan membentuk seperti mulut gua atau lorong yang dalam. Simbol ruang kosong dapat berarti kehampaan, kesendirian atau keterasingan. Namun jika mengambil oposisi biner dari figur imajiner yang pertama (si pintar), maka figur kedua ini lebih tepat menggambarkan sosok orang yang bodoh (pikiran yang kosong).

Figur imajiner berikutnya adalah sosok wajah yang menggambarkan bunga dan langit cerah. Bunga di sini menyiratkan simbol kehidupan. Dan langit konotasi dari impian, yaitu tempat yang ingin dituju namun sulit diraih. Kehidupan dan impian berjalan seperti Yin dan Yang. Keduanya harus selaras untuk bisa mendapatkan makna hidup yang menyenangkan. Apa artinya kehidupan tanpa impian? Apa artinya impian jika tidak hidup, bukan? Dalam figur imajiner tersebut kita dapat melihat beberapa tangkai bunga menjulang ke atas seolah ingin meroket menuju langit. Sebuah simbol yang tepat untuk menggambarkan pribadi yang enerjik, ambisius dan riang (ceria) yang terwakili oleh warna-warna cerah.

Figur imajiner terakhir adalah yang paling menarik menurut saya. Dalam figur tersebut kita diajak Wuryanto untuk melihat kehidupan di bawah laut. Meski terdapat banyak jenis spesies di bawah laut, namun keputusan untuk memasukkan karakter paus adalah pilihan yang cerdas. Saya pribadi melihat paus hanya melalui media film. Di dalam film, paus dicitrakan sebagai binatang yang besar, perkasa dan bergerak sangat lambat (kecuali paus versi Bikini Buttom). Biasanya ketika scene yang menunjukkan alam bawah laut lengkap dengan pausnya, suasana menjadi tenang dan misterius. Seolah ada suatu kekuatan besar di bawah laut yang tidak bisa ditakhlukkan oleh manusia. Maka dari itu, figur imajiner keempat adalah simbol dari manusia yang relijius.

Keempat figur imajiner tersebut merupakan latar belakang manusia yang berbeda-beda. Ada si Pintar, si Bodoh, si Enerjik dan si Relijius. Meski dari latar belakang dan karakteristik yang berbeda, namun mereka senantiasa menjalin hubungan pertemanan yang erat. Begitulah fenomena sosial yang ditangkap Wuryanto dalam kehidupan manusia. Kita pasti menemui atau bahkan menjadi bagian dari suatu kelompok kecil yang menjadikan pertemanan sebagai penguat sebuah hubungan.

Menyingkirkan setiap perbedaan dan fokus pada persamaan akan membawa kita pada jalinan pertemanan yang sehat. Bukankah setiap perselisihan yang terjadi diawali oleh sebuah perbedaan? Entah perbedaan pendapat, perbedaan budaya maupun perbedaan agama. Coba lihat bagaimana Soviet hancur ketika setiap kelompok masyarakat mulai dibagi dalam suku-suku. Seorang antropolog yang meneliti kelompok masyarakat di Soviet telah memberi label beberapa suku, seperti suku Kirgiz, suku Uzbek, suku Tajik, suku Afghan dan lain-lain. Mereka dikotakkan dalam beragam perbedaan mulai dari bentuk fisik, budaya dan keyakinan. Semakin fokus pada perbedaan akhirnya membuat masing-masing suku membangun negaranya sendiri. Kita mengenal dengan Kirgizstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan dan negara stan-stan lainnya. Meski bertetangga, kehidupan tiap negara tersebut kontras sekali. Ada yang memiliki fasilitas perkotaan yang bagus, ada yang miskin, ada yang terisolir dari dunia luar, bahkan ada yang masih dalam situasi perang.

Setiap hari kita selalu dikelilingi oleh perbedaan. Bahkan dengan kekasih yang mengaku cinta sehidup semati pun pada akhirnya berdebat saat menentukan mau pakai kuah mie instan dari air bekas rebusan atau masak air baru. Tidak bijak jika kita menghendaki segela sesuatu harus sesuai dengan apa yang kita tahu dan kita mau. Karena modal dari kehiduapan bersosial adalah memaklumi perbedaan, bukan memaksa perbedaan menjadi sama.

"Ealah.. Cah antisosial kok sok-sokan ngomongin kehidupan bersosial. Hahahaha."

Saya kira cukup sekian review karya lukis dari Ari Wuryanto. Meski saya tidak bisa melukis, tapi saya selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan para pelukis. Saya selalu tertarik dengan kisah yang tertuang di atas kanvas. Terutama lukisan surealis yang seolah mengajak saya berjalan-jalan ke alam lain, jauh dari dunia eksak yang gini-gini aja. Terima kasih kepada para pembaca yang telah menyimak ulasan sederhana ini. Semoga berkenan. Sampai jumpa di tulisan saya yang lain. Salam. 


