8 Juni 2018

Asimetris (2018): Mengintip Industri Kelapa Sawit


Kita tahu, bahkan sangat yakin terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri ini begitu besar. Besar lahannya, besar potensinya, besar pula sumbangsihnya terhadap dunia. Alam Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke merupakan harta karun yang dipamerkan di mata dunia. Meski demikian, penikmat sejati alam-alam ini bukanlah saya, kita, atau sebagian besar penduduk negeri ini. Tapi mereka.

Mereka adalah orang-orang digdaya yang tidak tersentuh oleh tangan kotor saya. Mereka bersembunyi di balik nama perusahaan yang besar. Mereka berlindung di dalam kerajaan yang mereka bangun. Para pengusaha besar yang mengeksploitasi alam menjadi rentetan angka tak terhingga di rekening mereka. Dan kita, adalah budak yang enggan mengaku.

Beberapa saat lalu, saya dan Tiwi terlibat dalam sebuah acara diskusi film. Bukan film yang tayang menggelegar di bioskop-bioskop, tapi film dokumenter yang begitu sunyi. Mungkin judulnya tidak terlalu ramai dibicarakan, meski isi di dalam film itu mestinya menjadi sebuah pertanyaan besar yang patut dimusyawarahkan bersama sambil ngopi.

FILM ASIMETRIS

Poster Film Asimetris (Sumber: jendelapost.com)
 Film berdurasi satu jam ini memperlihatkan kepada saya gambaran nyata bagaimana hutan-hutan, khususnya kelapa sawit, dieksploitasi dengan beringas. Ada banyak narasumber yang terlibat dalam film Asimetris ini, mulai dari pekerja hingga pemilik lahan sawit itu sendiri.

Secara keseluruhan, film ini mengupas bagaimana kelakuan perusahaan besar terhadap hutan sawit beserta dampak yang dihasilkan. Beberapa yang masuk dalam sorotan, seperti kesejahteraan para pekerja yang timpang sekali dengan glamornya iklan-iklan sabun di televisi, penerabasan lahan warga baik yang terang-terangan menyerobot hingga yang diam-diam dimaling, serta tak luput pula dengan limbah yang menyengsarakan masyarakat setempat.

Kita paham betul bahwa produk-produk yang berbahan kelapa sawit seperti minyak dan sabun, misalnya, merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari kita. Kita tahu betul kalau kebersihan tubuh kita senantiasa membuat kita sehat dan kelezatan kulit ayam KFC hanya akan tercipta melalui proses cipta dengan minyak goreng. Kita memang ‘butuh’ produk-produk itu. Memang ‘butuh’.

Mengapa ada tanda kutip dalam kata butuh barusan?

Setuju atau tidak, kebutuhan yang kita yakini saat ini adalah hasil rekonstruksi budaya. Bukan kebutuhan secara alami. Dewasa ini, yang namanya mandi memang lumrah atau bahkan harus menggunakan sabun. Lalu jika tidak mandi dengan sabun, apakah lantas kita mengkhianati tubuh kita sendiri? Apakah mandi menggunakan watu kali adalah cara yang salah? Dan apakah mandi dengan air saja adalah salah satu perbuatan sia-sia yang akan menjebloskan kita ke dalam neraka?

Tentu tidak. Tapi mengapa kok rasanya ada yang kurang kalau mandi tanpa sabun? Sekali lagi, rekonstruksi budaya, tubuh kita telah dikondisikan untuk butuh terhadap sabun. Mulai dari petuah-petuah orang tua hingga gempuran iklan di televisi membuat sabun menjadi sebuah keharusan dalam ritual mandi kita.

Bahkan, lagu hits aku belum mandi tak tun tuang juga memiliki peran kuat dalam membangun tipu daya itu tadi. Coba ingat-ingat liriknya yang berbunyi, ‘apalagi mandi tak tun tuang tak tun tuang, pasti cantik sekali’. Lalu kita senyawakan dengan lagu anak berbahasa Jawa berikut ini: bebek adus kali, nututi sabun wangi (bebek mandi di sungai, mengikuti harumnya sabun).

Dari dua bongkahan lagu di atas kita tahu bahwa mandi berbanding lurus dengan kecantikan dan mandi identik dengan sabun. Iklan-iklan sabun di televisi, selain menjajakan kesehatan pun juga menggombal soal kecantikan, bukan? Imaji indah yang dibentuk media itulah yang kemudian secara vulgar diciderai oleh film Asimetris.

Sebab dalam film tersebut, kemalangan, kesenjangan, kesulitan, hingga penyakit yang dialami oleh warga sekitar industri kelapa sawit menjadi persoalan yang tidak mendapat panggung di mata publik. Saya begitu ngilu ketika melihat warga setempat beraktivitas di tengah kepulan asap. Terlebih saat sorot kamera menangkap gambar anak-anak kecil dan mendengarkan narator yang menyebut besaran angka yang merujuk pada bayi-bayi yang mengalami gangguan pernafasan.

Selain ngilu, hal menggelikan juga ternyata terjadi di lapangan. Peristiwa yang saya maksud adalah saat pemerintah melakukan sidak ke lahan kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan. Siapa sangka, proses sidak mengalami kendala oleh hadangan dari petugas keamanan perusahaan tersebut. Alangkah lucu ketika petugas keamanan itu mengatakan, “Nggak bisa. Mau sidak, mau apa, juga harus ada izinnya dulu. Kalau tidak ada izin, tidak boleh masuk.”

Ya kalau izin dulu namanya bukan sidak lagi, Pak. Study banding barangkali.

Arogan jika saya menyalahkan bapak petugas itu. Mau bagaimana lagi, beliau bersikap demikian pun untuk mempertahankan pekerjaannya yang barangkali susah didapatkan di sana. Pertanyaan besar yang muncul adalah: Ada apa gerangan dengan perusahaannya? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan? Apa itu? 

