26 Januari 2017

Umur, Uzur, dan Ubur-ubur


Banyak orang yang sewenang-wenang mengkultuskan hari ulang tahunnya sebagai hari yang sangat penting dan spesial. Padahal saat itu terjadi, semesta tidak lantas berdendang dengan nyanyian Happy Birthday to You gubahan Robert Coleman itu. Daun yang gugur pun tidak juga melompat-lompat kegirangan menyambut hari pengulangan tanggal lahir. Bahkan rumput tetap menari-nari entah kita mau ulang tahun atau tidak, lebih jelasnya coba tanya pada Ebit G Ade yang bergoyang. Jadi, tidak usah kepedean, semesta tetap beroperasi seperti biasa.

Dulu saya pernah merayakan hari ulang tahun ketika SD. Saat itu saya memberi wafer coklat bergambar Superman kepada teman-teman satu kelas. Mereka lantas menyalami saya sambil melontarkan ucapan selamat. Seperti itu saja. Sebiasa itu saja.

Baik SMP maupun SMA saya tergolong orang yang beruntung. Saya belum pernah mengalami pelemparan air, tepung, telur dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bahan-bahan martabak asin. Lho emang martabak asin pakai air? Hla yo dinggo ngombe sing dodol tho, Ndes. Hambok kiro ning ngarep kompor sewengi ngono kui ora ngelak opo piye?

Saya tak pernah mengerti apa yang menyenangkan dari perayaan ulang tahun macam itu. Hal yang menurut saya sedang terjadi adalah praktek bullying yang diiyakan massal. Ini sudah seperti film The Purge yang setiap satu tahun sekali diberlakukan sistem bebas membunuh di Amerika. Dalam The Purge kita diperlihatkan bagaimana manusia sejatinya memiliki naluri buas untuk melukai orang lain. Hanya saja selama ini hukum meredam tindakan itu.

Hal itu tidak beda jauh dengan perayaan ulang tahun dan tepung-tepung yang bertaburan lalala yeyeye itu, bukan? Pada hari-hari selain hari ulang tahun (atau beberapa orang menyebutnya hari biasa) sudah barang tentu menjadi masalah jika kita secara impulsif melempari teman kita dengan air dan tepung. Akan tetapi, pada hari ulang tahun, hal yang demikian seolah diperbolehkan, diwajarkan, dan lebih parahnya; diwariskan.

Jika melihat ribuan tahun yang lalu, bangsa Mesir Kuno dikisahkan selalu merayakan ulang tahun Fir’aun dengan lantunan puja-puji-peju dan memberi sesembahan berupa apa saja yang dimiliki oleh warga. Andai saja bangsa Mesir Kuno tahu jika pada abad 21 di Indonesia sudah menerapkan sistem siksa tepung, saya kira mereka akan turut melakukannya kepada Fir’aun dengan penuh suka cita. Minimal lempar Spinx, sambil nyanyi, “Suzuki Spinx.. Kau auraku..”

Menelusuri budaya perayaan ulang tahun membawa saya pada ribuan tahun silam. Selain di Mesir, hal demikian juga terjadi pada bangsa Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani mengenalkan tradisi pemakaian simbol lilin dalam acara ulang tahun. Lilin ini diletakkan di atas kue berbentuk bulan sebagai sesembahan kepada Dewi Artemis. Sedangkan di Romawi Kuno, perayaan ulang tahun awalnya hanya berlaku bagi raja dan dewa. Hingga kemudian masyarakat ‘biasa’ turut merayakannya dengan cara berkumpul bersama saudara dan teman serta mulai mempopulerkan tradisi bagi kado. Pada masa itu, kado yang diberikan berupa tepung terigu, minyak zaitun, madu dan keju.

Saya curiga saja, barangkali masyarakat kekinian membuang-buang tepung dan telur itu sebagai wujud olok-olok terhadap tradisi kado-kadoan di zaman Romawi Kuno. Tak disangka, ternyata masyarakat milenial lebih memilih tradisi pagannya Yunani. Terbukti budaya tiup lilin sambil membaca doa masih jadi metode default dalam merayakan ulang tahun di masa sekarang.