Sumber gambar: Dokumentasi pribadi

13 komentar:

  1. Baru tau kalau kamu itu introvert, Ham. Trus apa kamu itu plegmatis atau melankolis? Atau sanguinis atau malah koleris?

    Bisa dibilang aku juga orang yang selektif dalam berteman. Bukannya apa, tapi rasanya nggak semua bisa terima sama candaanku yang you know lah. Haha Dan... itu lukisannya bagus. Aku suka sama makna (eh beneran disebut makna kan?) dari lukisan itu. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku melankolis,Cha. Aquarius dan AB blood type. Sudah pasti hal yg paling kusukai adalah tidak melakukan apa-apa. Hahaha

      Di dunia nyata kamu apa ya bercanda binal gitu? Kirain di blog doang.

      Hapus
    2. What the heaven! Aku juga melankolis dan AB blood type. Hahahaha.

      Terkadang. Tapi biasanya sama yang akrab-akrab doang kok 😂

      Hapus
    3. Pantesan nyeleneh lo cha, hahahaha..

      Hapus
  2. Ahh pantesan estetikanya rada-rada berat. Surrealisme gitu lho..

    Well, sebagai penikmat awam lukisan, saya lebih suka realisme. Lebih jujur apa adanya, anti-munafik, dan tentunya, mudah dipahami hehe.

    Bicara soal lingkungan pertemanan. Sebagai salah satu kaum ekstrovert, saya (kami) sebenernya setuju dengan konsep 'pilih-pilih teman', ya kayaknya semua orang juga gitu deh. Cenderung mencari teman yang memang 'sehati'. Tapi menurut pengalaman dan analisis saya, metode (mencari teman) yang digunakan ekstro dan intro itu beda. Ekstrovert mendahulukan praktek, kemudian teori. Sedangkan Introvert, teori dulu, baru praktek.

    Lebih jelasnya gini. Sebelum menilai apakah si dia layak dijadikan sahabat, para Ekstrovert melakukan interaksi dulu supaya bisa mengetahui karakter orang tersebut. Beda dengan Introvert, mereka menilai dulu (dan memutuskan), baru deh berinteraksi.

    Anyway, for the sake of argument, what do you think? Which methods is more effective?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setahuku gak ada hubungannya deh surrealisme atau realisme dengan apa adanya dan anti-munafik. Semuanya sama-sama apa adanya, hanya beda semesta saja. Belum lagi dengan hyperrealistik, makin realis makin gak keliatan realis lagi.

      Aku tipe observant. Jadi kalau mau ketemu orang baru, aku ngecek dulu medsos-nya. Hahahaha. Lalu pas ketemu jadi ada bahan ngobrol karna aku udah tau dia suka apa, hobi apa, dunianya seperti apa. Biar efektif aja. Hahahaha

      Hapus
  3. Jadi liatin blog ini wk. Judulnya menggelitik untuk dibaca. Beruntung banget yang masuk dalam lingkaran eklusif, kereta ekslusif kan mahal :(

    Mau liatin tulisan Kak Icha Chairunnisa deh, apa tulisannya sekoplak orangnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya saya suka bikin judul. Tapi isinya zonk kayaknya, wahahahaha.
      Punya icha nggak koplak, binal dia!

      Hapus
  4. saya jadi membayangkan bagaimana klo suatu saat nasib indonesia ini sama dengan nasib uni soviet yang perbedaan nya sangat kental sekali. Baik suku, agama dan budaya, semuanya sangat terasa perbedaan nya namun dihaluskan oleh dasar negara kita "Pancasila". Ngeri juga sih klo Indonesia terpecah menjadi beberpa bagian, mislnya ada negara Javanese, Bugineses, Pekanbarunese, dll. Hancur smua prjuangan pahlawan.

    Stelah sya mmbaca tulisan ini, saya jdi berangan2 klo saya dpat jodoh yang hobi dan gaya hidup nya sama kayak saya, mungkin sya akan menjadi orang paling beruntung sedunia. :)

    Iya, tentu saja. Walaupun perbedaan diluar sana sangat sering kita temui...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ((, saya jdi berangan2 klo saya dpat jodoh yang hobi dan gaya hidup nya sama kayak saya, mungkin sya akan menjadi orang paling beruntung sedunia))

      Wajilak!! XD XD

      Hapus
  5. Saya kira tadinya mau curhat tentang cinta. Ternyata ngomongin lukisan, ya. Hahaha. Punya pelukis favorit kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pelukis favoritku mainstream sih, haha. Vincent Van Gogh, mbak. :D

      Hapus