Intro Film Asimetris (Sumber: kumparan.com)
Sejujurnya, ada banyak sekali pertanyaan yang muncul ketika usai menonton film Asimetris. Ada standar kelayakan produksi yang diterabas. Ada pekerja dari kalangan anak-anak hingga perempuan yang digerogoti haknya. Ada monopoli, manipulasi, tipu daya, sampai pemaksaan yang melahap lahan-lahan warga. Dan yang pasti, ada jiwa-jiwa yang melayang antara hidup dan mati.

Dulu saya bergindik seusai menonton film Senyap. Tapi kegindikan saya itu lambat laun saya telan sendiri. Sebab pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya mungkin sudah tiada. Kalaupun ada, batang hidungnya tak terlihat. Kalaupun terlihat, orangnya tak tersentuh.

Semetara itu, pelaku-pelaku dalam film Asimetris ini justru terpampang nyata di depan mata kita. Namun sayangnya, sepasang tangan kecil saja tak akan mampu menjangkaunya. Butuh banyak tangan yang bersatu. Itulah yang membuat saya lebih dari bergindik saja, namun bercampur juga di dalamnya rasa gregetan, cemas, pilu, dan nalar kemanusiaan yang terpukul-pukul.

Asimetris bukanlah film hiburan. Asimetris tidak menampilkan laga dan biduan. Asimetris tidak membuat wajah kita berseri-seri seusai menontonnya. Asimetris adalah kegetiran. Di dalamnya merangkum kesedihan tanpa air mata, ketakutan tanpa jeritan, dan senyum tanpa kebahagiaan.

Cukup itu saja yang bisa saya utarakan. Jika penasaran, film ini sudah dapat dilihat di YouTube, lho. Akhir kata, jadilah bagian dari orang-orang yang tersadar di atas panggung ilusi. Sampai jumpa!

Full Movie Asimetris




Header source: pexels.com

16 komentar:

  1. Wah udah ada di YouTube ya, minta suami download ah terus nonton bareng-bareng. Memang simalakama sih ya soal sawit, penebangan pohon dll ituh.kalau aku lihat langsung pasti bakal lebih terenyuh bahkan mungkin marah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trenyuh dan marah juga kurasakan ketika nonton filmnya, Mbak.

      Hapus
  2. Hanya Imajinasi kaku yang terlintas di pikrian ku saat membayangkan kesedihan tanpa air mata, ketakutan tanpa jeritan, dan senyum tanpa kebahagiaan. Sangguh sangat terpasung keadaan hidup di negeri ini. Bila penguasa hanya sibuk dengan blusukan menjelang 2019 mendtang. Kasihan!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak perlu diimajinasikan juga nggak apa-apa kok, Mas. Cukup nontonin filmnya saja biar ntap soul!

      Hapus
  3. Kaya buah simalakama ya. Kita butuh tp kalau pembuatnya gak terkontrol jd malah merusak. Itu film hanya nampilin dampak atau ada srmacam solusinya juga kah? Ya karena yg kita butuhkan memang itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di film itu nggak diceritakan soal solusi, bahkan menurutku sih nggak perlu juga masukin solusi di film itu seolah film itu sudah berada di titik final. Justru film itu bisa mematik diskusi di berbagai ruang untuk mencetuskan solusi yang lebih fair.

      Hapus
  4. Jadi ini semacam film dokumenter ya Mas? luar biasa sekali pasti proses produksinya. Setahuku tidak mudah menembus lingkaran perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kalau ketahuan nih bisa jadi masalah buat tim produksi. Mudah-mudahan film ini bisa mengurai kompleksitas masalah dan bisa membuka mata dunia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas ini dokumenter. Cobalah ditonton lalu sebarkan ke followers multiuniverse-mu, Mas. Wahahaha

      Hapus
  5. Iya sih ya, emang kita dari kecil disuruh mandi pakai sabun. Udah menjadi semacam kebiasaan ternyata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Timo komen di luar isi yang ditulis..lagi.
      Sudah biasa. Hahahaha.

      Hapus
  6. Kasihan juga ya masyarakat dan lingkungan sekitar. Kalau saya mungkin hanya bisa mengurangi penggunaan minyak goreng. Karena bisa alternatif masaknya ga goreng. Tapi klo sabun sulit kayaknya.

    BalasHapus
  7. Ngomongin soal sawit itu panjang ya mas ayatnya, aku juga gimana gitu. Satu sisi kita ubtuh, sisi lain kita dirugikan, harus ada solusi tepat untuk masalah ini

    BalasHapus
  8. Waah...aku kudet banget masalah-masalah begini.
    Aku jadi pingin nonton buat memperkaya khasanah.

    Sensitif memang masalah sumber daya alam dan pengelolaannya yaa...

    BalasHapus
  9. Wah akhirnya ada juga film lokal yang membahas soal ekploitasi sawit di Indonesia ini yak, menarik sekali untuk ditonton.

    Langsung gas nonton filmnya nih.

    BalasHapus
  10. Gue tahu banget "brengseknya" bisnis sawit itu, ironinya, perusahaan gue lewat salah satu jasanya, ikut menikmati hasil dr kebrengsekan itu.

    Di dalam sistem, susah buat teriak teriak mesti tahu ada yg busuk.

    Gak banyak pilihan yg, saat ini, bisa gue ambil.

    Btw, kapan nulis di sebelumnonton?

    BalasHapus
  11. Ya ampun! Gue jadi penasaran banget sama filmnya. Jalan ceritanya bener bener gue banget soalnya. Gak sabar mau liat juga.

    BalasHapus