Artemis
Pada masa tersebut kue dan lilin memang menjadi simbol rembulannya Dewi Artemis. Namun simbolisasi itu berubah ketika kue-kue ini mengalami pemugaran pada abad 18. Pada tahun terjadinya revolusi industri itulah kue-kue disajikan dalam bentuk yang lebih mewah dan artistik. Hal ini bermula dari keresahan orang-orang borjuis yang tidak ingin tampil setara dengan masyarakat miskin. Sementara roti sudah menjadi makanan yang sangat biasa dimakan oleh masyarakat luas apapun stratanya. Kemudian orang-orang borjuis membuat kue mewah untuk menegaskan kembali batas miskin dan kaya. Tapi seiring berjalannya waktu, resep kue mewah menyebar luas ke masyarakat dan bahan-bahan pembuatnya dapat mereka raih dengan mudah. Seiring terjadinya globalisasi, jadilah tradisi kue-kue ini menyebar hampir ke seluruh dunia.

Dari sejarah ulang tahun tersebut, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan sederhana. Yaitu, jika anda percaya bumi ini tidak datar, maka lekas saja ubahlah desain kue ulang tahun anda menjadi bentuk yang sebagaimana mestinya. Di atas sudah disebutkan, jika orang Yunani membuat kue menyerupai bulan sebagai wujud persembahan pada Dewi Artemis. Desain kue ulang tahun saat ini masih berkiblat pada perspektif visual orang Yunani terhadap bentuk bulan pada masanya.

Barangkali saat ini orang-orang pagan dan penganut paham bumi datar masih sering ngikik-ngikik jika melihat ada temannya yang sehari-hari mengutuk sesat paham mereka, tapi pas ulang tahun bertekuk lutut pada tradisi yang ia kutuk sendiri.

Meski, ya, memang pada masa kini kue-kue ulang tahun sudah tidak dimaknai sebagai simbol tertentu. Yang penting tampilan artistik buat difoto, murah buat dibeli, dan enak buat dimakan. Etapi, toh cara menikmatinya dengan meperin krimnya ke muka orang yang ulang tahun dan kepada para hadirin yang berada dalam radius dua meter dari letak kue itu berada. Sampai pada tahap ini, ternyata orang-orang milenial juga mengolok-olok Dewi Artemis. Hmm.. Benar-benar.

Sudah saya ceritakan di atas jika saya tidak pernah mengalami penganiayaan saat ulang tahun. Tapi semua berubah. Saat saya terjebak ulang tahun dalam program KKN.

Mengutip lagu “Sayang” yang saya dengar dari legenda hiphop koplo, NDX A.K.A, ada lirik yang berbunyi: “Hari demi hari. Uwis tak lewati. Yen pancen dalane. Kudu kuwat ati.” Nah, jadi saya sudah melewati ulang tahun demi ulang tahun dengan damai, sejahtera, sentosa, tanpa kurang suatu harga diri apapun. Lalu, seperti Hiroshima-Nagasaki pada tahun 1945, saat pagi di rumah singgah KKN itu tubuh saya dibombardir tepung demi tepung. Kalau sudah begini, ya saya cuma bisa qonaah saja.

Sebelum tragedi itu berlangsung, saya sempat menjahili teman-teman saya terlebih dahulu. Jadi, saya sudah tahu jika teman-teman KKN menyadari hari ulang tahun saya. Demi menjaga keamaman dan ketertiban diri saya sendiri, saat memasuki tanggal 25 Januari, saya sengaja menahan kantuk sebagai antisipasi jika terjadi hal-hal tak diinginkan pada pukul 00.00 WIB. Saya berhasil terjaga hingga pukul 1 pagi. Sementara teman-teman saya sudah (pura-pura) tidur (tapi kebablasan jadi tidur beneran).

Saat situasi terasa aman, saya mengobrak-abrik dapur mencari tepung dan telur. Harapannya agar kedua bahan masak martabak itu bisa saya sembunyikan. Jadi saya mau menyembunyikan apa yang disembunyikan teman-teman saya. Sungguh daur hidup ketersembunyian yang fana sekali.

Sayangnya, saya tidak menemukan kedua komponen rajam itu. Pikir saya, mereka tidak sempat membeli karena memang akses ke pasar cukup sulit, harus naik turun bukit dulu. Dengan berserah pada mata yang benar-benar ngantuk, akhirnya saya memutuskan untuk tidur.

“Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun..”, nyanyian itu sayup-sayup terdengar dari balik kesadaran saya. Ketika saya membuka mata, saya dapati teman-teman saya berkumpul sambil membawa kue (berbentuk bulan datar) lengkap dengan lilin-lilin di atasnya. Senandung ulang tahun yang bergema itu semakin saya dengar kok saya jadi makin ingin tidur lagi. Bagaimana tidak? Pukul dua pagi saya bangun dan langsung mendengar paduan suara tersumbang yang pernah saya dengar. Bayangkan saja saat kamu baru bangun tidur, belum gosok gigi, bahkan belum sadar benar. Lalu suara yang kamu keluarkan pasti parau-parau mambu gitu, kan? Nha, yaudah, itu yang saya dengar dari sembilan mulut yang menyanyikan lagu ulang tahun. Sudah parau, liriknya gak kompak pula anjir.

Sekalinya saya ulang tahun ada yang menyanyikan lagu kok ya yang nyanyi lemes-lemes mblawus gini. Hmm.. Benar-benar. Akhirnya, malam itu saya tutup dengan makan sedikit kue dan banyak meperin krim.
 
Karena malamnya tidak nemu letak tepung dan telur, saya pikir perayaan ulang tahun saya ya cuma kue tahajud itu saja. Disebut kue tahajud karena kami berpesta kue di sepertiga malam terakhir. Artinya, ulang tahun saya juga turut disaksikan malaikat yang turun ke bumi. Sungguh surgawi sekali diriku.

Ternyata anggapanku salah. Sekitar pukul sembilan pagi seusai sarapan, tiba-tiba saja ada mas-mas mbois harapan bangsa yang menggrujugku dengan ulenan tepung. Selama beberapa menit saya harus melakukan sedikit gerakan perlawanan yang disebut ‘get ji get beh’, yang artinya ‘reget siji reget kabeh’.

Kemudian sadar, saya tak punya cadangan sempak kering. Fak.

cdn.shopify.com
Saya sangat bersyukur tahun ini tidak perlu merasakan simulasi lempar jumroh itu lagi. Bahkan tidak banyak orang yang tahu. Kekasih saya pun mengucapkannya dengan begitu biasa. Yeah, she knows me so deep.
 
Saya ingat betul hari ulang tahun saya ini bertepatan dengan hari lahir teman saya. Ya, lahir bareng. Namanya Anang Riswanta, nama bapaknya Siswanta. Sungguh nama marga yang benar-benar tergelincir. Konon, bapaknya sangat sayang pada anak sulungnya yang lahir dalam keadaan typo itu.

Menurut birthday reminder di Facebook, ada beberapa orang yang ulang tahunnya barengan sama saya. Ketika saya lihat pada tahun-tahun sebelumnya sih, hanya ada dua orang yang saya kenali; Anang Riswanta dan Genrifinadi Pamungkas. Namun tahun ini kok ada satu orang dalam list tersebut yang mutual friends-nya Haris. Pikir saya, “Wah, ada yang gak beres, nih.”

Segera saja saya buka akun tersebut pakai UC Mini Browser. Nama depannya sih tidak asing di lingkarannya Haris, tapi Husnan Bilqish? Siapa? Setelah saya buka laman profilnya, suasana tiba-tiba hening selama tiga detik. "Ohh.. Penghuni khayangan yang lagi magang." Lalu saya segera close browser. Saya letakkan hape saya di atas meja dengan hati-hati. Kemudian menggumam sambil menghela kentut, “Hmm.. Haris. Benar-benar.”

Setiap orang tentu bebas memaknai hari ulang tahunnya masing-masing. Ada yang menyukai keramaian, adapula yang menggemari sepi. Ada yang ingin mendapat ucapan selamat, adapula yang ingin bingit mendapat ucapan selamat. Seperti aplikasi News & Weather itu, lho. Bebas mau dioperasikan atau dibiarkan. Tapi yang jelas aplikasi itu tidak bisa di-unistall. Cen asu tenan.

Bicara tentang perkara ‘usia’ di dalam lingkaran saya tergolong unik. Banyak orang yang senang sekali ketika dirinya dianggap masih umur belasan. Padahal sebenarnya sudah menginjak usia puluhan tahun. Usut punya usut, ternyata orang-orang ini rindu tampil prima dengan kulit yang masih cerah dan kencang. Kebutuhan fisik untuk tampil menawan seolah hanya dimilikinya saat masih remaja. Apa benar paramaternya begitu?

Membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan keindahan tubuh dalam kerangka standarisasi mainstream sebisa mungkin saya hindari. Kenapa? Fana bhet anjir.

Saya malah tersinggung jika ada yang bilang saya masih seperti anak sekolah. Lha di usia itu saya masih goblok-gobloknya sebagai manusia je. Mau bangga atau tersipu malu kok ya ora etis rumangsaku.

“Sik kosik. Emang ono sing tego nuduh kowe awet enom, Ham?”

“Mbuh!”
YAPPARI!
Baiklah, segitu saja kiranya yang ingin saya utarakan. Jika mengutip Sujiwo Tejo, beliau pernah bilang, “Tulisan saya dibaca untuk dilupakan”. Kira-kira begitu juga apa yang saya tulis ini. Seperti pertunjukan wayang, yang semula (layar) kosong. Kemudian tiba-tiba datang orang yang sok-sokan ngasih tahu dan sok-sokan bercerita. Hingga menuju akhir pelan-pelan akan balik kosong lagi. Jadi rasakan saja sensasinya. Tidak usah dipikirkan.

Maksudnya, tulisan ini tuh..gak guna anjir! Hahahaha.

Terima kasih sudah menyimak ego saya. Salam.
#BioTwitterku
Penikmat Umur
Pengarang Uzur
Penjaring Ubur-ubur

Source header post: Banksy

10 komentar:

  1. Don't forget to eat your lunch and make some trouble.

    Bhahahak.

    Itu kalimat yang di foto agak-agak mirip sama apa yang aku sampaikan di Tumblr, ya. Hahahak.

    Sejarah tentang perayaan ulang tahun yang tjakep, Gan. Thanks infonya!

    Btw, lau niat banget ya sampe nahan-nahan ngantuk cuma demi nyariin bahan-bahan biar gak ditepungin di tempat KKN wkwkwk.

    Eh, ulang tahun kita sama-sama pas liburan semester, aku juga gak pernah ngerasain digituin wakakak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. Banksy memang tidak pernah gagal membuat kutipan nakal.

      Lha ya namanya orang jahil kok mau dijahilin. Ya begitulah jadinya. Hahaha. Kita tidak pernah digituin selain karena masa liburan juga karena tidak begitu populer barangkali.

      Hapus
  2. Aku juga ngga pernah dikepruki telor dan ditaburi tepung, lha wong pas kenaikan kelas koq..hehe..

    Tapi inti tulisan ini kayaknya ada yang mau nraktir deh.. Pengen membahagiakan teman se-grup gitu. Ya ngga?

    Yowis Mas, yo kapan? Siap makan-makan pokoke..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selain itu ada faktor lain.. Karena saya memang tidak populer! Hahaha

      Lah.. lah.. lah.. kok malah njaluk traktiran iki piye, ndes??

      Hapus
  3. Belagu sok tau dan ngocol syah2 aja mas
    Lanjut aja nulis selama ngga ada yg melarang
    HBD ya ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anu, Uti. Saya memang tidak ada niatan buat berhenti nulis, kok. Hahaha

      Hapus
  4. Asem. Untung nggak baca sampe selesai

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cocote. Jujur tenan. Bhahahak. Mantap!

      Hapus
    2. Kok ngakak ya baca komentarnya zaini hahahaha

      Hapus
  5. Dan saya baru tau kalo tiup lilin dan kue2 udah tradisi sejak lama.

    But, ini Indonesia brother. Orang Indonesia mah bebas.. bebas menghujat. :')

    Budaya yg sebenarnya gak mau dilakukan. Ulangtahun malah jadi kue martabak.

    Eh apaneh.

    BalasHapus